Membumikan Musik yang Hampir Digagalkan

Slamet Gundono
Slamet Gundono

Dalam hal musik, apa yang lebih penting dari padanya? Tidak ada. Peristiwa musik itu sendirilah yang terpenting.

Tapi, sepotong catatan atasnya diperlukan sekadar agar ada diskusi yang sarinya bisa kita warisi kelak. Demi semangat semacam itulah tulisan ini mencoba mencatat pemikiran-perasaan saya atas Histoire du Soldat, sebuah konser musik yang mensertakan teater dan tari.

Pertunjukan yang digagas oleh kelompok ensambel Dutch Chamber Music Company ini dibawa keliling dari Yogyakarta, Solo, Semarang, dan berakhir di Jakarta. Di Jakarta, ia dipentaskan di Erasmus Huis, Jakarta Selatan pada 19 dan 20 Agustus 2011.

Histoire du Soldat sendiri adalah sebuah karya teatrikal yang musiknya dikarang oleh Igor Stravinski dan libretonya ditulis dalam bahasa Prancis oleh Charles Ferdinand Ramuz berdasarkan cerita rakyat Rusia. Untuk kepentingan pementasan di Indonesia, naskahnya diterjemahkan oleh Jean Pascal Lebaz menjadi “Mau ketemu iblis?” Sebuah usaha pelokalan yang simpatik bila dibandingkan gaya seniman musik kita yang justru senang membuang konteks sosio-kulturalnya.

Karya ini diciptakan pada 1918, artinya sudah lebih dari seratus tahun lalu. Bercerita tentang seorang serdadu yang berniat menjual biolinnya kepada iblis untuk ditukar dengan sebuah buku yang meramalkan perekonomian masa depan. Dengan ironi dan kejenakaan, siapa sangka karya ini merupakan kritik atas perang dunia pertama? Sebagai sebuah hujatan atas keserakahan manusia, ia melakukan pukulan dengan cara yang elegan dan berwibawa. Hus, jangan coba bandingkan dengan sikap anggota DPR kita.

Dalam kondisi perang dunia yang kekurangan pemain, ditambah keadaan ekonomi yang serba sulit, Mau ketemu iblis? diciptakan dalam bentuk teater mini. Dimainkan oleh tiga aktor dan satu penari perempuan. Pemusiknya pun hanya tujuh orang, tapi karena kekuatan komposisinya, bangunan musikalnya tidak kalah rumit dan hebat dibanding format orkestra. Malah justru menuntut teknik individual pemusik yang tinggi karena masing-masing berperan sebagai solois.

Dengan tetap mengacu pada bentuk asalinya, pementasan kemarin menghadirkan Jamaluddin Latif sebagai narator dengan kemampuan keaktoran yang prima, dan tiga penari, Eko Supriyanto, Martinus Miroto, dan Sri Qadariatin. Upaya sang koreografer, Gerard Mosterd, dalam memakai idiom-idom gerak lokal kembali mengundang simpati.

Dutch Chamber Music Company (DCMC) yang beranggotakan Raymond Vievermanns (trompet dan pemimpin artistik), Arno van Houtert (klarinet), Jozsef Auer (fagot), Quirijn van de Bijlaard (trombon), Tijmen Wehlburg (biolin), Pia Pirtinaho (kontrabas), dan Han Vogel (perkusi), bermain di bawah baton Arjan Tien sebagai pengaba. Tien mengeksekusi musik dengan interpretasinya yang cermat dan hangat.

Cermat, karena pada musik Stravinski yang sibuk dengan perubahan birama ini, tempo dan pulsasinya ditarik-ulur dengan sangat lembut, apalagi bila disandingkan dengan visual gerak tarinya yang seakan mempermainkan waktu. Dan hangat, karena walau vistuositas tiap instrumennya sangat tinggi, kesan yang tumbuh adalah keringanan dan kedekatan.

Selain karya Stravinski, dari negri sendiri diperdengarkanlah karya Slamet Abdul Sjukur, Michael Asmara, dan Gatot Sulistiyanto. Kalau karya Asmara dan Gatot masih berkutat di musik modern, Slamet yang jauh lebih senior justru memilih sikap bermusik yang lentur atau bergaya pasca modern.

Kelahiran musik modern abad 20 salah satunya ditandai dengan pemakaian harmoni disonan dan nuansa-nuansa atonal, di mana cita-cita dekonstruksi musik Barat mesti jadi tujuan. Cita-cita itu menjadi kebutuhan untuk membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang terasa sudah tak memadai lagi. Musik yang fals, mengambang, tidak berakar, dan terdengar aneh, dimaksudkan sebagai umpatan sekenanya terhadap hal-hal yang tidak tertampung dalam ukuran yang lazim. Maka tidak mudah membedakan modernisme sebagai kebutuhan atau sekadar keanehan yang dicari-cari. Kesulitan ini tidak hanya bagi yang awam, para komponis sendiri pun mudah terjebak untuk bersikap oportunis dari situasi yang demikian.

Tidak seperti karya Gatot, Kitab Batu, dan Asmara, Plumeria Acuminata, yang berideologi modern, karya Slamet berjudul Kutang memiliki kelenturan untuk tidak selalu tunduk pada “kebakuan modernisme” agar dianggap sebagai karya musik baru. Penggunaan harmoni disonan dan efek musikal baru lainnya diletakkan seperlunya pada saat yang pas tanpa beban sejarah.

Kutang (2008) adalah karya Slamet selain Paha (2006) yang keduanya lahir sebagai kritik atas Undang-Undang Pornografi yang menurutnya kekanak-kanakan. Pada buku acara, Kutang malah diberi penjelasan tak karuan yang justru tak jelas! Slamet menulis Hamlet, Shakespeare, dan Ophelia yang tak ada hubungannya sama sekali dengan karyanya. Katanya, Kutang juga merupakan ejekan bagi mereka yang masih percaya pada penjelasan. Musiknya sendiri bicara tentang kelembutan, keheningan, dan ketepatan saat dalam berbagai perubahan dan keseimbangan yang terselubung dalam kekarut-marutan.

Gatot Sulistiyanto, komponis muda asal Magelang yang menempuh studinya di ISI Yogyakarta adalah sosok yang menjanjikan. Karyanya, Kitab Batu, adalah suatu karya yang kuat, baik secara gagasan, ekspresi, struktur, maupun orkestrasi. Secara gagasan, Gatot mengambil materi lokal dengan bubuhan semangat aufklarung, yakni dengan berdasarkan pada bentuk dan ekspresi Mantra Tulak Bala dan Kidung Joyoboyo.

Lewat karyanya ini, Gatot seperti hendak mengatakan sesuatu mengenai ekspresi-ekspresi tradisional yang kerap dilanda desas-desus tak masuk akal atau irasional. Kalau tafsir ini benar, semangat itu ia titipkan pada tuntutan teknik vokal yang juga tak masuk akal: ketinggian nada mencapai E3, berbagai varian trilter dengan lidah, bibir, dan tenggorokkan, dan nuansa perubahan-perubahan yang halus dalam hal timbre. Toh Ika Sri Wahyuningsih sebagai swarawati mampu mengeksekusinya dengan kemampuan yang luar biasa dan penghayatan yang bikin bulu kuduk merinding!
Pun bila menyimak pemakaian beberapa teknik vokalnya yang berpijak pada tradisi Banyuwangi, misalnya, memperlihatkan pijakan Gatot yang masih berada pada konteks budayanya.

Secara orkestrasi, Gatot dengan lihai mencampur adonan antar instrumen dengan takaran yang pas. Ia tidak cukup puas dengan hanya memberikan saat kepada masing-masing instrumen untuk berjalan sendiri-sendiri, tapi juga mencoba mengolah beberapa instrumen secara bersamaan untuk suatu pasasi, melodi, frase, atau ritme.

Hal sebaliknya justru ditempuh oleh Michael Asmara. Musiknya berdiri pada kekuatan masing-masing instrumen yang berjalan sendiri-sendiri. Judulnya, Plumeria Acuminata, yang berarti pohon kamboja, mungkin tidak banyak yang tahu artinya tanpa bantuan penjelasan di buku program. Entah, kenapa judul itu yang dipilihnya. Apakah “pohon kamboja” tidak cukup seksi untuk dipasang sebagai judul? Tapi, ya, musik memang bisa bicara dalam bahasanya sendiri.

Yang mengerikan justru adalah “penjelasan” musik serialnya yang ditulis di buku program. Awam pasti tak tertolong oleh penjelasan teknis. Walau begitu, pemusik yang ahli sekalipun bisa bingung menghadapi serialisme dengan “pseudo-teorinya yang paling baru”. Pasalnya, alih-alih menganut konsep serial, Asmara malah terkesan kikuk atasnya. Ini terlihat dari keterangan Asmara yang menulis dengan C-D#-G, bukan dengan C-Eb-G. Padahal dalam paham musik serial, orang tidak peduli perbedaan antara D# dan Eb. Komponis penganut serialisme, menulis musiknya tanpa beban menurut persepsi yang paling mudah tertangkap (dalam hal ini C-Eb-G yang mengarah ke akor C minor lebih alamiah).Berbeda dengan penganut tonalitas, bahwa antara C-D#-G dengan C-Eb-G adalah dua hal yang tegas berbeda.

Membaca Asmara, seperti ada obsesi atas bentuk musik serial yang memang pernah menjadi primadona, atau pernah menjadi pembuktian karir pengkaryaaan seorang komponis pada zamannya. Tapi setelah era kini, di mana musik serial sudah ditinggalkan, bukankah obsesi terhadapnya seperti mengejar sesuatu yang tak lagi penting?

Untung ada penampilan Slamet Gundono, dalang gemuk yang auratif itu. Gundono tampil mendalang pada hari kedua dengan membawakan Si Bulbul (The Nightingale) karya Theo Loevendie yang sudah pernah dibawakannya tiga tahun lalu bersama Sitok Srengenge. Kebersahajaan dan kerendahhatiannya, ditambah kejeniusan naratif dan musikalnya, menciptakan kesan bahwa tanpa musik yang dimainkan Dutch Chamber Music Company pun ia tetap besar dan mewah. Sehingga karenanya, pagelaran Histoire du Soldat kembali membumi.

Dimuat di Jakartabeat.net, Minggu. 4 September 2011

2 thoughts on “Membumikan Musik yang Hampir Digagalkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *