Dan Malam Pun Retak

Malam Jumat Pon. Bulan bundar. Kau ada di hadapanku. Di warungku. Dan kita sama-sama diam tak bersuara. Hanya mata kita yang saling bicara. Persis saat pertama kali kita bertemu di Sendang Ontrowulan, dua puluh dua tahun yang lalu.
AKHIRNYA kau yang duluan membuka mulut dengan pelitnya, “Kopi hitam”. Aku bergeming sebentar, lalu bangkit dari duduk, meraih gelas dan toples yang berisi bubuk kopi. Aku hapal maumu: kopi dua sendok penuh, air panas setengah gelas, tanpa gula, dan diamkan sebentar sebelum diaduk.
Aku sadar matamu menguasaiku walau kau berpura-pura mengeluarkan sebatang rokok kretek dari saku kemejamu. Matamu masih sama ketika kuletakkan segelas kopi di depanmu. Hingga aku bersuara kemudian.
“Mengapa kau di sini?”
“Seperti kebanyakan orang yang datang ke Kemukus”
“…”
“Dan kau, mengapa tetap di sini?”
“Seperti kebanyakan lonte tua yang harus pensiun”
Lalu terjadi geming panjang antar kita. Panjang sekali. Entah di mana ekornya.

***

Gelap hampir turun. Aku sedang merias diri di teras rumah tempatku bekerja ketika kau lewat berjalan kaki. Kau tidak melihatku, tapi aku melihatmu yang kikuk dengan jelas. Langkahmu berat, dengan pandangan celingukan ke sembarang arah. Tangan kirimu memegang erat tali ransel coklat lusuh yang diselempangkan sebelah di bahu kirimu. Gelagatmu itulah yang memberitahuku bahwa ini kali pertama kau ke sini, sehingga aku buru-buru memoles bedak untuk mengikutimu sampai ke Sendang Ontrowulan.
Papan kayu bertuliskan Sendang Ontrowulan mengarah ke kanan. Ke arah sebuah jalan kecil dan gelap yang disesaki pedagang kembang dan botol-botol bekas untuk mengambil air di sendang. Rimbunan pohon yang menghalangi sinar purnama semakin meremangi lokasi sekitar sendang. Sumber cahaya satu-satunya hanya datang dari lampu minyak para pedagang.
Di sana, selain pedagang, banyak orang yang kebanyakan para peziarah sedang mandi atau mengambil air di sendang. Di depan sendang beberapa orang mengantri sambil ngobrol, menawar harga kembang, atau duduk-duduk di bawah pohon. Di antara yang duduk itulah kau berada dengan tetap kikuk.
Kau sendiri. Aku yakin kau sendiri, tanpa pasangan, tidak seperti peziarah lain yang sudah berpasangan, yang datang sambil membawa permohonan atau sekedar mengalap berkah. Tentu kau tahu, bahwa kau perlu pasangan sebagai syarat berziarah di Gunung Kemukus. Pasangan yang tidak boleh kau kenal sebelumnya itu, harus kau tiduri selama tujuh kali berturut-turut, persis di malam Jumat Pon.
“Sudah ada pasangan, Mas?”, tanyaku yang tiba-tiba muncul di depanmu.
Kau terkejut. Lalu diam. Hanya diam. Matamu yang curiga dan asing perlahan tenggelam dan berganti menjadi mata yang hangat, mata yang sendu, mata yang tiba-tiba merebut dingin di mataku. Dan meluncurlah satu potong kata darimu, “Sudah”.

***

Entah angin apa yang menggiringmu kembali ke tempat ini, ke hadapanku. Ya, kuakui, memang selama ini aku menanti kau kembali ke Kemukus untuk menemuiku. Tapi sungguh, itu hanyalah angan-angan percuma bagi seorang perempuan tua pemilik warung sepertiku. Hanya mimpi-mimpi kosong seorang bekas lonte yang sudah tak laku, yang dua puluh dua tahun lalu pernah amat dekat denganmu. Dan kini, kau ada di depanku sebagai sebuah kenyataan.
“Warungmu sepi”, katamu pelan sambil menyemburkan asap rokok, seperti mengusir kejengahan yang ada.
“Memang apa yang biasa dilakukan banyak orang yang datang ke Kemukus?”, sengaja kujawab dengan pertanyaan yang memang belum kudapatkan jawabannya.
“Ziarah. Minta berkah. Apalagi? Memang hanya itu kok”.
“Hanya itu setelah dua puluh tahun lebih kau tidak ke sini lagi?”.
“Ya. Apalagi?”.
Ingin sekali kujawab,”Untuk menemuiku”, tapi nyaliku tak cukup hebat untuk mengatakannya. Aku memilih diam saja, sambil mencuri-curi membaca dirimu.
Wajahmu tampak tua dan amat lelah. Kau tampak amat dimakan usia. Amat berbeda dengan dua puluh dua tahun yang lalu, ketika kita masih sama-sama muda dan liar bicara tentang masa depan. Ketika kau adalah seorang bapak muda yang menyimpan ambisi di dalam mata, dan aku adalah perempuan penuh mimpi yang sudah kalah dalam hidup. Ketika kau adalah suami dan ayah buat keluargamu, dan aku adalah pelacur murahan buat lelaki miskin yang menginginkan seks. Hanya kesulitan hidup dan kebutuhan cinta-mencintai yang membuat kita tidak tampak berbeda.

***

Kutiti berundak dari tanah yang merupakan salah satu akses jalan ke bangunan makam. Tiba-tiba saja sebuah tangan meraih lenganku dari belakang. Ternyata kau. “Saya belum dapat pasangan”, ujarmu.
Ternyata kau mengikutiku. Tanganmu belum juga lepas dari lenganku, sedang tanganmu yang lain menggengam bungkusan daun pisang yang berisi kembang dan kemenyan. Kulangkahkan lagi kakiku sampai ke depan makam Pangeran Samodro, dan berjalan memutar sampai ke sisi kiri bangunan, sekedar menghindari keramaian. Di bawah beringin aku berhenti dan membalikkan badan ke arahmu.
Tadinya ingin kubiarkan kau meniduriku dahulu, baru kuberitahu bahwa aku lonte, lantas kutagih imbalannya, seperti apa yang selama ini aku lakukan pada banyak peziarah pemula. Tapi entah mengapa, matamu membuatku menjelaskan dari awal.
“Saya lonte, Mas. Saya cari uang”.
“Saya tahu, saya tak peduli. Saya kehabisan ide untuk mencari pasangan. Biarlah malam pertama ini ritual saya diselesaikan denganmu. Pangeran Somodro dan Nyai Ontrowulan pasti tahu kesusahan saya mencari pasangan baru, dan berkenan menerima laku ziarah saya”.
“Tapi, Mas…”
“Berapa?”

***

Malam ini warungku memang sepi. Hanya kau seorang tamunya. Sebenarnya, memang warungku tergolong sepi dibanding warung-warung lainnya. Sengaja dulu aku buka warung di tempat ini, yang agak menjauh dari pusat keramaian yang berada di sekitar sendang atau makam. Toh aku merasa cukup bisa membiayai hidupku dan Narni dari penghasilan selama ini.
Kopimu sudah dingin. Tapi tak kau sentuh sedikit pun. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan setelah kita saling bercerita tentang hidup kita masing-masing akhir-akhir ini. Aku menjadi iba setelah kau cerita tentang putramu yang tewas dalam kecelakaan sepeda motor sebulan menjelang ujian kelulusan dari STM. Tentu aku turut bersedih karenanya.
Namun tidak seperti kau yang bercerita banyak dan terbuka, aku tetap menyimpan cerita-ceritaku sendiri. Kau mungkin tak tahu, hidupku jadi tidak mudah setelah kau menghilang tanpa kabar. Aku jadi enggan melacur. Sesekali memang kupaksakan kerja karena kebutuhan bayar kos dan hutang di warung, tapi aku selalu tersiksa tiap kali melayani lelaki selainmu. Tanpa kusadari, aku telah jatuh hati padamu. Setiap menjelang malam Jumat Pon, sengaja aku tak bekerja demi untuk membersihkan diriku untukmu. Tak soal hutangku makin menumpuk. Baru setelah kita bercinta dan kau langsung pulang tanpa bermalam, aku bekerja kembali mencari laki-laki yang butuh tubuhku.
Tapi setelah kau menghilang, hanya sesekali aku melacur. Seingatku dua kali. Itu pun karena desakan untuk mengirim uang buat adikku yang mendaftar menjadi TKI. Katanya untuk uang jaminan. Baru ketika aku tahu bahwa aku hamil, aku sepenuhnya berhenti melacur. Warung inilah gantinya sumber nafkahku. Dan Narni.

***

Langit belum terang amat, tapi kau sudah mandi dan selesai mengemas barang-barangmu. Aku pun terpaksa berpakaian dan merapikan diri walau sisa kantuk masih kuat menguasaiku. Dan dengan langkah gontai, kita sama-sama keluar dari losmen yang lebih menyerupai gubuk ini.
Baru kali ini aku mengantar tamuku sampai ke seberang waduk. Aku tak tahu mengapa aku ingin sekali lebih lama lagi denganmu sehingga rela merogoh kocek tiga ribu untuk ongkos perahu menyebrangi waduk. Dari empat puluh ribu pemberianmu, masih tersisa delapan belas ribu, setelah dipotong sepuluh ribu untuk kamar, sembilan ribu untuk sebungkus rokok, dan tiga ribu untuk ongkos perahu tadi.
Jumat Pon berikut, kita bertemu lagi, dan melakukannya lagi. Aku pun heran, mengapa kau malah mencariku ketimbang mencari pasangan peziarah lain demi meluluskan permohonanmu. Bukankah itu alasanmu, juga para peziarah lain, datang ke Kemukus, memohon berkah agar usaha lancar? Lalu bagaimana kau menjelaskan pada istri yang merestuimu ke sini untuk berziarah?
Kau tak pernah menjawab kebingungan-kebingunganku itu. Toh kita sudah bersama dalam enam kali Jumat Pon ini. Dan terang, aku pun amat menikmati kebersamaan denganmu, bertukar keluh kesah denganmu, tidur denganmu. Hingga aku sadar, bahwa aku selalu menunggu-nunggu tibanya malam Jumat Pon. Karena hanya pada hari itulah kau ke sini, menemuiku. Dan kita tidak lagi seperti seorang pelacur dengan pelanggannya, melainkan sepasang kekasih.

***

“Mas tak lapar? Tak mau makan?”, tanyaku dalam pembicaraan yang sudah cair dan hangat.
“Tidak terlalu. Tapi bolehlah, masakkan aku supermi. Pakai telur ya. Jangan lupa lomboknya.”
“Niii….supermi telur satu ya, pakai lombok…”, teriakku ke dapur pada Narni yang sedang terkantuk-kantuk. “Jadi benar katamu, kau ke sini untuk ziarah, tak ada yang lain?”
Kau menatap dalam mataku, seakan menyelidik kesungguhan pertanyaanku. Kau bakar rokok sebatang lagi sebelum akhirnya bersuara.
“Aku berbohong soal ziarah. Aku sengaja ke sini mencarimu. Kebetulan aku bertemu Mas Yanto yang sedang jaga loket. Mas Yanto yang tunjukkan warungmu ini”
“Mencariku? Untuk apa? Toh kita sudah punya kehidupan masing-masing semenjak kau pergi tanpa kabar dua puluh dua tahun lalu. Dan kau tak pernah tahu, aku di sini menunggumu”
“Tak mudah kujelaskan mengapa aku menghilang tanpa pesan. Aku pun sama dengamu, selama ini aku menunggu saat yang tepat untuk kembali ke sini menemuimu. Aku..aku mencintaimu, Lin… Tapi sungguh, bukan mauku menghilang darimu begitu saja”
Air mataku jatuh. Deras sekali. Tanpa suara aku menangis. Aku tak mau ada yang dengar tangisku. Tapi aku menangis sejadi-jadinya. Aku sendiri masih heran apa yang membuatku menangis: karena emosiku dalam menunggu kau kembali, atau karena kau mengatakan kau cinta aku. Kuhapus air mataku dengan lengan kanan bajuku. Namun mataku basah kembali.
Kita menghadapi geming yang kembali panjang. Kau pun tak menatapku seberani sebelumnya. Hanya menunduk sambil mencuri-curi pandang kepadaku. Namun sering kali kau lempar pandangan ke luar warung yang dikepung udara dingin dan siraman cahaya dari rembulan.
Asap rebusan mie tercium olehku. Narni keluar dari dapur membawa semangkuk mie yang diberi tatakan piring kecil, dan disodorkannyalah semuanya itu di hadapanmu. Narni langsung kembali ke dapur begitu kusuruh, sehingga ia tak tahu aku sedang menangis.
Kepulan asap menari-nari di atas mangkok mie menutupi sebagian wajahmu. Kau pun diam tak bergerak, bersuara pun tidak. Namun matamu kembali mencari-cari mataku, seakan menunggu suara dariku.
“Ia Narni…anak kita…anakmu, Mas…”.
Dan malam menjadi retak. Langit patah, terbelah sampai menjadi potongan-potongan kecil. Bulan pecah dan jatuh terguling ke tanah dengan suara berdebum yang amat hebat. Dari jauh, suara knalpot sepeda motor mengeret berat dalam tanjakan. Dan geming kembali panjang. Panjang sekali.

Kentingan, 050510

Dalam penulisan cerpen ini saya berhutang kepada F. Rahardi atas bukunya, Ritual Gunung Kemukus, dan kebaikannya memperlihatkan Kemukus kepada saya.
Dimuat di Majalah Esquire edisi Januari 2011

9 thoughts on “Dan Malam Pun Retak

  1. Mas sungguh luar biasa,,saya percaya bahwa segala goresan tinta yg kau tuangkan dlm sgla media selalu membuatq terkagum2..selamat ya..indah sekali.GBU

  2. Kereeeeen banget euy! Apa benar ada tempatnya dan ritual itu? Gue nggak habis pikir kok bisa ya masih ada ritual seperti itu? Aku baru dengar sekarang tentang tempat ini. Cerpenmu sangat visual, bagus kalau dijadikan short film. Two thumbs up dear friend! 🙂

    1. Kak Steph di jauh sana,
      Cerpen ini dibuat berdasarkan cerita nyata yg ada di Gunung Kemukus, Sragen. Aku ke sana setelah baca novel F. Rahardi, Ritual Gunung Kemukus. Menarik sekali fenomena ini. Absurd, tapi juga asik.
      Makasih, Kak!

  3. ko Roy,, aku udah baca ini,, aku kan follow blog kk yang ini.. 🙂
    akulagi mikir, biasanya tulisan kk agak sarat sama sindiran2,
    apa cerpen ini ada maksud2 tertentu juga ya?
    tapi kayanya cuma sekedar cerita yaa..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *