Bunyi Pada Teks Kita

IMG_20130128_164348
SIMAKLAH KALIMAT INI: “Ajaklah dia membicarakan kasus yang mengacak-acak sektor keuangan negara. Maka suasana akan beralih lebih ‘panas dan meriah’, mirip musik berirama staccato yang mengentak-entak”.
Kalimat itu terdapat  pada salah satu tulisan majalah ini halaman 124, edisi 27 Mei 2012, yang menampilkan wawancara dengan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Mungkin sang penulis berupaya bersolek bahasa. Menggunakan metafor bebunyian untuk melukiskan suatu keadaan tentu sah saja. Penggunaan yang pas dan kreatif malah akan menambah daya imajinatif suatu tulisan. Tapi bila penggunaannya tidak pas, apalagi keliru, tentu akan mengaburkan realitas suasana yang sesungguhnya. Bukan hanya itu, praktek tersebut malah akan mencemari istilah atau bahasa teknis suatu disiplin ilmu tertentu.
Pada kalimat di atas, “suasana yang panas dan meriah” sedang disejajarkan dengan keadaan yang lain melalui istilah musik, yakni “musik berirama staccato yang mengentak-entak”. Pertama, pembaca yang sebelumnya tak mengenal lema “staccato” tentu tak akan mendapatkan gambaran mengenai suasana yang dimaksud di dalam teks. Benar, bahwa keterangan “yang mengentak-entak” mungkin akan segera menggugurkan pendapat tadi. Tapi “staccato” menjadi mubazir karena ia tak mampu menjelaskan dirinya.

Kedua, “staccato” bukanlah jenis suatu irama. Ia adalah sebuah artikulasi. Artinya, “staccato” adalah salah satu arahan tentang cara melafalkan suatu bunyi: bagaimana suatu kalimat musik dipenggal (frasa), di bagian mana diberi penekanan (aksen), atau kapan dua atau lebih nada dimainkan tanpa dipisah pengucapannya (slur). Sedangkan “irama” atau “rhythm” adalah pola ritmik tertentu yang dinyatakan dengan nama (Pono Banoe, 2003). Dangdut, waltz, kotekan, swing, keroncong, rumba, polka adalah segelintir nama dari macam-macam irama yang ada di dunia.
“Staccato”, dan ini menjadi poin yang ketiga, juga bukanlah berarti bunyi yang mengentak-entak, tapi lebih kepada not atau bunyi yang dimainkan dengan artikulasi pendek-pendek atau patah-patah, berlawanan dengan legato yang bunyinya menyambung dan mengalun. Sedangkan untuk menggambarkan bunyi yang mengentak-entak sebetulnya lebih tepat  untuk menggunakan istilah marcato, accentuato, atau sforzando dengan kadar dan fungsinya masing-masing yang berbeda.
Kesalahkaprahan penggunaan istilah musik memang kerap terjadi dalam ranah bahasa. Ketatnya perbedaan arti antarterminologi musik, tidak diikuti oleh penerapannya ketika digunakan dalam teks. Selain kasus “staccato”, contoh lain bisa ditemui pada Tempo edisi 11 November 2011 pada halaman 74. Pada paragraf pertama artikel mengenai musikus Alfred Simanjuntak itu tertulis, “Nada bicaranya marcia seperti tempo dalam lagu ciptaannya.” Apa yang keliru? Di sini, “nada” disamakan dengan “tempo”. Lagi pula, “marcia” bukanlah nada.
Alam bahasa kita memang langganan kekisruhan. Serangkaian contoh di atas menunjukkan bahwa yang terjadi adalah kekisruhan dalam membunyikan teks. Tapi dengan satu lirikan kita bisa temui bahwa kekisruhan juga terjadi pada ranah sebaliknya, yakni pada upaya mentekskan bunyi. Jadi, dalam pembicaraan ihwal bahasa dan musik, kita tengah mengalami problem membunyikan teks dan problem mentekskan bunyi, dan inilah yang berujung pada kesalahkaprahan penggunaan istilah musik.
Menjelaskan bunyi melalui teks memang bukan perkara gampang. Sama tak gampangnya dengan membuat teks agar “berbunyi”. Tapi mentekskan bunyi tentu datang lebih dulu ketimbang membunyikan teks. Dan keberhasilan yang pertama, biasanya, akan serta-merta diikuti keberhasilan yang kedua. Tentu, di sini kita mesti bersepakat untuk tak bersepakat bahwa bahasa mampu meringkus fenomena bunyi. Singkatnya: bahasa (teks) hanya mampu melukiskan peristiwa bunyi tak sampai setengah dari kondisi yang sebenarnya. Artinya, sebuah sikap perlu mengawalinya: kesadaran bahwa bahasa terbatas, sehingga ada potensi mereduksi makna.
Upaya mentekskan bunyi kerap kita dapati dari, misalnya, laporan jurnalistik atas suatu pementasan musik. Oleh si penulis, biasanya, peristiwa-peristiwa bunyi yang ada kompleksitasnya dilipat, kekhasannya diabaikan, dan digeneralisasi melalui istilah-istilah yang kadung lazim dipakai dalam penulisan, tak peduli seberapa tepat penggunaannya. Misalnya, bahwa kata “rancak”, “eksotik”, atau “berirama” umum dipakai untuk menggambarkan suatu keadaan bunyi tertentu. Seolah bahwa kata-kata tersebut seperti halnya aspirin, yang bisa mengatasi segala keadaan (bunyi).
Lantas, apakah ini bentuk kemalasan mencari ungkapan lain yang lebih tepat? Atau malah, ini semacam tirani mendefinisikan bunyi? Entahlah. Namun, kalau reduksi makna sudah terjadi pada upaya mentekskan bunyi, apa lagi yang diharapkan dari upaya membunyikan teks?
Dimuat di TEMPO, 28 Januari-3 Februari 2013

5 thoughts on “Bunyi Pada Teks Kita

  1. Apresiasi terbaik buat Roy Thaniago, sebuah tulisan yang mengkritisi dan jadi bahan pembelajaran kita semua.
    Saran saya:sebaiknya bung Roy juga membagikan tulisan-tulisan yang berkaitan dengan musik yang sifatnya sebagai pengetahuam umum dan bisa berguna bagi ranah pengetahuan pembaca.

  2. pertanyaan berikutnya adalah apakah karena keterbatasan makna teks, kita sebaiknya berhenti menulis tentang musik? Dan menurut Bung Roy, bagaimana mengatasi keterbatasan bahasa ini?

    1. Halo, Mike! Maaf baru sempat menanggapinya sekarang. Tentu, esai ini tidak dimaksudkan sebagai anjuran untuk kita tidak menulis persoalan musik. Hanya saja, menulis tentang musik mesti dibarengi kesadaran bahwa ada keterbatasan bahasa teks dan juga peluang reduksinya.
      Untuk mengatasinya tentu bisa dilakukan lewat berbagai istilah musik yang sudah ada–tentu dengan pemakaian yang ketat dan tepat. Hanya saja cara ini akan menyeleksinya pembacanya. Tapi toh dalam segala jenis tulisan, seleksi akan selalu terjadi. Cara lain adalah, sesuai pengalaman pribadi, yaitu dengan metode komparasi: mengambil contoh bunyi yang hampir mirip. Misal, untuk menuliskan suatu kondisi bunyi, ambillah satu pengalaman bunyi yang lain (entah jenis musik tertentu, bunyi benda tertentu, bunyi situasi tertentu), yang punya kesamaan paling dekat. Tapi tentu, cara-cara tadi tidak akan ada yang memuaskan, karena musik memang bicara dalam bahasanya sendiri.
      Senang bisa berdiskusi, Mike! 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *