SIMAKLAH KALIMAT INI: “Ajaklah dia membicarakan kasus yang mengacak-acak sektor keuangan negara. Maka suasana akan beralih lebih ‘panas dan meriah’, mirip musik berirama staccato yang mengentak-entak”.
Kalimat itu terdapat pada salah satu tulisan majalah ini halaman 124, edisi 27 Mei 2012, yang menampilkan wawancara dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Mungkin sang penulis berupaya bersolek bahasa. Menggunakan metafor bebunyian untuk melukiskan suatu keadaan tentu sah saja. Penggunaan yang pas dan kreatif malah akan menambah daya imajinatif suatu tulisan. Tapi bila penggunaannya tidak pas, apalagi keliru, tentu akan mengaburkan realitas suasana yang sesungguhnya. Bukan hanya itu, praktek tersebut malah akan mencemari istilah atau bahasa teknis suatu disiplin ilmu tertentu.
Pada kalimat di atas, “suasana yang panas dan meriah” sedang disejajarkan dengan keadaan yang lain melalui istilah musik, yakni “musik berirama staccato yang mengentak-entak”. Pertama, pembaca yang sebelumnya tak mengenal lema “staccato” tentu tak akan mendapatkan gambaran mengenai suasana yang dimaksud di dalam teks. Benar, bahwa keterangan “yang mengentak-entak” mungkin akan segera menggugurkan pendapat tadi. Tapi “staccato” menjadi mubazir karena ia tak mampu menjelaskan dirinya.
Continue reading “Bunyi Pada Teks Kita”
Tag: musik
Membumikan Musik yang Hampir Digagalkan

Dalam hal musik, apa yang lebih penting dari padanya? Tidak ada. Peristiwa musik itu sendirilah yang terpenting.
Tapi, sepotong catatan atasnya diperlukan sekadar agar ada diskusi yang sarinya bisa kita warisi kelak. Demi semangat semacam itulah tulisan ini mencoba mencatat pemikiran-perasaan saya atas Histoire du Soldat, sebuah konser musik yang mensertakan teater dan tari.
Pertunjukan yang digagas oleh kelompok ensambel Dutch Chamber Music Company ini dibawa keliling dari Yogyakarta, Solo, Semarang, dan berakhir di Jakarta. Di Jakarta, ia dipentaskan di Erasmus Huis, Jakarta Selatan pada 19 dan 20 Agustus 2011.
Histoire du Soldat sendiri adalah sebuah karya teatrikal yang musiknya dikarang oleh Igor Stravinski dan libretonya ditulis dalam bahasa Prancis oleh Charles Ferdinand Ramuz berdasarkan cerita rakyat Rusia. Untuk kepentingan pementasan di Indonesia, naskahnya diterjemahkan oleh Jean Pascal Lebaz menjadi “Mau ketemu iblis?” Sebuah usaha pelokalan yang simpatik bila dibandingkan gaya seniman musik kita yang justru senang membuang konteks sosio-kulturalnya.
Karya ini diciptakan pada 1918, artinya sudah lebih dari seratus tahun lalu. Bercerita tentang seorang serdadu yang berniat menjual biolinnya kepada iblis untuk ditukar dengan sebuah buku yang meramalkan perekonomian masa depan. Dengan ironi dan kejenakaan, siapa sangka karya ini merupakan kritik atas perang dunia pertama? Sebagai sebuah hujatan atas keserakahan manusia, ia melakukan pukulan dengan cara yang elegan dan berwibawa. Hus, jangan coba bandingkan dengan sikap anggota DPR kita.
Dalam kondisi perang dunia yang kekurangan pemain, ditambah keadaan ekonomi yang serba sulit, Mau ketemu iblis? diciptakan dalam bentuk teater mini. Dimainkan oleh tiga aktor dan satu penari perempuan. Pemusiknya pun hanya tujuh orang, tapi karena kekuatan komposisinya, bangunan musikalnya tidak kalah rumit dan hebat dibanding format orkestra. Malah justru menuntut teknik individual pemusik yang tinggi karena masing-masing berperan sebagai solois.
Dengan tetap mengacu pada bentuk asalinya, pementasan kemarin menghadirkan Jamaluddin Latif sebagai narator dengan kemampuan keaktoran yang prima, dan tiga penari, Eko Supriyanto, Martinus Miroto, dan Sri Qadariatin. Upaya sang koreografer, Gerard Mosterd, dalam memakai idiom-idom gerak lokal kembali mengundang simpati.
Dutch Chamber Music Company (DCMC) yang beranggotakan Raymond Vievermanns (trompet dan pemimpin artistik), Arno van Houtert (klarinet), Jozsef Auer (fagot), Quirijn van de Bijlaard (trombon), Tijmen Wehlburg (biolin), Pia Pirtinaho (kontrabas), dan Han Vogel (perkusi), bermain di bawah baton Arjan Tien sebagai pengaba. Tien mengeksekusi musik dengan interpretasinya yang cermat dan hangat.
Cermat, karena pada musik Stravinski yang sibuk dengan perubahan birama ini, tempo dan pulsasinya ditarik-ulur dengan sangat lembut, apalagi bila disandingkan dengan visual gerak tarinya yang seakan mempermainkan waktu. Dan hangat, karena walau vistuositas tiap instrumennya sangat tinggi, kesan yang tumbuh adalah keringanan dan kedekatan.
Selain karya Stravinski, dari negri sendiri diperdengarkanlah karya Slamet Abdul Sjukur, Michael Asmara, dan Gatot Sulistiyanto. Kalau karya Asmara dan Gatot masih berkutat di musik modern, Slamet yang jauh lebih senior justru memilih sikap bermusik yang lentur atau bergaya pasca modern.
Kelahiran musik modern abad 20 salah satunya ditandai dengan pemakaian harmoni disonan dan nuansa-nuansa atonal, di mana cita-cita dekonstruksi musik Barat mesti jadi tujuan. Cita-cita itu menjadi kebutuhan untuk membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang terasa sudah tak memadai lagi. Musik yang fals, mengambang, tidak berakar, dan terdengar aneh, dimaksudkan sebagai umpatan sekenanya terhadap hal-hal yang tidak tertampung dalam ukuran yang lazim. Maka tidak mudah membedakan modernisme sebagai kebutuhan atau sekadar keanehan yang dicari-cari. Kesulitan ini tidak hanya bagi yang awam, para komponis sendiri pun mudah terjebak untuk bersikap oportunis dari situasi yang demikian.
Tidak seperti karya Gatot, Kitab Batu, dan Asmara, Plumeria Acuminata, yang berideologi modern, karya Slamet berjudul Kutang memiliki kelenturan untuk tidak selalu tunduk pada “kebakuan modernisme” agar dianggap sebagai karya musik baru. Penggunaan harmoni disonan dan efek musikal baru lainnya diletakkan seperlunya pada saat yang pas tanpa beban sejarah.
Kutang (2008) adalah karya Slamet selain Paha (2006) yang keduanya lahir sebagai kritik atas Undang-Undang Pornografi yang menurutnya kekanak-kanakan. Pada buku acara, Kutang malah diberi penjelasan tak karuan yang justru tak jelas! Slamet menulis Hamlet, Shakespeare, dan Ophelia yang tak ada hubungannya sama sekali dengan karyanya. Katanya, Kutang juga merupakan ejekan bagi mereka yang masih percaya pada penjelasan. Musiknya sendiri bicara tentang kelembutan, keheningan, dan ketepatan saat dalam berbagai perubahan dan keseimbangan yang terselubung dalam kekarut-marutan.
Gatot Sulistiyanto, komponis muda asal Magelang yang menempuh studinya di ISI Yogyakarta adalah sosok yang menjanjikan. Karyanya, Kitab Batu, adalah suatu karya yang kuat, baik secara gagasan, ekspresi, struktur, maupun orkestrasi. Secara gagasan, Gatot mengambil materi lokal dengan bubuhan semangat aufklarung, yakni dengan berdasarkan pada bentuk dan ekspresi Mantra Tulak Bala dan Kidung Joyoboyo.
Lewat karyanya ini, Gatot seperti hendak mengatakan sesuatu mengenai ekspresi-ekspresi tradisional yang kerap dilanda desas-desus tak masuk akal atau irasional. Kalau tafsir ini benar, semangat itu ia titipkan pada tuntutan teknik vokal yang juga tak masuk akal: ketinggian nada mencapai E3, berbagai varian trilter dengan lidah, bibir, dan tenggorokkan, dan nuansa perubahan-perubahan yang halus dalam hal timbre. Toh Ika Sri Wahyuningsih sebagai swarawati mampu mengeksekusinya dengan kemampuan yang luar biasa dan penghayatan yang bikin bulu kuduk merinding!
Pun bila menyimak pemakaian beberapa teknik vokalnya yang berpijak pada tradisi Banyuwangi, misalnya, memperlihatkan pijakan Gatot yang masih berada pada konteks budayanya.
Secara orkestrasi, Gatot dengan lihai mencampur adonan antar instrumen dengan takaran yang pas. Ia tidak cukup puas dengan hanya memberikan saat kepada masing-masing instrumen untuk berjalan sendiri-sendiri, tapi juga mencoba mengolah beberapa instrumen secara bersamaan untuk suatu pasasi, melodi, frase, atau ritme.
Hal sebaliknya justru ditempuh oleh Michael Asmara. Musiknya berdiri pada kekuatan masing-masing instrumen yang berjalan sendiri-sendiri. Judulnya, Plumeria Acuminata, yang berarti pohon kamboja, mungkin tidak banyak yang tahu artinya tanpa bantuan penjelasan di buku program. Entah, kenapa judul itu yang dipilihnya. Apakah “pohon kamboja” tidak cukup seksi untuk dipasang sebagai judul? Tapi, ya, musik memang bisa bicara dalam bahasanya sendiri.
Yang mengerikan justru adalah “penjelasan” musik serialnya yang ditulis di buku program. Awam pasti tak tertolong oleh penjelasan teknis. Walau begitu, pemusik yang ahli sekalipun bisa bingung menghadapi serialisme dengan “pseudo-teorinya yang paling baru”. Pasalnya, alih-alih menganut konsep serial, Asmara malah terkesan kikuk atasnya. Ini terlihat dari keterangan Asmara yang menulis dengan C-D#-G, bukan dengan C-Eb-G. Padahal dalam paham musik serial, orang tidak peduli perbedaan antara D# dan Eb. Komponis penganut serialisme, menulis musiknya tanpa beban menurut persepsi yang paling mudah tertangkap (dalam hal ini C-Eb-G yang mengarah ke akor C minor lebih alamiah).Berbeda dengan penganut tonalitas, bahwa antara C-D#-G dengan C-Eb-G adalah dua hal yang tegas berbeda.
Membaca Asmara, seperti ada obsesi atas bentuk musik serial yang memang pernah menjadi primadona, atau pernah menjadi pembuktian karir pengkaryaaan seorang komponis pada zamannya. Tapi setelah era kini, di mana musik serial sudah ditinggalkan, bukankah obsesi terhadapnya seperti mengejar sesuatu yang tak lagi penting?
Untung ada penampilan Slamet Gundono, dalang gemuk yang auratif itu. Gundono tampil mendalang pada hari kedua dengan membawakan Si Bulbul (The Nightingale) karya Theo Loevendie yang sudah pernah dibawakannya tiga tahun lalu bersama Sitok Srengenge. Kebersahajaan dan kerendahhatiannya, ditambah kejeniusan naratif dan musikalnya, menciptakan kesan bahwa tanpa musik yang dimainkan Dutch Chamber Music Company pun ia tetap besar dan mewah. Sehingga karenanya, pagelaran Histoire du Soldat kembali membumi.
Membicarakan Industri Musik
Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise
Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar Melayu
Suka mendayu-dayu
(Cinta Melulu – Efek Rumah Kaca)
Misalkan televisi di rumah kita matikan, juga radio. Dijamin telinga Anda tetap tidak akan bebas dari kepungan bunyi musik. Karena ada yang tidak diam: pengamen di kereta, pemutar musik milik tetangga, nada sambung di ponsel kolega, sampai anak-anak di mulut gang yang bernyanyi sambil berlarian. Mereka tampak kompak dalam menyanyikan lagu bertema cinta.
CINTA MELULU, begitu Efek Rumah Kaca, band asal Jakarta, merespon kondisi industri musik di Indonesia yang seragam – padahal masyarakatnya beragam – menggarap tema percintaan atau perselingkuhan dalam lagu-lagunya.
Pun kondisi serupa pernah dialami industri musik kita pada periode lain. Misalnya di pertengahan 1970-an, Rinto Harahap sangat berkibar sebagai pencipta lagu bertema cinta seperti Benci Tapi Rindu, Kaulah Segalanya, dan Aku Ingin Cinta Yang Nyata. Atau Pance Pondaag lewat lagu-lagunya seperti Tak Ingin Sendiri dan Engkau Segalanya Bagiku.
Lalu, kalau berdirinya perusahaan rekaman seperti Lokananta, Remaco, dan Irama di tahun 1950-an diletakkan sebagai penanda dimulainya industri musik di tanah air, artinya sudah lebih dari setengah abad usia industri musik di Indonesia. Namun, apakah kalangan industri musik – pemusik, pencipta lagu, produser, perusahaan rekaman, media massa – belajar dari rentang waktu yang tidak sebentar ini? …baca lebih lanjut
Catatan Menyoal Orkestra di Indonesia
DINAMIKA kehidupan orkestra di Indonesia makin riuh saja. Misalnya saja, dalam minggu ini berturut-turut ada tiga pagelaran konser orkestra (yang saya ketahui) digelar di Jakarta – mungkin ada juga di kota lain. Ada Michael Cousteau dan The Nusantara Symphony Orchestra (10/6), St. Theresia School Orchestra Jr. (12/6), dan Jakarta Simfonia Orchestra (12/6). Daftar ini akan tambah panjang jika turut disertakannya agenda orkestra yang sudah dan akan digelar di Indonesia 1 tahun ke belakang dan ke depan. Namun, bukannya semringah, keriuhan ini malah menerbitkan banyak pertanyaan di kepala.
Di sisi lain, terbit pula pertanyaan ketika melihat generasi muda yang berorkestra mulai memperlihatkan geliatnya. Geliat anak muda yang bergiat dalam kelompok orkestra ini tidak bisa dianggap remeh. Kehadiran mereka tidak bisa disepelekan. Pasalnya ada yang mereka devosikan di dalamnya: waktu, uang, cita-cita, dan gaya hidup. Mereka ini yang nantinya membawa arah musik barat di Indonesia: tetap tidak berpribadi seperti yang terjadi sekarang pada orkestra (yang katanya) profesional, atau mengembalikan fungsi orkes, yaitu peran kesenian dalam masyarakatnya? …baca lebih lanjut
Perempuan dan Musik
Bila catatan ini berbau perempuan, jangan Anda anggap ia ada dalam rangka hari Kartini. Bukan juga dalam rangka mewakili golongan yang menyuarakan tentang masalah bias jender. Lebih keliru lagi kalau catatan ini dihubung-hubungkan dengan undang-undang cabul yang lahir baru-bari ini. Bukan. Bukan demi semua itu.
CATATAN kecil ini ada sebagai ‘gong’ untuk menandai sebuah peristiwa musik yang terjadi pada 13 November 2008 dari seorang perempuan. Ia seorang Prancis. Ia seorang gitaris. Masih muda. Cantik. Maud Laforest namanya.
Sama-sama kita ungsikan dulu nama perempuan cantik satu ini yang jagoan gitar. Karena tanpa perlu dipuji-puji dalam catatan ini, ia sudah jauh meninggalkan tinjauan yang nanti akan muncul di bawah. Maka, lebih baik larut dalam konteks yang lebih besar: perempuan dan musik. Mari. …baca lebih lanjut
Gado-Gado Bunyi Discus
Sudah lama saya dengar nama besar Discus di kancah panggung musik tingkat dunia, tapi baru kemarin bisa mencicipi langsung bunyi mereka.
WALAU untuk mencicip bunyi mereka saya harus melanggang jauh dan mengendus selukbeluk sisi selatan kota Jakarta, terhimpit dalam keegoisan pengguna jalan raya, saya manut saja. Bukan untuk terlena dalam histeria macam groupies pada band idolanya. Tapi berada dalam posisi sadar untuk melihat produk seni yang Discus tawarkan. Adakah yang didapat sepulangnya?
Discus adalah sekelompok band yang sulit untuk saya definisikan aliran musiknya. Ada jazz di sana, ada rock di situ. Ada pop di sana, ada etnik di situ. Poin lebihnya, unsur musik avant-garde (untuk selanjutnya disebut ‘garda depan’) – genre bermusik yang masih jauh dari hirukpikuk dunia musik, digarap mereka tanpa malu-malu lagi. (Ya! Saya menyebut ‘genre bermusik’, bukan ‘genre musik’, karena garda depan bukanlah sekedar sebuah produk seni, tapi aktivitas pemikiran). …baca lebih lanjut