Pilkada dan Mengorganisasi Sikap Politik Alternatif

woyy

Dua minggu lagi Pilkada dilaksanakan serentak di 101 daerah di Indonesia. Sebagai warga Jakarta, sialnya, sikap politik saya tidak terwadahi dari tiga calon yang ada. Namun saya percaya, saya tidak sendirian.

Ada banyak orang yang aspirasi politiknya kesulitan menyesuaikan diri dengan pilihan yang tersedia. Ada rasa bersalah yang kuat kalau mereduksi sikap politik pribadi sekadar agar bisa berpartisipasi dalam Pilkada dengan cara mencoblos salah satu pilihan yang ada.

Hidup adalah persoalan yang kompleks, maka hidup bersama adalah persoalan yang jauh lebih kompleks. Dan politik adalah ihwal yang mengatur kehidupan bersama itu. Pendeknya, politik adalah mekanisme distribusi. Yang didistribusikan adalah hak, akses, kebebasan, dan kekuasaan.

Sikap politik saya, dan juga banyak orang lainnya, juga kompleks. Saya berada pada posisi yang berseberangan dengan Ahok dalam hal penggusuran, tapi saya membelanya dalam kasus penistaan agama. Saya mendukung Ahok dalam hal reformasi birokrasi dan kefrontalannya menghadapi politikus bangsat, tapi saya menjadi seterunya yang keras atas watak fasismenya yang tercermin dalam cara ia memahami kemiskinan, demokrasi, dan persoalan sosial.

(Mari mengingat lontaran dan kebijakan Ahok yang lalu-lalu: “akan bunuh 2 ribu orang demi menyelamatkan 10 juta orang”, “mensitgma warga bantaran kali dengan label ‘komunis’, ‘penyebar TBC'”, “penerbitan Pergub pelarangan demonstrasi di Bunderan HI dan Istana”).

Soal Anies, saya sepandangan dengannya dalam ihwal ia memahami pengelolaan kota sebagai gerakan partisipatif (bandingkan dengan paradigma Ahok yang cenderung “top-down“). Saya juga sepaham dengan paradigma Anies yang menginvestasikan kerja politik pada pembangunan manusia (Ahok menggunakan istilah “membangun manusia”, tapi corak berpikirnya tidak mengarah ke sana). Meski tidak pernah secara detail menjelaskan teknisnya, saya juga menghargai sikap Anies yang menolak reklamasi dan penggusuran.

Anies adalah orang pandai yang memahami banyak persoalan. Ia pandai karena ia memahami aspirasi dari tiap kelompok yang berbeda. Namun ini justru yang menjadi problem buat saya: Anies berjualan isu apapun sehingga ia tidak lagi punya harga. Simak saja manuvernya pada debat resmi pertama yang tiba-tiba memainkan sentimen “pendatang vs penduduk asli” dan jualan moral dan akhlak yang mengingatkan saya pada retorika para politikus pada umumnya.

Kepandaiannya menjadi mengerikan karena membuat saya tidak bisa memahami kapan ia menjadi dirinya dan kapan ia menjadi orang lain. Misalnya saja, ia bisa tiba-tiba bicara mengobral bahasa keminggris ketika bicara di hadapan redaksi Jakarta Post–sesuatu yang tidak ia lakukan di hadapan publik berbeda. Ketika mampir ke Petamburan, retorika Anies beda lagi. Ini bukan lagi persoalan kepandaian membawakan diri dalam tiap konteks yang berbeda, tapi ini persoalan kepandaian mematut diri dan berkamuflase, yang menyulitkan kita untuk mengidentifikasi siapa dan bagaimana Anies Baswedan sesungguhnya.

Kekalapan Anies untuk berkuasa juga mengerikan. Kekalapan ini yang membuat ia duduk bersama orang yang secara retorika punya nilai berbeda dengan riwayat citra yang ia tampilkan selama ini. Buat saya, ini bukan persoalan kemampuan berdamai dalam politik atau bekerjasama dengan bekas seteru, tapi ini persoalan konsistensi pada nilai yang dianut (padahal dalam debat Anies menyinggung pentingnya “membela nilai”).

Soal kekalapan berkuasa, saya kira Ahok juga tidak kalah hebat. Meski beberapa temuan menunjukkan rekayasa dari konsultan politik, Teman Ahok tetap saja sesuatu yang berharga dalam proses warga berpolitik. Nilai penting dari Teman Ahok adalah ikhtiarnya menjadikan warga sebagai subjek dan pengorganisasian warga biasa dalam politik sebagai anti-tesis partai politik konvensional. Gilanya, proses panjang dan berharga ini dibubarkan setelah Ahok mendapat tiket dari PDI-P. Sekadar menjadikan Ahok sebagai gubernur kembali sebagai tujuan, ketimbang mengelola dan membangkitkan daya politik warga, adalah imajinasi politik yang keterlaluan miskin.

(Saya tidak membahas Agus karena betapa tidak menariknya ia).

Apa yang ingin saya sampaikan dari ilustrasi barusan adalah betapa tidak sederhananya membuat keputusan politik. Betapa kompleksnya realitas, dan itu tidak bisa diringkus dengan mendukung dan menolak salah satu politikus–apalagi secara fanatik.

Karena itu, mengekspresikan kesalehan atau keislaman tidak selesai hanya dengan cara tidak memilih Ahok. Sebaliknya, mendukung ide keberagaman atau kebinekaan tidak harus diartikan semata-mata dengan cara mendukung Ahok yang minoritas.
Menentang kebijakan Ahok soal penggusuran tidak sesederhana dilakukan dengan cara mendukung Anies dan terjerembab mendukung konservatisme agama demi menjegal Ahok.

Membela Ahok yang terdzolimi lewat pasal penistaan agama, tidak sesederhana mendukung dia terpilih menjadi gubernur. Saya tentu membela mereka yang terdzolimi. Tapi saya tidak akan mendukung seseorang hanya karena ia terdzolimi. Apakah karena, misalnya, Trump dihina di sana-sini, digempur oleh banyak media, lantas kita mendukung Trump? Seperti Ahok, Rizieq Shihab juga didzolimi oleh pasal penistaan agama, dan saya membela Rizieq dalam konteks tersebut, tapi saya tidak akan satu jengkal pun satu perahu dengannya hanya demi untuk menunjukkan pembelaan terhadap mereka yang terdzolimi.

Dilema dan kompleksitas macam inilah yang saya dan banyak orang lain alami. Dilema dan kompleksitas ini tidak dipahami oleh masing-masing pendukung. Mengritik Ahok disinonimkan dengan anti-Cina atau anti-kemajuan Jakarta. Membela Ahok disejajarkan dengan anti-Islam atau mendukung fasisme. Yang serupa antara fanatisme beragama dan fanatisme berpolitik adalah sama-sama menjadi manusia satu dimensi.
Akhirnya, situasi yang ada membawa saya pada gagasan berikut: sikap politik alternatif, yang tidak mungkin dilebur ke dalam pilihan yang tersedia, harus dinyatakan dan diorganisasikan. Ia setidaknya diharapkan memiliki aksentuasi yang kuat, yang tidak berlalu begitu saja. Aksentuasi yang turut meramaikan diskursus publik di mana selama ini tidak mengenali apalagi bahkan mengakui keberadaannya.

Ada komentar?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *