Hery Budiawan dalam Second Stage

BANYAK seniman-seniman besar yang bahan dasar ciptaannya berasal dari realita di sekitarnya. Realita temuannya – atau bikinannya – tersebut direkonstruksi sedemikian rupa demi melayani ide sang kreator. Dan memang benar, buah dari pohon ide tersebut setidaknya mengandung refleksi atau cermin representatif – terlepas dari berhasil atau tidaknya – atas realita-realita yang diolahnya menjadi karya seni.

Dalam karya sastra, misalnya, kita bisa memahami maksud di atas dengan menyelami karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Banyak novelnya yang mengambil konteks realita sosial. Misalkan Tetralogi Pulau Buru-nya – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah – yang merekonstruksi keadaan pergerakan nasional Indonesia yang masih dalam tahap embrio. Sastrawan lain kita tahu ada nama Nawal El Saadawi dari Mesir, Leo Tolstoi dari Rusia, atau Remy Sylado dari tanahair yang terpikat untuk membaui karya-karyanya dengan realita. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma dengan lantangnya menyerukan perlawanan terhadap pembungkaman atas fakta-fakta kebenaran dengan kumpulan artikelnya yang dibukukan, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Lewat kredo Seno ini kita mahfum, bahwa terkadang karya seni melampaui batas-batas penyampaian pesan secara‘normal’. Karya seni mampu menjadi media alternatif ketika lewat media ‘normal’, pesan-pesan berguguran menjadi kehampaan yang tak terpakai – namun saya tidak bilang karya seni itu ‘abnormal’. …baca lebih lanjut

Shall We Dance?

Shall we dance? Yes, we are!

SEPATUTNYALAH jawaban mengiyakan kita berikan bila disodorkan pertanyaan di atas ketika menikmati suguhan musik dari St. Theresia School Orchestra (STSO). Bukan untuk basa-basi atau sekedar menyemangati gairah bermusik musisi-musisi muda tersebut, tapi karena memang musik yang mereka mainkan berhasil membuat penonton tak malu-malu lagi mengakui bahwa penonton ikut bergoyang, menari.

Itulah yang kira-kira tampak dari konser orkestra milik STSO pada 26 Juli 2008 lalu di Balai Sarbini, Jakarta Selatan. Dengan tajuk ‘Shall We Dance?’ – sebenarnya tidak ditulis dengan ‘tanda tanya’ (?) – tema tersebut memang menunjukkan bahwa mereka akan membawakan lagu-lagu tarian dan ritmis. Tidak seluruhnya lagu tarian, misalnya pada lagu pembukaannya, Simfoni No. 40. …baca lebih lanjut

Berfantasi Lewat Gitar

Judul : Becak Fantasy

Karya : Jubing Kristianto

Produksi :Indo Music

Tahun : 2007


MUNGKIN gitar adalah alatmusik yang paling akrab dan populer bagi masyarakat Indonesia. Dan selama ini, mungkin pula masyarakat kita hanya mengenal gitar sebagai instrumen pengiring atau pembawa melodi. Padahal ada kemagisan luarbiasa dari instrumen berbodi sintal dengan keenam senarnya ini. Asal sang pemain tahu bagaimana membujuknya berbicara layaknya sebuah band bahkan orkestra.

Jubing Kristianto adalah salah satu gitaris yang dengan tekun dan cerdas berhasil membujuk gitar untuk berbicara banyak. Lewat albumnya, Becak Fantasy, Jubing memperlihatkan bahwa steoreotip gitar sebagai instrumen kacangan diputarbalik menjadi instrumen yang pantas bersaing merebutkan kursi primadona di atas panggung konser, bersanding dengan instrumen yang sudah mapan seperti piano dan biola. …baca lebih lanjut

Musik Liszt Rasa UKraina

Di Ukraina, musik seni atau musik serius jauh dari hingarbingar layaknya negara Eropa lainnya. Namun siapa sangka, justru hingarbingar yang tak terjadi di sana malah terjadi di luar Ukraina. Sabtu (19/07) lalu, riuhnya melanda Jakarta.

MASYARAKAT musik klasik mungkin tak bisa percaya begitu saja bila mendengar sebuah resital piano dipadati begitu banyak penonton, yang meluber hingga duduk di tangga panggung, bahkan hingga beberapa penonton duduk berjarak tak lebih dari dua meter di sekeliling piano. Tapi itulah yang memang terjadi di resital seorang pianis muda Ukraina kelahiran 1987, Vitaly Pisarenko.

Tentu bukan sebuah kondisi ideal – juga bukan maunya sang pianis – untuk menyelenggarakan resital dalam kepadatan dan keriuhan seperti itu. Namun kedatangan penonton yang melebihi kapasitas tempat duduk – juga ruang untuk berdiri! – gedung Erasmus Huis, Kuningan, mau tak mau mengharuskan demikian. Toh sampai akhir, resital yang digelar sebagai rangkaian tur pemenang The 8th International Franz Liszt Piano Competition ini tidak membuat Pisarenko gentar. Bahkan sebaliknya, membuat penonton gentar menyaksikan kemampuan bermusiknya. …baca lebih lanjut