Tersinggunglah!

Seorang kawan yang baru lulus kuliah ditolak di mana-mana ketika melamar pekerjaan. Kesalahannya cuma satu, Ia terlalu bangga memakai bahasa Indonesia.
TIDAK seperti kebanyakan pelamar lain yang berfoya-foya dalam bahasa Inggris, kawan tadi memakai bahasa Indonesia dalam surat lamarannya. Jumlah alasannya memakai bahasa Indonesia pun sama dengan kesalahannya itu, cuma satu, yakni, ia melamar pada perusahaan yang ada di Indonesia, yang masyarakat, rekan kerja, dan pimpinannya berbahasa Indonesia. Perusahaan yang pekerjaanya bisa dikerjakan dalam bahasa Indonesia. Sialnya, kawan tadi lupa, kalau perusahaan di Indonesia merasa hebat ketika berhasil mengaudisi karyawannya dalam bahasa Inggris. Biar sedikit intelek, bro!
Dari perusahaan dengan banyak istilah asingnya – meeting, outing, order, customer, owner, break event point, part time, office boy – mari beralih ke bidang lain. Dalam pemerintahan, kebanggaan meminjam istilah Inggris juga amat mengenaskan – kalau tidak mau disebut mengesalkan atau memuakkan. Tampak sekali kalau para pejabat kewalahan untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia sepenuhnya, sehingga merasa perlu meminjam istilah asing. Tengoklah istilah seperti impeachment, smart card, voting, sampai yang paling tolol, busway.
Entah, tulah apa yang menelanjangi identitas kebangsaan kita. Kenapa kata-kata asing bertaburan dalam percakapan sehari-hari? Bahasa Indonesia seakan tak mampu bersolek dengan anggun bila tidak menggandeng bahasa Inggris. Orang paling bodoh sekali pun diatur gaya berbahasanya agar fasih melafal tengkyu, sori, serprais, sekuriti, syoping sebagai syarat penduduk berwawasan global – walau pengetahuan dan nalarnya tidak diajak mengglobal.
Tidak ketinggalan – dan ini yang paling menyakitkan – institusi publik yang seharusnya mendidik masyarakat, malah melayani kekeliruan berbahasa tersebut. Kita lihat bagaimana sekolah-sekolah berbangga dengan mengganti namanya dengan bahasa Inggris. Universitas mengiklankan dirinya di media dengan istilah Inggris seperti admission, free laptop, the leading university, faculty of management, dan seterusnya. Padahal target pemasarannya adalah orang-orang yang sehari-hari berbahasa Indonesia.
Media cetak maupun elektronik juga melayani semua kekenesan ini. Simak saja kata-kata yang mondar-mandir di halaman mata kita. Ada Today Dialogues, Woman of the Year, Sport, Headline News, dan sebagainya. Pada SINDO, sebuah media massa nasional, yang logikanya adalah sebuah media yang turut bertanggungjawab terhadap budaya berbahasa, pun bersikap demikian. Coba periksa koran ini pada tiap edisinya. Di halaman depan, mata pembaca sudah dihadang dengan rubrik ‘news’ dan ‘quote of the day’. Usaha meng-inggris ini belum usai, karena disusul di lembar-lembar berikutnya: rubrik ‘financial revolution’-nya Tung Desem Waringin, rubrik ‘people’, rubrik ‘fashion’, rubrik ‘food’, rubrik ‘rundown’, atau cap ‘special report’ pada artikel tertentu. Jangan tersenyum geli dulu, karena bukan saja SINDO, koran-koran lainnya pun tak luput dari gaya-gayaan berbahasa ini.
Mau contoh lain? Tak usah pergi jauh, karena cukup sambil duduk menggenggam halaman ini, bayangkanlah segala sesuatu di sekitar anda: merek permen, keterangan dalam bungkus mie instan, nama restoran, keterangan dalam gedung (exit, toilet, emergency), dan seterusnya, dan sebagainya, yang kalau dituliskan semua, artikel kali ini hanya akan memuat daftar ‘dosa’ tersebut. Dan tentunya memanjangkan rasa jengkel.
Lalu, menjadi sehebat Inggris atau Amerika-kah bangsa ini ketika berhasil mengadopsi bahasa mereka? Apakah dengan serta merta ekonomi negara menjadi seciamik mereka? Apakah dengan begitu terlihat cerdas karena berhasil mensejajarkan diri dengan bangsa Barat? Sampai sebegitu jijiknyakah kita terhadap bahasa Indonesia sehingga pada kata ‘peralatan kantor’ perlu ditemani kata dalam kurung ‘stationery’, ‘nyata’ ditemani kata dalam kurung ‘real’, atau ‘kekuatan’ yang ditemani ‘power’? Seakan mata kita lebih karib dengan kata di dalam kurung ketimbang kata dalam bahasa Indonesia-nya.
Masih cukup waraskah kita ketika menertawakan seorang artis muda yang ber-Inggris ria, “hujan..beychek..ojhek”, yang padahal adalah cermin dari ketidakberpribadian diri kita sendiri? Atau celakanya, latah pun kalau bisa dibuat-buat agar yang keluar secara spontan adalah kata, ‘oh my god’, ‘monkey’, ‘shit’, ‘fuck you’, atau ‘event organizer’.
Pada kasus lain kita temukan bagaimana sikap sok inggris ini tidak diimbangi dengan pengetahuan memadai. Contoh paling fatal, juga paling tolol, ada pada isitilah ‘busway’ yang tidak mengindahkan aturan bahasa, terlebih logika. Mana ada frase, “ke Blok M naik ‘jalanan bis’ sangat nyaman”.
Coba perhatikan, bagaimana kita melafal ‘AC’ (Air Conditioner) dan’HP’ (Hand Phone). Bukankah kita menyepel a-se untuk ‘AC’ dan ha-pe untuk ‘HP’? – padahal kalau sok Inggris layaklah dieja ei-si dan eitch-pi. Tapi tidak pada ‘VCD’ (Video Compact Disc) dan ‘PC’ (Personal Computer), karena kita menyepel vi-si-di dan pi-si. Konyolnya, ‘Media Nusantara Citra’ (MNC), dieja dengan em-en-si, bukan em-en-ce.
Yang paling menyedihkan, justru yang menghargai budaya (bahasa) Indonesia adalah orang asing. Mungkin kita sudah bosan mendengar bagaimana bertaburnya kelompok musik gamelan Jawa di Amerika. Di Eropa, beberapa konservatori musik malah menyediakan jurusan musik karawitan atau gamelan bali. Tengoklah yang terdekat, misalnya di Erasmus Huis, sebuah pusat budaya Belanda di Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam program bulanan kegiatan yang dicetak di atas brosur, bahasa Indonesia-lah yang didahulukan, kemudian baru disusul dengan bahasa Belanda kemudian Inggris. Bila ada pementasan pun, buku acara, bahkan kata sambutannya pun – walau terbata-bata – mendahulukan bahasa Indonesia. Gilanya, hal ini justru terbalik bila artis Indonesia yang tampil.
Pada konser Nusantara Symphony Orchestra yang berkolaborasi dengan Tokyo Philharmonie Orchestra di Balai Sarbini, 10 Juni 2008 lalu, sebagai perwakilan dari Indonesia, Miranda Goeltom yang orang Indonesia memberi sambutan, tentunya dalam bahasa Inggris. Lalu, sebagai perwakilan Jepang, kata sambutan dari ‘Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Jepang untuk Republik Indonesia’, Kojiro Shiojiri menyusul. Shiojiri yang asli Jepang ini, yang tidak ada untungnya karena memakai bahasa Indonesia, malah dengan pede-nya berpidato dalam bahasa Indonesia, meski terbata. Sudah cukup muakkah membaca kenorakan kita di atas?
Memang, bahasa yang hidup adalah bahasa yang dinamis dan terus dirusak. Tidak seperti bahasa yang sudah mati seperti bahasa Latin. Namun dalam konteks ini, sama sekali tidak menandakan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengembangkan bahasanya secara sadar. Sebaliknya, masyarakat kita tidak mempunyai kemampuan untuk mengenali fenomena budaya yang menggigiti identitas bangsa. Tidak mampu mengatasi kekagokkannya sendiri terhadap budaya asing. Mirip orang kampung yang merias berlebihan dengan segala pernak-pernik kota sepulangnya ke kampung halaman.
Bangsa yang persoalan budaya-nya dianggap sepele bukan Indonesia sendiri. Tenang saja, kita ada kawan. Bangsa Romawi adalah kawan yang dimaksud. Secara militer Romawi memang menjajah Yunani, tapi dalam hal kultural, Yunani-lah yang menjajah. Kalau kita, militer dijajah, budaya dijajah, ekonomi juga dijajah. Lalu apa yang bisa membuat bangsa ini tidak terjajah? Ketika tersinggung saat membaca artikel ini, begitu jawabnya.
Jadi, tersinggunglah!
Dimuat di Kompas.Com

26 thoughts on “Tersinggunglah!

  1. Jujur, setelah baca tulisan tersebut saya sama sekali tidak tersinggung. Malah saya mendukungnya…Mohon izin agar tulisan tersebut saya posting ke sebuah mailing list yang para member di dalamnya banyak pendukung bahasa yang ke inggris2an.Saya mau lihat komentar mereka yang tersinggung…Salam kenal,Darwindi Medan

  2. mantap tulisannya!! betul juga.Kita banyak terlupakan dan terlalu banyak mencampuradukkan….salamantownholic.com

  3. wow …anda benarmemang penggunaan bahasa asing yang tidak diimbangi intelejensi yang setara nampaknya sudah menjamur dan itu memang mengganggu.tapi saya pikir penggunaan bahasa inggrispun tidak salah. toh nyatanya memang itulah bahasa yang dianggap sebagai bahasa global.kadang ada istilah -istilah (terutama istilah teknologi) yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa Indonesia karena memang (teknologi )lebih berkembang dari luar Indonesia.selamat berjuang …

  4. Saya setuju dalam sebagian hal dengan Bung Roy.Memang benar, biasanya orang menggunakan bahasa asing hanya agar tampak terpelajar. Tetapi satu hal, untuk kami yang beraktivitas di bidang teknologi informasi, rasanya sulit untuk menghindari penggunaan bahasa asing. Hal ini karena belum adanya terjemahan yang memadai atau kalau ada, malah tidak informatif.Jadi menurut saya, penggunaan bahasa asing dalam beberapa situasi tetap masih menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari.

  5. sangat amat setuju, memang dari sananya udah ngga beres. jalur khusus trans jakarta namanya “busway” tapi aneh metromini kopaja dll tidak boleh melalui jalur yang dinamakan “busway” tersebut, padahal mereka juga termasuk kategori “bus”bukan begitu??kalo orang asing liat apa jadinya??maksudnya keren tapi malah malu-maluin hahahadasar koboi a.k.a. konyol boi ;p

  6. keren roy…ternyata bang roy sudah mulai murka,dan akhirnya menuangkan isi kepalanya kedalam tulisan ini…gw cukup kaget setelah baca tulisan ini roy, dan gw merasa tertampar, karena seakan2 loe sedang mengejek atau menyindir gue…terima kasih sudah mengingatkan roy!

  7. Aku hanyamikir,apakah rumput tetangga lebih hijau dibanding rumput sendiri?Sama ketika orang Jepang terseok2 menggunakan bahasa Ind.di balai Sarbini. Bedanya,orang jepang berusaha ‘menjadiInd’tatkala di Ind.Tetapiorang Ind.berjuang keras menjadi barat di negerinya sendiri. Salam kenal ya. O ya,saya juga sellau senyum kl denger naik busway.(= naik aspal ?!)

  8. hihihihihi.. iseng mau ikut2an..:1. Perusahaan lebih memilih surat lamaran berbahasa Inggris:–> Kalo dari sisi perusahaan, surat lamaran kan salah satu alat pengukur Roy. Mereka pasti akan lebih memilih calon karyawan yang mampu berbahasa Inggris dgn baik dan lancar daripada yang cuma lancar berbahasa Indonesia saja (asumsi: besar gaji untuk kedua calon karyawan tersebut sama). Mereka pasti tidak akan mau buang-buang waktu, jadi ya alat untuk melakukan seleksi awalnya yang paling mudah ya dari surat lamaran kerja (padahal bisa jadi calon karyawan dengan mudah mencontoh dari surat lamaran berbahasa Inggris milik orang lain)2. Media Nusantara Citra (MNC) dieja em en si..–> mmm, mungkin ini salah satu cara pemasaran dengan memanfaatkan efek psikologis konsumen. Sebab, banyak konsumen Indonesia sepertinya lebih tertarik membeli barang atau jasa yang menggunakan embel-embel bahasa asing.. Misalnya untuk produk lokal busana atau makanan ,tetapi memakai merek berbau asing: Personal Style (PS), Excecutive, Holland Bakery, dll..Supaya lebih laris dan dipercaya..hehe, mungkin…Bisa jadi pula karena alasan ini pula istilah busway menjadi lebih populer dibanding transjakarta, hehe..Yang pertama kali mengenalkan istilah busway bukannya juga pihak yang mengadakan yah?3. Sama seperti di bidang teknologi, di bidang akuntansi juga banyak istilah dalam bahasa asing yang kurang tergantikan maknanya apabila diucapkan dengan bahasa Indonesia… Misalnya: current account–> menjadi rekening koran… ??? hahahaha…di bidang musik seperti itu juga ya kali…mungkin…Sekedar numpang lewat…tidak bisa banyak berkomentar soalnya bahasa Inggris dan bahasa Indonesia diri sendiri juga lumayan hancur… huehuehue..Apalagi bahasa Jawa, huehuehue ^_^

  9. Aku bangga berbahasa indonesia…..tuh buktinya blogku pake bahasa indonesia yang mudah dimengerti…meskipun adsense google susah untuk mengertinya….he…..he….

  10. Dapat pencerahan dari salah seorang teman yang kuliah budaya di salah satu perguruan tinggi di Australia, Bahasa Indonesia adalah satu-satunya ‘bahasa yang dibentuk berdasarkan kesepakatan’di dunia. Dari latar belakang bahasa Melayu ditambah beragam kosa kata yang berasal dari bahasa daerah yang ada di Indonesia, begitulah bahasa kita dilahirkan.Mudah menyerap memang bawaan lahir bahasa kita.Bahasa menunjukkan bangsa. Begitu juga dengan kesukaan kita untuk menyerap. Hanya saja perlu diperhatikan apa beda menyerap dengan meminjam. Kalau kita lihat KBBI, banyak sekali kata serapan yang sudah dibakukan. Maka kita sudah bisa dibilang berbahasa yang benar kalau mengucapkan ‘mal’ (dilafalkan mal, bukan mol). Tapi kalau melafalkan ‘Caina’ untuk kata ‘Cina’tentu saja tidak benar.Jadi? Saya memilih untuk berpendapat moderat saja (moderat sudah jadi kata baku Bahasa Indonesia belum ya? :D) Kalau bahasa campur-campur dipakai dalam rangka bergaul, mengobrol dengan teman dekat dalam suasana yang tidak formal silakan saja. Memang sudah sifatnya Bahasa Indonesia untuk mudah menyerap bahasa asing kok. Tapi dalam kesempatan formal, dalam tulisan akademis, penggunaan bahasa yang baik dan benar sesungguhnya bersifat wajib, karena bahasa yang baku menjamin ide yang ingin dikomunikasikan tertangkap dengan akurat, terutama untuk ide-ide yang abstrak.

  11. Kawan.., sampe hae ini gue gedek banget kalo denger orang indonesia sedang ngomong indonesia bilang china itu caina, dari zaman purwadarminta dan Ejaan yang disempurnakan saya taunya cina bukan caina…, jadi pembenaran model apa ya , apa biar ke barat baratan….., sampe hari ini gue gedek banget kawan

  12. @bizzimattSoal Cina dibaca China, sebenarnya usaha masyarakat utk meredam konotasi bernada mengejek pad WNI keturunan Tionghoa. Karena ungkapan Cina dianggap lebih kasar karena kata itulah yg selama ini dipakai Orde Baru utk memarginalkan WNI keturunan.Tp yg jadi masalah, untuk mereduksi konotasi negatifnya, kenpa kita harus tunduk pada logika bahasa Inggris? Bukankah pemakaian kata Tiongkok, Tionghoa, Hoa Kiao, juga memberikan padanan yang sama artinya tanpa konotasi negatif, terlebih tanpa perlu tunduk pada bahasa inggris.Bnyk sekali yg keliru dalam menafsirkan tulisan saya ini (walau tidak sedikit yg mendukung). Saya akan buat satu artikel lagi utk merajut wacana ini agar lebih ‘dapat’.Terima kasih.

  13. Roy, perkenalkan saya egi, saya melihat tulisan anda tentang discus di mailing list musik, karena menurut isinya, saya masukan di blog ombak duren, maaf saya minta ijin belakangan….salam egi

  14. gw suka tulisan yang ini. gw perna denger tuh ada artis yang sedang manggung di JCC bilang (di tv: “hello Indonesia! Welcome to Ji-Si-Si”. padahal kalo mao pake bahasa Indonesia harusnya Je-Se-Se. ato kalo pake bahasa Inggris Jey-Si-Si.

  15. yah, saya lebih ke arah sedih daripada tersinggung..ada artikel serupa dihttp://rinaldimunir.wordpress.com/2008/11/11/bahasa-gaul-sampai-ke-kelas/silakan dicek

  16. @zamakTerima kasih sudah mampir. Saya juga sudah lihat tulisan yg Anda sarankan. Tp itu hal yg berbeda dgn yg saya tuliskan. Malah sebaliknya, mnrt saya hal itu baik. Bahasa gaul justru akan memperkaya varian bahasa Indonesia. Dan itu harus terus dikembangkan.

  17. Mongol yang pernah menguasai beberapa wilayah China juga pernah dijajah secara kultural. Hal itu terjadi juga ketika dinasti Moghul meringsek India… tapi mungkin bukan penjajahan kali ya. Akulturasi. Kalau penjajahan mungkin bersifat negatif atau bad habit (nah loh enggris2 an lagi deh). Btw peran baca 9 dari 10 bahasa Indonesia adalah bahasa Asing. Karya Remy Silado? Bukunya menarik. Dan blog mu juga sama :). -divansemesta–

  18. @Divan SemestaTerima kasih komentarnya ya.. Saya juga baca buku Alif Danya Munsyi itu.. Oia, coba deh baca buku dia yg lain: Bahasa Menunjukkan Bangsa.Salam kenal!

  19. Tanya kenapa?Mmm.. Gue termasuk orang yg bikin CV dan surat lamaran dgn Bahasa Inggris. Alasannya cuma satu sih Roy, biar bisa tebar jaring tanpa repot2 mengubah isi waktu ngelamar kerja (skala nasional/ internasional). Hehe.. ya palingan cuma ubah nama/ posisi yg dituju. Dan ya, sampai skrg gue jg masih kikuk kalo ngomong ,"Gue naik busway." :(Oh ya, temen gue secara spesifik pernah menulis ttg pelafalan Cina menjadi 'Caina' (China) yg sepertinya dipelopori oleh Metro TV.Silahkan di-klik juga http://pisciotta.wordpress.com/2008/08/12/caina-bukan-cina

  20. hm… kalau saya masih lebih bangga dengan bahasa indonesia… mungkin karena emang ga bisa bahasa inggris dengan bagus bagus banget kali yah? :p

  21. Roy, aku sangat tersinggung dengan ulah nakal pikiranmu. Hahaha… Sebagai praktisi bahasa, alias pekerja industri media, apa yang kamu luberkan di atas juga aku lakukan. Masih pula aku kadang bercelatu dengan bahasa asing yang belum berserap (sebab, 80% bahasa asing sudah berserap). Betapa tidak mudah menjadi konsisten. Tapi, kurasa, usaha untuk bangga berbahasa Indonesia tidak boleh pupus. Justru karena belum berbentuk sempurnalah aku mau terlibat dalam usaha penyempurnaan ini, dengan sesekali masih suka berkhianat!

  22. hal seperti itu sulit dihindari, roy. karena udah membudaya di Indonesia, termasuk di gue dan lo. malah jadi aneh ketika MNC disebut em-en-ce. yang benar memang kadang dianggap aneh. hehehehe..
    kalo dalam komunikasi sehari2 sih masih gapapa menurut gue, tapi ketika udah dipublikasikan secara luas melalui media massa, ini yang membuat penjajahan budaya dari segi bahasa jadi semakin subur.. gue pribadi, kadang masih suka campur2 kalo ngomong, tp itu gak bikin gue bangga kok. lebih karena udah kebiasaan aja.
    ayo kita perbaiki bersama!

  23. Sayang sekali saya baru membaca ini. Pernah suatu kali saya disindir keras karena menggunakan bahasa Inggris pada suatu pesan elektronik kepada narasumber untuk majalah internal kampus saya. Awalnya sangat kesal, namun lambat laun saya sadar kesalahan tersebut. Terima kasih atas tulisan yang sangat menginspirasi. Semoga di masa depan, anak-anak Indonesia lebih menghargai bahasa Indonesia tak hanya dalam penggunaannya di kehidupan sehari-hari, namun lebih kepada penggunaan yang baik dan benar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *