Shall We Dance?

Shall we dance? Yes, we are!

SEPATUTNYALAH jawaban mengiyakan kita berikan bila disodorkan pertanyaan di atas ketika menikmati suguhan musik dari St. Theresia School Orchestra (STSO). Bukan untuk basa-basi atau sekedar menyemangati gairah bermusik musisi-musisi muda tersebut, tapi karena memang musik yang mereka mainkan berhasil membuat penonton tak malu-malu lagi mengakui bahwa penonton ikut bergoyang, menari.

Itulah yang kira-kira tampak dari konser orkestra milik STSO pada 26 Juli 2008 lalu di Balai Sarbini, Jakarta Selatan. Dengan tajuk ‘Shall We Dance?’ – sebenarnya tidak ditulis dengan ‘tanda tanya’ (?) – tema tersebut memang menunjukkan bahwa mereka akan membawakan lagu-lagu tarian dan ritmis. Tidak seluruhnya lagu tarian, misalnya pada lagu pembukaannya, Simfoni No. 40.

Di nomor pembukaan milik W.A.Mozart (1756-1791) inilah persentuhan musik pertama dimulai. Tidak memberi kesan sebagai musik tarian, memang. Tanpa basa-basi simfoni yang amat terkenal ini langsung meluncur deras. Namun sayang, karakter Mozart yang lazimnya dimainkan ringan dan lincah tidak dapat hadir di bawah baton sang konduktor, Dewi Atmodjo. Terasa berat dan menanjak. Tergurat jelas ketegangan di wajah-wajah para pemusik yang pada hasilnya menimbulkan efek musikal yang tidak sempurna. Pada sesi instrumen gesek, misalnya, skala melodi turun maupun naik yang dimainkan cepat sering terdengar tidak artikulatif dan fals. Lagi, kontrabas yang dimainkan berat dan gelap semakin melenyapkan karakter Mozart.

Lewat karya kedua milik komponis Rusia, Peter Ilych Tchaikovsky, tema konser STSO malam itu baru terasa dan membuat penonton mahfum. Karya yang dimainkan terdiri dari beberapa nomor yang terkumpul dalam salah satu karya suita Tchaikovsky yang berjudul The Nutcracker Suite. Nomor-nomor tersebut antara lain Dance of The Sugar Plum Fairy, Russian Dance, Arabian Dance, dan Chinese Dance. Pada masing-masing nomor tersebut, tampilah para penari dari Namarina Youth Dance sebagai ilustrasi musik.

STSO yang pada dasarnya adalah kelompok orkestra berbasis kegiatan ekstrakurikuler SMU St. Theresia, pada konsernya seperti kurang percaya diri sehingga merasa perlu melibatkan nama-nama penyanyi industri musik seperti Vina Panduwinata dan Andien untuk menyemarakkan. Bersama Vina, STSO membawakan lagu Aku Melangkah Lagi yang ditulis Santoso G. Dibuka dengan permainan woodblock,Vina yang mengenakan gaun biru masuk pada nada yang tidak tepat – mungkin ia bermaksud membuat efek glissando, namun gagal dan terdengar aneh. Namun, dasar penyanyi sudah berpengalaman, Vina dengan sigap mampu meluruskan kekeliruannya tersebut. Sang Burung Camar tersebut berlantun dengan kesan dingin. Tidak ada interaksi yang hangat dan intim antara Vina dengan orkestra. Masing-masing seperti sudah cukup dengan menunaikan pekerjaannya sendiri-sendiri: mengiringi dan bernyanyi.

Tampil pula karya dari Josef Strauss (1827-1870) dan Leo Delibes (1836-1891) masing-masing berjudul Ohne Sorgen! Polka Schnell Op. 271 dan Pizzicato Polka from The Ballet Sylvia. Yang kemudian disusul dengan salah satu karya orkestra yang amat populer berjudul Radetzky March milik Johann Strauss I (1804-1849). Dan jeda.

Babak kedua dibuka lewat permainan piano solo oleh Michelle Salim dengan membawakan karya F. Chopin berjudul Etude Op. 10 No. 12 atau yang biasa akrab di kalangan pianis dengan nama Revolutionary. Sayang, suara yang diproduksi dari sistem tata suara amat buruk. Liuk-liukan artikulatif, dengung resonansif, maupun timbre yang harusnya timbul menjadi kabur karena kualitas pengeras suara.

Lalu setelah merampungkan lagu The Waltzing Cat milik Leroy Anderson (1908-1975), meluncurlah lagu yang menjadi tema konser ini, Shall We Dance?. Lagu yang dipakai sebagai salah satu lagu di film musikal The King and I ini ditulis oleh Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein. Andien, penyanyi muda yang biasa laris pada perhelatan festival jazz didampuk untuk membawakan lagu ini.

Lagu-lagu bernuansa tarian lainnya juga muncul di kemudian. Misalnya lagu medley musik tradisional Indonesia, Sajojo-Apuse-Yamko Rambe Yamko yang diaransemen Singgih Sanjaya. Lagu lainnya adalah medley lagu Kumpul Bocah-Dansa Yok Dansa dan sebuah karya orkes yang populer dari Jacques Offenbach (1819-1880), Cancan.

Dibanding dengan konser perdana mereka tahun lalu, secara kualitas, produksi suara dan musikal terjadi peningkatan. Mereka mampu menemukan warna musik yang khas mereka. Dewi Atmodjo sebagai konduktor muda pun membawa satu sikap bermusik sendiri. Musikalitas mereka lebih terasah dan terlihat alamiah, menjauhi gaya bermain akademis.

Namun agak sayang, penonton lebih banyak menikmati sisi selebrasi dari pada esensi bermusik STSO. Pertunjukkan lebih diapresiasi sebatas karena mereka ada di panggung, bukan karena mutu permainan mereka – walau STSO juga tidak bermain jelek. Hal ini berdampak pada penyepelean konser.

Konser musisi-musisi muda dari STSO ini membuktikan bahwa musik orkestra tepat sebagai sarana pendidikan di sekolah untuk selain belajar musik, namun juga kerja keras, disiplin, kebersamaan, dan mengasah kepekaan. Baru sedikit sekali sekolah-sekolah yang memiliki orkestra. Sedikitnya tercatat nama Al-Izhar, Ipeka International, Perguruan Cikini, Bina Bangsa, dan Santa Ursula Serpong, yang mulai merintis kegiatan orkestra dalam sekolah. Bila di era 90-an dulu sempat terjadi tren marching band di sekolah-sekolah, siapa tahu lima tahun kedepan muncul orkestra sebagai tren baru. Meniru? Ya tidak apa, asal bukan sekedar latah untuk menaikkan gengsi sekolah, namun terlebih pada kesadaran akan pentingnya mengapresiasi kesenian (musik orkes).

Dan karenanya, bukan tidak mungkin bila di sepuluh sampai duapuluh tahun mendatang, Indonesia memiliki simfoni-simfoni berkualitas yang dimotori oleh para musisi-musisi yang berangkat dari orkes sekolah. Ya, kalau saja semangat dari STSO menular ke sekolah-sekolah lain. Yakni semangat bermusik yang mengakrabi katekunan dan kepercayaan diri, bahwa orkes sekolah tetap mempesona dengan atau tanpa penyanyi artis.

2 thoughts on “Shall We Dance?

  1. wah diposting tentang shall we dance 🙂 penontonnya lebih antusias yang dulu sih menurut gw. haha 😀

  2. salam kenal bungente udah masuk blog roll kumakasih dah mampir liat blog ku yg ga jelas awut2an gtuhehe…kul apa ni?kalo bole nebak, seni ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *