Menyelamatkan Jurnalisme Bukan dengan Sekoci

Ancaman atas keberlangsungan bisnis pers di Indonesia terjadi bukan sekadar karena adanya wabah Covid-19. Jauh sebelumnya, peralihan teknologi cetak ke digital telah membuat kemampuan ekonomi banyak perusahaan pers menjadi oleng, dan tak sedikit pula yang akhirnya berhenti terbit.

Ini tentu bukan problem di Indonesia saja, tapi juga di negara lain. Selain karena kegagapan banyak perusahaan pers beradaptasi dalam ekosistem digital, dominasi Google dan Facebook atas perolehan kue iklan digital juga dianggap menjadi penyebab menurunnya pendapatan bisnis media. Karena itu, harapan agar pemerintah memberikan insentif ekonomi bagi bisnis media sangat bisa dimengerti.

Beberapa waktu lalu Dewan Pers bersama Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media mengajukan tujuh bentuk insentif demi menolong keberlangsungan bisnis media di tengah wabah Covid-19. Namun, visi dari permintaan insentif tersebut sifatnya jangka pendek, seolah penyelamatan bisnisnyalah yang menjadi tujuan, bukan jurnalisme itu sendiri—meski tentu dalam kondisi sekarang hal ini bisa dipahami.

Jurnalisme memang perlu diselamatkan, namun dengan pendekatan yang lebih visioner. Dan itu tidak bisa menggunakan sekoci berupa insentif jangka pendek.

Mengapa menyelamatkan jurnalisme?

Beberapa orang barangkali meyakini bisnis jurnalisme cukup dikelola dalam logika pasar. Artinya, jurnalisme akan bertahan dan tumbuh kalau pasar menghendaki, atau stagnan dan mati kalau pasar tak berselera lagi. Cara pikir demikian tidak melihat posisi jurnalisme sebagai barang publik (public goods).

Jurnalisme perlu dilihat sebagai barang publik karena perannya vital dan belum tergantikan bagi demokrasi. Ketika jurnalisme lenyap, demokrasi berjalan dalam gelap. Keadaan ini membuat kekuasaan tak bisa diakses dan diperiksa, sebagaimana hal itu biasa diperankan oleh jurnalisme. Tanpa pengawasan, kekuasaan (ekonomi, politik, sosial, atau budaya) bisa sewenang-wenang. Kerja jurnalismelah yang memastikan tiap warga mendapat asupan informasi yang memadai agar bisa berpartisipasi menyuarakan penyimpangan kekuasaan, dan ini dibutuhkan bagi demokrasi.

Dalam konteks itulah jurnalisme perlu dilihat sebagai barang publik yang sebaiknya tidak dikelola dalam logika pasar. Keberadaannya dibutuhkan semua orang—terlepas orang mau menggunakannya atau tidak. Seperti barang publik lainnya yang ketersediaannya perlu terus dijamin, kelangsungan jurnalisme juga perlu dijamin karena ia belum bisa digantikan dengan kerja-kerja penyuplai informasi lainnya.

Sebuah artikel di The New Yorker memberi gambaran tentang hal tersebut. Artikel berjudul “What Happens When The News Is Gone” itu menggambarkan situasi di Pollocksville, kota kecil di North Carolina, Amerika Serikat (AS), ketika surat kabar lokal di sana berhenti terbit. Salah dua dampaknya adalah ketidakmampuan warga untuk mengantisipasi bencana banjir dan ketidakmampuan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah kota. “Bagaimana mau bersuara kalau saya tidak tahu apa-apa?” kata seorang warga.

Cerita barusan memperlihatkan relevansi jurnalisme buat publik, mulai dari melayani kebutuhan praktis dalam keseharian warga hingga demi merawat demokrasi. Jurnalisme yang terancam mati, karenanya, perlu diselamatkan. Dan negara perlu campur tangan menyelamatkan jurnalisme.

Negara dituntut punya peran karena negara punya kepentingan dan kewajiban pada sehatnya demokrasi dan tersedianya barang publik. Negara perlu menjamin ekosistem yang membuat barang publik seperti jurnalisme bisa tetap ada dan relevan.

Pembiayaan pers yang disokong negara bukanlah hal baru. Model pembiayaan TVRI, RRI, atau BBC di Inggris adalah contohnya. Tentu model ini tidak sempurna dan karenanya butuh disempurnakan. Namun, model pembiayaan publik semacam ini membuat jurnalisme bisa dikelola bukan sebagai komoditas semata, melainkan sebagai barang publik. Karena itu, yang kini diperlukan adalah imajinasi yang melampaui model pembiayaan jurnalisme komersial.

Bagaimana menyelamatkan jurnalisme?

Dengan melihat pengalaman di negara-negara lain, tulisan ini mengajukan beberapa gagasan yang bisa menjadi dasar bagaimana negara bisa membantu jurnalisme. Tentu, gagasan dalam tulisan ini butuh diperkaya oleh pendapat tambahan.

Pertama, perusahaan pers yang ingin dibantu perlu mengubah entitasnya dari yang berorientasi laba menjadi nirlaba. Status nirlaba tentu tidak berarti membuat perusahaan pers tidak boleh mencari pendapatan. Perbedaannya ialah, pendapatannya itu utamanya harus dipakai untuk mengongkosi kerja jurnalisme, bukan dipakai untuk memperkaya pemilik perusahaan semata.

The Salt Lake Tribun, harian di Utah (AS) melakukan hal ini pada 2019. Status barunya ini kemudian membuat Tribun bisa menerima donasi dari pembayar pajak. Apalagi, di AS ada aturan di mana pembayar pajak akan mendapatkan keringanan kalau memberi sumbangan pada badan-badan nirlaba.

Kedua, perusahaan pers yang ingin mendapat bantuan perlu mengubah struktur kepemilikan, tidak boleh ada kepemilikan tunggal atau saham mayoritas. Struktur kepemilikan barunya, misalnya, bisa melibatkan unsur serikat buruh media dan pembaca. Ini dilakukan, selain sebagai syarat pengelolaan barang publik, juga untuk menjamin demokratisasi di dalam tubuh organisasi media sendiri.

Di Ohio (AS), ada majalah seni dan budaya bernama The Devil Strip yang pada 2019 struktur kepemilikannya berubah menjadi kepemilikan yang berbasis komunitas. Warga Ohio yang merasa kebutuhan informasinya dipenuhi oleh media ini bisa berkontribusi dengan berdonasi. Dengan berdonasi, maka pembaca menjadi bagian dari struktur kepemilikan The Devil Strip dan mereka diberi peran dalam menentukan editorial majalah. Model kepemilikan semacam ini selain membantu nafas media malah menghasilkan bonus: dampak pada tingkat partisipasi warga.

Ketiga, perlu didirikannya badan independen yang mengelola dana bagi jurnalisme. Badan ini perlu melibatkan publik yang beragam, terutama dari kelompok marjinal, sebagai dewan pengawas. Selain untuk menjamin ketepatan dan keadilan penentuan distribusi bantuan, cara ini juga untuk mengatasi independensi media terhadap pemerintah. Lewat skema ini, dana bukan diberikan oleh pemerintah, sehingga media penerima dana tidak perlu mengurangi sikap kritisnya demi mendapat bantuan.

Finlandia memiliki lembaga semacam ini, yang tugasnya mengelola pajak publik untuk kemudian didistribusikan kepada media publik mereka bernama Yle. Di New Jersey (AS) ada Civic Information Consortium yang pada 2018 menyiapkan dana 2 juta dolar demi memastikan warga New Jersey mendapatkan informasi bermutu tentang komunitas mereka. Di Kanada ada Local Journalism Initiative—meski lembaga ini dikritik karena bantuan lebih banyak diberikan kepada perusahaan media besar.

Keempat, bantuan dari negara tak harus selalu berupa uang tunai. Memberi insentif pengurangan pajak bagi individu wartawan seperti di Prancis atau menyediakan dana hibah bagi pelatihan wartawan seperti di Austria, bisa menjadi contoh. Poin penting di sini adalah perlunya negara menjamin adanya ekosistem yang bisa merawat keberlangsungan bisnis pers yang sehat dan bermutu. Karenanya, bentuk bantuan negara bisa juga berupa jaminan kesejahteraan wartawan, pendidikan publik mengenai kerja pers, atau mengoreksi dominasi Google dan Facebook serta sentralisasi kepemilikan media.

Tantangan di Indonesia

Kemudian, tantangan apa yang perlu dipertimbangkan kalau gagasan ini hendak dijalankan?

Pertama, saat ini belum ada data komprehensif yang bisa digunakan untuk memetakan dan memahami bisnis media di Indonesia. Data ini diperlukan untuk bisa menentukan perusahaan media mana yang perlu lebih mendapat bantuan, metode apa yang terbaik dalam membantu, dan lain sebagainya.

Kedua, perlu ada perbaikan profesionalisme kerja jurnalisme, terutama jurnalisme daring yang mutunya sering dikeluhkan. Bagaimana publik mau mendukung pers kalau bisnisnya ini tidak berorientasi melayani warga dengan menyediakan informasi bermutu yang mengemansipasi posisi warga?

Ketiga, adanya dominasi perusahaan media besar di Jakarta yang lebih berpotensial mendapatkan keistimewaan untuk mengakses bantuan. Hal ini juga terkait dengan konglomerasi media yang praktiknya sudah harus dikoreksi segera.

Keempat, adanya kecenderungan (pejabat) pemerintah yang kerap berpikir bahwa lembaga atau individu yang dibiayai negara harus memiliki posisi politik yang sama dengan pemerintah. Mental paternalistik semacam ini kerap tergambar misalnya lewat ungkapan pejabat publik yang ingin mengontrol individu penerima beasiswa negara yang punya pandangan berbeda dengan pemerintah.

Jurnalisme, sekali lagi, perlu diselamatkan. Kali ini barangkali ia cukup diselamatkan dengan menggunakan sekoci darurat. Tapi setelah wabah ini berakhir, penyelamatan atasnya membutuhkan pertolongan lebih dari itu.

Dimuat di Kompas, 8 Juni 2020

 


Photo by AbsolutVision on Unsplash

Bertahan dalam Jurnalisme

Hubungan pers dengan publik sedang tidak baik-baik saja. Ini fakta yang menyakitkan, tapi perlu diakui. Komunitas pers harus khawatir ketika antipati justru datang dari konstituen utama yang mereka layani. 

Politik populisme memang sedang merekah di berbagai belahan bumi. Menasbihkan diri sebagai bagian dari rakyat kebanyakan, politik model ini mengeksploitasi kekecewaan orang atas situasi politik-ekonomi dan mengalamatkan penyebabnya kepada kelompok elit, di mana media dan wartawan berada di dalamnya. Banyak orang mengklaim bahwa gaya politik inilah yang menurunkan kepercayaan publik terhadap pers.

Meski mengandung kebenaran, saya berpendapat bahwa meyakini sepenuhnya pandangan ini hanya akan membuat kita, terutama komunitas pers, berkubang dalam “narasi korban” (victimhood narration). Selain gagal melihat masalah memburuknya hubungan pers dengan pembaca dengan lebih menyeluruh dan tepat, narasi korban ini membuat kita kehilangan kemampuan untuk mengenali peran yang bisa komunitas pers lakukan secara mandiri tanpa perlu melulu bergantung kepada aktor-aktor lain.

Politikus macam Donald Trump, Rodrigo Duterte, Jair Bolsonaro, atau Viktor Orban memang layak dianggap sebagai salah satu orang di muka bumi yang berkontribusi besar dalam membuat turunnya kepercayaan publik terhadap pers. Indonesia pun tak kekurangan politikus macam ini, di mana Prabowo Subianto menjadi lokomotifnya. Namun, terus-menerus melihat mereka sebagai penyebab membuat kita seolah tak mengakui bahwa perusahaan media dan wartawan sendiri punya kontribusi terhadap situasi ini.

Pada 2018 Pew Research Center mempublikasikan hasil surveinya terkait persepsi publik atas media. Indonesia masuk dalam negara yang ikut disurvei. Temuan mereka mengabarkan bahwa publik di seluruh dunia menginginkan berita yang berimbang secara politik, tapi mereka tidak melihat media memenuhi harapan ini. Temuan lain adalah bahwa kepercayaan publik terhadap media berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap pemerintah. Semakin seseorang puas dengan kinerja pemerintah, semakin puas pula seseorang terhadap media.

Di Indonesia sendiri, kepercayaan publik terhadap institusi media lebih rendah ketimbang institusi pemerintahan (Fossati, et al., 2017). Hanya 67,2% orang yang percaya terhadap institusi media. Bandingkan dengan kepercayaan publik yang diberikan kepada institusi kepolisian (70,3%), pemerintah pusat (81,6%), atau pemerintah provinsi (79,9%). Artinya, bisa jadi di Indonesia kepercayaan publik terhadap pemerintah tidak berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap pers. Ketika institusi pemerintahan semakin dipercaya, institusi media malah makin tak dipercaya. Ini situasi yang buruk bagi media yang kerjanya salah satunya adalah untuk membuat kekuasaan transparan. Bagaimana membuat publik percaya bahwa pers sedang bekerja memantau kekuasaan ketika yang memantau kurang dipercaya? 

Seperti politik populisme, menurunnya kepercayaan publik atas pers juga merupakan tren global. Ini bukan fenomena yang terjadi di Indonesia saja. Selain faktor politik populisme, tentu ada banyak faktor lain yang berkontribusi menggerus kepercayaan publik terhadap pers. Salah satu faktor yang terkuat, dalam sudut sudut pandang penganut determinisme teknologi, adalah terjadinya revolusi komunikasi yang diperantarai teknologi baru: internet. Revolusi ini telah mengocok ulang hierarki otoritas informasi, yang membuat seorang warga punya otoritas yang dulu hanya dimiliki wartawan.

Namun, tulisan ini tidak ingin fokus ke faktor-faktor tersebut, dan ingin mengajak kita melihat bahwa komunitas pers sendirilah yang membuat pekerjaannya semakin kehilangan kepercayaan publik. Praktik jurnalisme yang tidak berorientasi kepada wargalah yang membuat wartawan ditinggalkan, bukan hanya karena populisme, bukan karena Twitter, bukan karena apapun yang lain.

Memberitakan selebritas pindah agama bukanlah kepentingan publik. Melakukan liputan dengan dibiayai perusahaan otomotif adalah pekerjaan humas, bukan wartawan. Mencatat dan mersikulasi apapun komentar politikus adalah tugas notulen, bukan wartawan. Menanggapi kritik pembaca atas kerja jurnalistik dengan mengatakan “tendensius, kasar, dan tidak fair adalah mentalitas anti-kritik. Kesemua contoh-contoh tersebut bukanlah potret jurnalisme yang berorientasi kepada warga. Dan inilah yang menggerus kepercayaan publik.

Menurunnya kepercayaan publik terhadap pers bisa kita simak lewat beberapa fenomena. Hari ini, mereka yang menyerang pers tidak melulu datang dari negara, tapi juga aktor-aktor non-negara. Gangguan atau bahkan pengusiran terhadap wartawan yang meliput dilakukan oleh warga, tidak lagi aparat. Kini, pembaca memperlakukan berita secara favoritisme: hanya memvaluasi berita yang mendukung keyakinan mereka; bukan karena perangkat profesionalisme yang melekat pada profesi wartawan yang menjadikan sebuah berita bisa dipercaya.

Kalau pers kehilangan kepercayaan dari publik, kerugiannya bukan saja akan dialami oleh komunitas pers—misalnya ditinggalkan—tapi juga pada jalannya demokrasi. Semakin dianggap tidak pentingnya pers adalah gejala sakitnya demokrasi. Maka, mengembalikan kepercayaan publik terhadap pers adalah agenda utama yang perlu dilakukan oleh komunitas pers.

Pertanyaannya kemudian: bagaimana mengembalikan kepercayaan pembaca? Bagaimana hubungan yang buruk ini bisa diperbaiki? Jawaban yang lebih jitu, saya kira hanya bisa dijawab oleh komunitas pers sendiri. Namun dari sudut pandang pembaca, saya berpendapat bahwa melibatkan warga lebih substantif dalam kerja jurnalisme adalah agenda yang perlu dilakukan. Mengajak warga terlibat bisa dimulai dari hal yang paling sederhana: kenalkan soal jurnalisme, cara kerja wartawan, apa pentingnya jurnalisme bagi keseharian warga, sampai melibatkan warga dalam memproduksi berita.

Sayangnya, selama ini komunitas pers lebih dipusingkan oleh masalah-masalah lain sehingga membuat isu kepercayaan publik tidak mendapat perhatian yang layak. Saya jarang menemukan upaya komunitas pers dalam memperbaiki hubungannya dengan publik semenonjol upayanya dalam hal-hal yang lain. Sedikit sekali wartawan atau organisasi pers yang membela hak pembaca dengan mengkritik praktik jurnalisme yang ngawur. Hak pembaca tidak dibela sekeras ketika wartawan memperjuangkan hak perburuhan mereka atau membela rekannya yang kerja jurnalistiknya dihalang-halangi.

Di tengah segenap masalah yang mendapat perhatian, urusan bertahan hidup selalu menjadi prioritas. Era digital yang telah mengubah ekosistem media memang mempengaruhi bisnis pers. Namun terlalu beratnya perhatian pada upaya bertahan hidup inilah yang kerap menjauhkan—kemudian menjadi justifikasi—pers pada kerja melayani warga.

Saya jadi teringat pendapatnya Jay Rosen yang mengatakan bahwa di dalam dunia pers, yang terberat bukanlah bertahan dalam bisnis, melainkan bertahan dalam jurnalisme. Kalau yang pertama logika ekonomi ditaruh sebagai prioritas, yang terakhir menjadikan prinsip jurnalisme sebagai prioritas.

Prinsip jurnalismelah yang membuat pers selalu punya harga. Dengan bertahan dalam jurnalisme, komunitas pers sebenarnya sedang merawat hubungan dengan publik. Maka bertahan dalam jurnalisme adalah cara untuk merebut kembali kepercayaan publik.

 

*Tulisan ini sudah dimuat sebelumnya dalam buku Refleksi Dua Dekade Kebebasan: Catatan Masyarakat Sipil atas 20 Tahun Kebebasan Pers (2019).

Sumber foto: dari sini.

RUU yang Melayani Industri Penyiaran

“PARTISIPASI MASYARAKAT” ADALAH istilah yang lekat dengan konsep good governance. Pemerintah daerah dan pusat, misalnya, berlomba-lomba mengajak warga turut serta dalam menentukan arah kebijakan publik demi dinilai sudah menjalankan ide good governance. Namun, apa itu makna “partisipasi masyarakat”, kekuasaanlah yang menentukan.

Periksalah bagaimana Badan Legislatif (Baleg) DPR menentukan makna “partisipasi masyarakat” lewat rancangan revisi UU Penyiaran versi mereka. Pada bab XII tentang Partisipasi Masyarakat, tepatnya pada pasal 148 dan 149, diciptakanlah sebuah entitas yang tidak pernah dikenal dalam UU sebelumnya: Organisasi Lembaga Penyiaran (OLP).

Kepentingan perusahaan

Apa yang dimaksud dengan OLP tidaklah jelas. Yang dibuat jelas hanyalah tujuan keberadaannya. Begini tulis Baleg DPR tentang tujuan didirikannya OLP: “menyalurkan aspirasi dan kepentingan Lembaga Penyiaran (Pasal 149 Ayat 2 Butir c)”.

Agar tidak tampak brutal, maka tujuan itu mesti dibarengi tujuan-tujuan normatif nan mulia, seperti “mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan identitas dan kebudayaan nasional (Butir a)”, “meningkatkan kualitas penyiaran (Butir b)”, “meningkatkan partisipasi lembaga penyiaran dalam mencapai tujuan pembangunan nasional (Butir d)”.

Tujuan “mulia” macam demikian, buat saya, tidaklah lebih dari sekadar strategi retorika yang dirancang untuk menyilaukan; untuk mematut-matut diri dan untuk mengaburkan persoalan utamanya. Seolah atas nama “tujuan mulia”, kehadiran OLP tidak bermasalah dan tidak perlu disoal.

Lewat pasal-pasal tersebut, saya memahami OLP sebagai lembaga yang secara terang-terangan dibuat untuk secara total melayani kepentingan perusahaan penyiaran. Keberadaannya secara khusus dirancang untuk melindungi dan melancarkan agenda-agenda industri di dalam bisnis penyiaran.

Lewat OLP, Baleg seolah ingin memfasilitasi minat ekonomi-politik industri penyiaran secara resmi dan legal. Untuk memudahkan fasilitasi tersebut, susunan organisasi OLP mesti “ditetapkan oleh para Lembaga Penyiaran” (Pasal 149 ayat 3) sendiri.

Dengan diformulasikan dalam sebuah produk hukum, keberpihakan terhadap industri ingin dikondisikan sebagai amanat UU. Maka, jangan salahkan apabila publik berpendapat bahwa revisi UU Penyiaran sebenarnya dirancang untuk memfasilitasi kepentingan industri semata.

Bukan. Saya bukan berpendapat bahwa perusahaan penyiaran tidak boleh memiliki kepentingan. Tapi, bukankah industri TV sudah punya asosiasi di mana kepentingannya sudah terwadahi? Salah satunya misalnya adalah Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).

Bukankah selama ini ATVSI sudah mewadahi dan menyalurkan kepentingan perusahaan TV swasta? Bukankah selama ini mereka bisa menyampaikan aspirasinya, baik ke pemerintah, DPR, media, dan masyarakat secara umum?

Kepentingan publik diabaikan

Lantas untuk apa keberadaan OLP? Apakah OLP adalah upaya memformalkan satu kelompok kepentingan, seperti ATVSI, sebagai satu badan resmi yang diamanatkan dan dilindungi UU? Mengapa justru bukan publiklah yang kepentingannya dilayani melalui, misalnya, semacam dewan penyiaran di mana perwakilan dari berbagai kelompok masyarakat, khususnya kelompok rentan, duduk bersama untuk merumuskan aspirasinya? Atau malah, oleh Baleg, publik dianggap tidak memiliki kepentingan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sayangnya sulit dijawab dan hanya bisa membuat publik menduga-duga. Pasalnya, selama ini proses revisi UU Penyiaran ini sangat tertutup.

Permintaan audiensi ke DPR dari kelompok akademisi dan masyarakat sipil tidak pernah digubris. Jadwal rapat pembahasan UU tidak pernah dikabarkan secara terbuka, seolah menghindari pantauan publik. RUU versi Baleg yang saya pakai dalam pembahasan tulisan ini pun saya dapat bukan melalui jalur yang resmi.

Di luar pasal mengenai OLP ini, banyak pasal-pasal lain yang juga bermasalah. Hal itu terbentang dari isu digitalisasi, pelenyapan ayat iklan rokok, wacana pengalokasian frekuensi radio untuk TV pemerintah dan DPR, penambahan porsi persentase iklan, hingga pemidanaan narasumber dan pengisi acara di TV

Diani Citra pada opininya di Kompas (2/9), selain memproblematisir isu digitalisasi secara khusus, juga berpandangan bahwa naskah RUU Penyiaran versi Baleg “sarat masalah”.

Secara garis besar, revisi UU Penyiaran versi Baleg DPR ini harus dikatakan abai kepentingan publik. Sebaliknya, kepentingan privatlah yang diakomodasi. Aspirasi elit ekonomi dan politik secara kuat mewarnai corak naskah revisi tersebut. Pasal mengenai OLP, misalnya, bisa dibaca sebagai representasi semangat Baleg yang melayani kepentingan privat tersebut.

Lantas apa makna partisipasi masyarakat ketika undangan berpartisipasi dikirim secara khusus hanya kepada perusahaan penyiaran? Lebih jauh, apa makna partisipasi masyarakat dalam sebuah proses yang justru menghindari partisipasi masyarakat?
Dari sini kita bisa melihat bagaimana kekuasaan menentukan makna dari partisipasi masyarakat: cukup diwakili kepentingan privat.

Artikel ini dimuat di Kompas pada 20 September 2017.

Orde Media

orde-media-copy

Teks berikut dinukil dari tulisan saya “Orde Media: Sebuah Pengantar” yang termaktub dalam buku “Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru” terbitan INSISTPress dan Remotivi. Buku yang bisa dibeli di sini ini, berisi kumpulan tulisan yang mayoritas diterbitkan remotivi.or.id ketika saya dan Indah Wulandari bekerja menjadi editornya.

KERUNTUHAN SUATU REZIM fasis atau otoriter selalu disertai dengan harapan akan lenyapnya dominasi, kekerasan, dan manipulasi. Hal ini pula yang dibayangkan banyak orang ketika Orde Baru yang berkuasa atas Indonesia selama 32 tahun akhirnya terguling. Namun, imajinasi tersebut rasanya ikut runtuh dan hanyut bersama Orde Baru, sebab kenyataan hari ini justru menunjukkan bahwa hal yang dicita-citakan tersebut belumlah terwujud. Kuasa oligark seperti halnya perlombaan estafet yang pada gilirannya mengoper tongkat estafet kekuasaan. Tongkat itu kini berada di tangan industri media.
Di era kebebasan ini, para oligark melalui industri media berkuasa dengan merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Media mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Agenda publik menjadi pengejawantahan agenda pemilik modal. Ruang publik disesaki oleh kepentingan elit untuk melayani syahwat ekonomi-politiknya. Kerja media dioperasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Padahal pasar adalah rimba penaklukkan antarspesies.
Akhirnya, media hanya memproduksi informasi berdasarkan apa yang diinginkan pasar, bukan apa yang dibutuhkan publik. Namun, selera konsumen yang diciptakan media didaku sebagai selera publik. Publik kemudian dimaknai sebagai konsumen. Sehingga, pelayanan media kepada pembaca, pendengar, dan penontonnya berada dalam koridor transaksi produsen-konsumen dengan mekanisme jual-belinya. Warga negara, dengan segala hak dasarnya, menjadi entitas yang tak dikenal. Penyampaian argumen dalam koridor kewargaan harus dikonversi dalam mata uang yang mampu dipindai oleh logika pasar. Sistem ekonomi pasar seperti ini, menurut Arendt, cenderung mengikis habis solidaritas warga.[1] Continue reading “Orde Media”

Menguji Logika Pandji

LOGIKA PANDJI
Grayson Perry. 2012. The Adoration of the Cage Fighters

PANDJI PRAGIWAKSONO MENULIS dalam blognya: industri TV memang aneh. Buat saya, cara berpikir Pandji dalam tulisannya tersebut juga tak kalah anehnya. Dalam tulisan berjudul “Let’s Move It” itu, ia mendaku bahwa sampah yang disiarkan TV kita disebabkan oleh “selera” masyarakat kelas bawah. Begini kalimat pamungkasnya: “Itulah mengapa banyak program TV yang terpaksa di-‘dumb it down’ atau dibikin ‘goblok’ demi mendapatkan perhatian masyarakat kelas bawah.”
Tentu, keresahan Pandji atas pandirnya industri TV adalah keresahan saya pula, dan mungkin Anda semua. Tapi saya mempunyai pandangan yang berbeda dengan Pandji—meski ternyata  tulisan tersebut ditulis Februari tahun lalu, tapi belakangan menjadi ramai dibicarakan setelah seseorang memuatnya di Kaskus dan membuat gencarnya penyebaran di media sosial. Ya, popularitas kerap membuat sesuatu tampak penting dan, sialnya, tampak benar.
Ringkas cerita, cara berpikir Pandji dalam tulisan tersebut bisa disimpulkan dalam tiga poin. Pertama, bahwa selera masyarakat kelas bawah adalah penyebab dari buruknya isi siaran TV. Kedua, masyarakat kelas atas punya selera yang bermutu, atau setidaknya, tidak serendah kelas bawah. Ketiga, penonton televisi dikekalkan posisinya hanya sebagai konsumen, bukan warga negara. Saya bahas dulu yang pertama.
Continue reading “Menguji Logika Pandji”

Pencabutan Izin Siaran TV Bukan Pemberedelan!

DALAM HAL MEDIUM yang digunakan, media cetak berbeda dengan media siar seperti TV dan radio. Media cetak menggunakan kertas yang dimiliki secara privat, sedangkan media siar menggunakan gelombang frekuensi yang dimiliki secara publik. Perusahaan media cetak membeli sendiri kertasnya untuk mempublikasi berita, sedangkan perusahaan stasiun TV dipinjamkan frekuensi siar oleh negara. Kekeliruan dalam memahami perbedaan mendasar tersebut akan membawa pada kesesatan berpikir dalam memperlakukan keduanya.
Opini Sabam Leo Batubara di KOMPAS (12/3), “Menyoal Perpanjangan Izin Penyiaran” tampaknya mengabaikan perbedaan tersebut. Dengannya ia memakai logika media cetak yang anti-pemberedelan untuk mendelegitimasi aturan “pencabutan izin siaran” TV.
Lucunya, pendapat Batubara kontradiktif satu sama lain. Di satu sisi ia menyebut “lembaga penyiaran banyak melakukan pelanggaran”, tapi di sisi lain ia berpendapat bahwa “tidak terdapat alasan untuk tidak memperpanjang izin bagi 10 media itu”. Di satu sisi ia mempertanyakan kenapa selama ini izin stasiun TV yang terbukti melanggar tidak pernah dicabut atau diproses secara hukum, di sisi lain ia berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan UU Pers dan sekaligus memperingatkan KPI dan Kominfo atas ancaman pidana yang bakal menghadang kalau mereka melaksanakannya.
Ujung-ujungnya, Batubara malah mengusulkan “musyawarah” antara regulator dengan industri.
Continue reading “Pencabutan Izin Siaran TV Bukan Pemberedelan!”