Orde Media

orde-media-copy

Teks berikut dinukil dari tulisan saya “Orde Media: Sebuah Pengantar” yang termaktub dalam buku “Orde Media: Kajian Televisi dan Media di Indonesia Pasca Orde Baru” terbitan INSISTPress dan Remotivi. Buku yang bisa dibeli di sini ini, berisi kumpulan tulisan yang mayoritas diterbitkan remotivi.or.id ketika saya dan Indah Wulandari bekerja menjadi editornya.

KERUNTUHAN SUATU REZIM fasis atau otoriter selalu disertai dengan harapan akan lenyapnya dominasi, kekerasan, dan manipulasi. Hal ini pula yang dibayangkan banyak orang ketika Orde Baru yang berkuasa atas Indonesia selama 32 tahun akhirnya terguling. Namun, imajinasi tersebut rasanya ikut runtuh dan hanyut bersama Orde Baru, sebab kenyataan hari ini justru menunjukkan bahwa hal yang dicita-citakan tersebut belumlah terwujud. Kuasa oligark seperti halnya perlombaan estafet yang pada gilirannya mengoper tongkat estafet kekuasaan. Tongkat itu kini berada di tangan industri media.
Di era kebebasan ini, para oligark melalui industri media berkuasa dengan merumuskan percakapan ratusan juta warga Indonesia. Media mengatur apa yang seharusnya dibicarakan dan apa yang dihindari untuk dibicarakan. Agenda publik menjadi pengejawantahan agenda pemilik modal. Ruang publik disesaki oleh kepentingan elit untuk melayani syahwat ekonomi-politiknya. Kerja media dioperasikan dengan bersandar semata-mata pada pasar. Padahal pasar adalah rimba penaklukkan antarspesies.
Akhirnya, media hanya memproduksi informasi berdasarkan apa yang diinginkan pasar, bukan apa yang dibutuhkan publik. Namun, selera konsumen yang diciptakan media didaku sebagai selera publik. Publik kemudian dimaknai sebagai konsumen. Sehingga, pelayanan media kepada pembaca, pendengar, dan penontonnya berada dalam koridor transaksi produsen-konsumen dengan mekanisme jual-belinya. Warga negara, dengan segala hak dasarnya, menjadi entitas yang tak dikenal. Penyampaian argumen dalam koridor kewargaan harus dikonversi dalam mata uang yang mampu dipindai oleh logika pasar. Sistem ekonomi pasar seperti ini, menurut Arendt, cenderung mengikis habis solidaritas warga.[1]
Dalam kaitannya dengan demokrasi yang membutuhkan pasokan dan sirkulasi informasi yang cukup dan benar, situasi ini secara terang akan menghalangi warga untuk bisa berpartisipasi dalam pengelolaan negara. Sebab, informasi yang diproduksi kebanyakan media bukan diproyeksikan untuk memberdayakan, tapi memperdaya warga untuk giat mengonsumsi dan menaruh perhatian pada isu-isu yang diagendakan media, yang sering kali menggeser fokus substansinya ke remeh-temeh di seputarannya.
Ramai-ramai pemberitaan tato Menteri Susi Pudjiastuti ketimbang kebijakan yang dikeluarkannya, misalnya, adalah salah satu bentuk penggeseran fokus. Warga dijauhkan dari hal-hal substansial, dan didekatkan pada hal-hal bombastis, karena audiens dipandang sebagai konsumen, bukan warga negara yang punya hak dan akses pada informasi yang benar dan bermutu, yang bisa dipakai sebagai pertimbangan membuat tindakan. Paradigma “melayani konsumen” inilah yang menjelaskan mengapa misalnya stasiun televisi tidak menyediakan penerjemah bahasa isyarat dalam tayangan berita: penyandang difabel bukanlah ceruk pasar yang besar. Hak kaum difabel sebagai warga negara, yakni akses mendapatkan informasi, hanya disimak sebagai kegaduhan kecil yang mudah berlalu. Layanan terhadap difabel hanya akan ada kalau mereka cukup besar sebagai ceruk pasar.
Lalu, dalam konteks konglomerasi bisnis lintas sektor (media dan non-media) proporsi konten di media juga telah bercampur dengan kepentingan bisnis lain yang seinduk. Tenggelamnya isu kejahatan korporasi dan timbulnya informasi yang menunjang promosi produk telah menjadi modus harian media. Talkshow telah menjadi panggung bagi iklan-iklan produk, sementara isi berita berhasil melakukan kerja-kerja sebagai humas perusahaan. Kita tak pernah tahu persis berapa persen konten di media adalah pesan sponsor, eksplisit maupun implisit.
Dalam konteks politik, Pemilu 2014 telah memperlihatkan kepada kita bagaimana media telah berkuasa dalam memilihkan pemimpin negara, melancarkan agenda elit politik, mengadonnya menjadi komoditas, dan meraup untung dari pertikaian horizontal yang terjadi antarpendukung politik. Semua itu dilakukan media sambil terus mengulang-ulang istilah “pendidikan politik”, “pesta rakyat”, atau “partisipasi publik”, seolah ingin meyakinkan bahwa kita sedang mempraktikkan demokrasi.
Cuaca demokrasi selepas Orde Baru akhirnya hanya dinikmati oleh sekelompok kecil konglomerat, yang menjadi semakin kaya dalam beberapa dekade terakhir, yang pada akhirnya memberikannya kemampuan untuk membeli pengaruh politik. Kalau rezim otoriter menggunakan tentara sebagai aparatnya, para super-kaya ini menggunakan media. Maka tibalah kita pada sebuah rezim baru, di mana sekelompok elit memerintah melalui media. Mereka tidak saja mengatur selera busana dan mendikte cara mengisi waktu luang, tapi juga memilihkan presiden dan mengarahkan ke mana sebuah kebijakan publik harus bermuara. Logika media memberi disiplin yang khas mengenai bagaimana politik harus dijalankan. Media tidak saja hidup sebagai bagian dalam sebuah ekosistem, tapi ia telah menjadi sistem itu sendiri. Ia telah menjadi order: memerintah dan berkuasa.
Kita telah tiba di Orde Media.

***

BERKUASANYA kekuatan modal pasca Orde Baru telah diprediksi oleh Richard Robinson dalam The Rise of Capital (1987). Bangkitnya kekuatan modal ini ikut merangsang tumbuhnya bisnis media. Munculnya kekuatan media sebagai bentuk ekspresi kapital, meski tak masuk dalam pembahasan Robinson, adalah salah satu afirmasi atas ramalan dalam buku tersebut.
Corak pertumbuhan industri media semacam ini tak hanya terjadi hari ini di Indonesia. Konglomerasi media yang terjadi di Amerika, misalnya, juga tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan industri consumer goods yang membutuhkan ruang beriklan di media demi memompa daya konsumsi masyarakat.[2]
Hal yang sama berlaku atas lahirnya stasiun swasta pertama di Indonesia, yang ada demi melayani kebutuhan kebutuhan industri untuk beriklan di stasiun televisi demi merespon ledakan kelas menengah baru yang lahir akibat bonanza minyak pada era 1980-an[3]. Sementara itu, TVRI sebagai satu-satunya stasiun TV, sejak 1981[4] telah dilarang beriklan dengan alasan normatif: menghindari ekses negatif iklan yang menjadikan masyarakat konsumtif.[5] RCTI, SCTV, dan TPI lahir dalam suasana seperti itu.
Dengan demikian, pendirian media lebih banyak dimaksudkan sebagai ekspansi ekonomi ketimbang sebagai alat pemberdayaan warga, atau katakanlah penyokong demokrasi. Pendirian media tak lebih dari kepanjangan tangan elit yang ingin semakin menancapkan dominasi ekonominyanya dalam masyarakat konsumsi. Pada era lampau, pendirian TVRI pada 1962 pun tak berada dalam koridor idealisasi tersebut, tapi merupakan ekspresi megalomaniak Soekarno. Proposal pendirian media jauh dari urusan melayani warga.
Dominannya motif ekonomi dalam mendirikan media juga terjadi pada ledakan industri media pasca Orde Baru. Liberalisasi ekonomi yang sudah dimulai sejak 1980-an, mencapai puncaknya ketika  terjadinya liberalisasi politik pasca 1998, yang diikuti oleh kebijakan deregulasi yang  membuka kran bagi tumbuhnya bisnis media. Indonesia kemudian menggantungkan pendapatannya dari bisnis swasta. Ini tercermin dari jumlah 72,2% pendapatan negara berasal dari pajak pada 2010 (17% dari sumber daya alam dan kurang dari 1% merupakan dana bantuan asing).[6]
Liberalisasi yang mengurangi peran negara ini pada akhirnya memberi saluran bagi kekuatan kapital. Peran negara melemah, peran korporasi menguat. Pelayanan publik yang sedianya dikelola oleh negara (seperti air, misalnya), dioper ke badan privat. Manifestasi Yang Privat adalah konsekuensi logis dari berjayanya kapitalisme. Di titik ini, menyitir Hardiman, “Yang Privat itu melar, sedangkan Yang Publik itu menciut”.[7] Vakumnya hukum dan penegakkannya menjadi celah yang seakan menaturalisasi media menjadi institusi bisnis semata yang dibiarkan bergerak liar bersandar pada hukum pasar.
Upaya menghadirkan hukum sebenarnya bukannya tak ada. UU Penyiaran yang lahir pada 2002 sejatinya adalah usaha untuk mengatur industri penyiaran agar tetap kompatibel dengan demokrasi. Tapi, industri sebagai pihak yang paling berkepentingan tentu tak berpangku tangan. Salah satu kampanye yang berhasil dilakukan industri, dengan dimotori oleh Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), adalah mendelegitimasi keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator. ATVSI berhasil dalam memanfaatkan situasi psikologis dunia pers yang traumatik pasca Orde Baru yang mengekang kebebasan pers, di mana KPI diasosiasikan dengan Kementerian Penerangan.
Dengan demikian, agenda demokratisasi yang mengamanatkan tegaknya lembaga independen yang mewakili publik dalam mengawasi praktik industri penyiaran kemudian dimandulkan dengan KPI hanya diberikan kewenangan mengurusi isi siaran, sementara izin siaran, pembagian alokasi frekuensi, dan sebagainya, diberikan kepada pemerintah. Pemerintah, dengan riwayat kolusinya yang panjang, tampaknya lebih dipercaya industri untuk mengatur penyiaran, ketimbang lembaga independen seperti KPI.[8] Kepercayaan tersebut dibayar dengan keberhasilan pemerintah memfasilitasi industri penyiaran untuk, salah duanya, melakukan konsentrasi kepemilikan dan pemusatan penyiaran di Jakarta.
CATATAN: Teks ini tidak lengkap. Seutuhnya bisa dibaca langsung pada versi bukunya.
 
[1] Hannah Arendt dalam F. Budi Hardiman. “Komodifikasi Ruang Publik: Arendt dan Habermas tentang Hegemoni Pasar atas Demokrasi”. Materi kuliah extension course filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara (tanpa tahun).
[2] Ben Bagdikian. The Media Monopoly (5th edition). Boston: Beacon Press, 1997, halaman 14.
[3] Khrisna Sen dan David T. Hill. Media, Budaya, dan Politik di Indonesia. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2001, halaman 153.
[4] Philip Kitley. Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2001, halaman 68.
[5] Dalam analisis politik, kebijakan Orde Baru ini dianggap bagian dari upaya dalam menjaga stabilitas kekuasaannya yang mulai dirongrong kelompok kelas menengah perkotaan yang telah mengonsolidasi diri sebagai opisisi pemerintah. Pada sisi lain, kelompok Islam politik yang kerap direpresi juga dikhawatirkan akan menjadi potensi opisisi yang lain. Karena itu, masyarakat perdesaan yang selama ini menjadi massa pendukung Soeharto, distabilisasi dengan dijauhi dari potensi timbulnya kecemburuan sosial karena ketidakmampuan membeli produk yang beriklan di TVRI. Cara ini juga sekaligus upaya merangkul kelompok Islam yang mengkritik iklan televisi sebagai pendorong kehidupan umat Islam yang semakin hedonistik.
[6] Bandingkan dengan situasi pada 1982-1983 di mana 73,3% pendapatan negara diperoleh dari sektor minyak dan gas dan dana asing. Lebih jauh baca Richard Robison dalam Edward Espinall, “Kemenangan Modal?”. Prisma volume 32, 2013.
[7] F. Budi Hardiman. “Komodifikasi Ruang Publik: Arendt dan Habermas tentang Hegemoni Pasar atas Demokrasi”. Materi kuliah extension course filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Drijarkara (tanpa tahun).
[8] Ade Armando. TV Jakarta di Atas Indonesia. Jakarta: Bentang, 2010, halaman 160-176

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *