A Simple Life: Perempuan yang Menjadi Tua di Rumah Majikan

Kapan terakhir kali kita membicarakan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah kita? Bukan, bukan soal kapan mereka kembali dari mudik. Maksud saya: kapan terakhir kali kita membicarakan kehidupan mereka?

Harus diakui, PRT kerap absen dalam pembicaraan di sebuah keluarga. Kecuali ketika kondisi rumah berantakan atau majikan butuh air panas sepulang bekerja, selebihnya PRT tak pernah dihadirkan dalam pikiran kita. Sependek pengalaman saya, sangat jarang menemukan gambaran majikan yang memikirkan peningkatan taraf hidup PRT-nya; bukan sekadar kenaikan gaji, tapi juga hak sosial dan budayanya. Padahal, PRT hadir sangat lekat dalam kehidupan keluarga Indonesia—atau setidaknya di Pulau Jawa—hampir di berbagai kelas sosial (dengan konsep relasi kerja1 yang bervariasi, tentunya).

A Simple Life besutan Ann Hui adalah film tentang mereka. Ah Tao (Deannie Ip) adalah seorang PRT yang telah bekerja selama lebih dari 60 tahun pada keluarga Leung. Pada paruh akhir hidupnya, Ah Tao bekerja melayani Roger (Andy Lau), seorang produser film, generasi ketiga dari keluarga ini. Ia mulai bekerja untuknya semenjak Roger pulang ke Hong Kong dari sekolahnya di Amerika.

Hampir seumur hidupnya Ah Tao melayani keluarga Leung. Tentu, ia telah bekerja jauh hari sebelum Roger lahir. Ah Tao tahu semua hal yang dibutuhkan Roger. Hingga suatu malam menjadi awal ketika Roger gantian mengurusi: Ah Tao terkena stroke. Ia kemudian berhenti bekerja dan minta dikirim ke panti jompo.

Diangkat dari kisah nyata, film ini bukan saja ajakan untuk mendalami hubungan majikan-PRT, tapi juga cerita tentang kehidupan di panti jompo—termasuk kritik komersialisasi atasnya—dan renungan saat manusia menjadi tua. A Simple Life dengan berhasil telah menuntun saya masuk pada pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan. Masa depan yang diajukan A Simple Life bukanlah sesuatu yang menggairahkan dan penuh ketidakpastian, tapi justru adalah sesuatu yang mengusik dan pasti. Menjadi tua merupakan kepastian, dan kepastian menjadi tua akan merenggut atau mengurangi peluang-peluang yang hanya dimungkinkan oleh kemudaan. Pendeknya, menjadi tua adalah fase memasuki kerumitan yang lain.

Tapi situasi ini menjadi lebih rumit ketika dihadapkan pada kasus seperti Ah Tao, seorang tua yang sakit dan telah memberikan hampir seumur hidupnya bagi kehidupan majikannya. Siapapun akan diganggu dengan pertanyaan “haruskah saya bertanggung jawab atas masa tua PRT saya?” atau “dalam bentuk apa tanggung jawab tersebut harus saya berikan?”.

Bukan pesangon atau semacamnya yang menjadi jawabannya, Roger bahkan tak memberikan ruang bagi pertanyaan semacam itu. Seakan tak ada jeda untuk membiarkan keraguan atau kebingungan tumbuh. Ia lekas mengajukan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah sempat hinggap itu: merawat Ah Tao hingga ke pusaranya.

Mengurus bekas PRT-nya dari hari ke hari telah menumbuhkan sikap Roger. Dari yang selama ini terkesan dingin, Roger menjadi semakin hangat kepada Ah Tao. Ia mengasihi Ah Tao. Saya suka dengan cara Ann Hui melukiskan pertumbuhan itu yang dilakukannya tanpa ketergesaaan. Adegan demi adegan yang dimainkan dengan lambat telah memberikan penghargaan atas proses seseorang yang mengalami pertumbuhan. Sebuah upaya simpatik yang ditempuh ketika hari ini proses adalah sejenis kemewahan yang sulit mendapat tempat.

Bahan cerita dalam film semacam ini sebenarnya memberi pintu yang lebar bagi dramatisasi, tapi Ann Hui tak pernah melangkah ke sana. Pun ia tak tergoda menyuruh musik untuk memeras perasaan sentimentil. A Simple Life tak memerlukan segala teknik “rayuan nangis bombay” yang tersedia dalam pembuatan sebuah film sekadar untuk membuat orang terenyuh.

Nikmatilah juga bagaimana Ann Hui memberi nyawa pada cerita melalui properti. Riwayat hubungan Roger dan Ah Tao tidak disajikan melalui adegan kilas balik yang menjemukan dan kelewat klise itu, tapi dengan mengunjungi benda-benda. Ketika kesehatan Ah Tao makin membaik, Roger membawa Ah Tao mampir ke rumah susun mereka. Dari awalnya berniat membereskan rumah, mereka malah asyik membongkar lemari yang berisi banyak barang masa lalu. Lewat benda-benda tersebut mereka mengenang cerita-cerita lama. Tiap benda menyimpan kisah tentang keluarga Leung.

Visual voyeuristik A Simple Life

Potret PRT dan Problem Kultural

Di Indonesia, rasanya tak sulit bagi kita untuk menjumpai kisah PRT seperti Ah Tao. Saya sendiri punya teman dan saudara yang memperkerjakan PRT dari muda hingga usia lanjut. Kisah-kisah tersebut biasanya jamak memberitahu kita bahwa pekerjaan sebagai PRT bukanlah sebuah cita-cita.

Ah Tao sendiri menjadi PRT dengan tidak sengaja. Setelah diadopsi oleh sebuah keluarga sejak bayi, ketika remaja ia ditinggalkan ayah angkatnya yang meninggal pada saat Cina diduduki Jepang. Kemiskinan yang mendera ibu angkatnya membuat Ah Tao kemudian dikirim ke keluarga Leung. Sejak itulah Ah Tao bekerja sebagai PRT.

Kisah Ah Tao hampir pasti tidak jauh beda dengan situasi di Indonesia. Ada kurang lebih 2,5 juta PRT di Indonesia (International Labour Organization, 2002), yang bukan saja tak pernah bisa memilih pekerjaannya, tapi juga banyak yang mengalami perampasan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. Semua disebabkan mulai dari lemahnya perlindungan hukum hingga masalah kultural.

Istilah “pembantu”, misalnya, adalah salah satu problem kultural itu. Kata ini—yang saya hindari untuk memakainya di sini—membawa beban kultural yang membuat pekerjaan domestik tidak dianggap setara dengan pekerjaan lainnya, sehingga tak melekat hak-hak dasar seorang pekerja pada umumnya. Apa yang dilakukan hanyalah “membantu” pekerjaan dan bukan merupakan pekerjaan itu sendiri. Karena “membantu” dianggap pekerjaan ringan yang tidak dilakukan setiap waktu, maka tak perlu jam kerja. Begitulah cara pikir yang berkembang di masyarakat. Maka itu gerakan advokasi pekerja domestik menyasar problem kultural tersebut dengan mengganti istilah “pembantu” menjadi “Pekerja Rumah Tangga (PRT)”. Dengannya, pekerjaan PRT ingin didudukkan secara setara dengan pekerjaan lainnya. Hal yang sama juga terjadi ketika dulu istilah “babu” diganti menjadi “pembantu”.

Mitos relasi gusti-kawula (raja-hamba/penguasa-dikuasai) adalah problem kultural lain yang berkontribusi pada relasi majikan-PRT yang timpang. Dipakai sebagai alat pengaturan masyarakat pada era raja-raja Mataram, konsep ini mengatur bagaimana gusti dibicarakan dan kawula diperlakukan. Dengannya, kuantitas dan kualitas kekuasaan (kebenaran) telah melekat pada diri gusti dan identitas seorang kawula bergantung pada gustinya (Holy Rafika, 2015). Alhasil, seperti yang kini jamak berjalan: PRT berada dalam rutinitas inferioritas yang tak “alamiah” ketika menagih haknya, sedangkan majikan melulu superior dan selalu mutlak mendapat haknya.

A Simple Life memang bukan film yang mengadvokasi isu tersebut. Tapi cara film ini menempatkan seorang PRT seperti Ah Tao di dalam hubungannya dengan keluarga majikannya, seperti mengajak untuk memeriksa pikiran kita selama ini. Film ini mengajukan ruang negosiasi antarsubjek untuk mendefinisikan ulang perkara-perkara di atas.

Lihat bagaimana kamera dioperasikan dengan intes atas Ah Tao. Dalam beberapa adegan, kamera diambil dengan tidak stabil dari balik jendela atau teralis, serasa memposisikan penonton sebagai orang yang mengintip apa yang PRT kerjakan di rumah. Tentu bukan mengintip untuk memantau kerja PRT, tapi kerinduan yang malu-malu untuk mengenal mereka yang melakukan banyak untuk kita.

Pendekatan semacam itu memudahkan A Simple Life untuk membuat saya merasa dekat dan memiliki Ah Tao. Ah Tao tak lagi menjadi si liyan, melainkan telah menjadi bagian dari kita. Maka ketika tampil beberapa adegan yang mengesankan Ah Tao meninggal, saya khawatir, kita semua khawatir. Membangun psikologis atau mental menonton semacam itu tentu sulit berhasil jika tak melalui rangkaian bahasa visual seperti yang Ann Hui susun.

Ann Hui berhasil menjadikan A Simple Life sebuah film yang membuat kita berenang—bukan tenggelam—dalam tontonan. Berkali-kali.

 

A Simple Life | 2011 | Durasi: 118 menit | Sutradara: Ann Hui | Produksi: Focus Film Limited, Sil-Metropole Organisation, Bona Film Group | Negara: Hong Kong | Pemeran: Deannie Ip, Andy Lau, Wang Fuli, Paul Chun, Samo Hung

 


Dimuat di Cinema Poetica pada 20 Agustus 2015

  1. “Relasi kerja” adalah konsep dalam Marxisme yang merujuk pada hubungan pemilik modal (borjuis; pemilik alat produksi dan tuan tanah) dan penyedia tenaga (buruh) yang menerima upah. Dalam konteks PRT di Indonesia, tidak semua PRT bekerja pada seorang majikan dengan konsep relasi kerja upahan, sebab ada yang bekerja pada kerabat dekat atau keluarga angkat tanpa diupah (hanya diberi makan dan tempat tinggal).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *