Siapa Bilang Kembar Harus Mirip?

Judul buku : Dimsum Terakhir

Penulis : Clara Ng

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006

Cetakan : II

Tebal : 361 halaman

Empat manusia, empat Tionghoa, empat perempuan. Dan sialnya, mereka kembar yang tidak mirip!

BIASANYA, keidentikan selalu menempel ketat pada stereotip saudara kembar. Entah keidentikan itu diwujudkan dalam hal busana, selera seksual, minat kegiatan, maupun sikap, yang jelas sepasang atau lebih saudara kembar haruslah mirip.

Namun ungkapan di atas bolehlah menjadi permainan pikiran belaka ketika kita membaca sebuah novel bertajuk Dimsum Terakhir. Bagaimana sang empunya novel mematahkan persepsi masyarakat kebanyakan dalam memandang saudara kembar.

Siska Yuanita, Indah Pratidina, Rosi Liliani, dan Novera Kresnawati adalah empat saudara kembar yang dibesarkan oleh sepasang orangtua, Nung Atasana dan Anastasia. Nung, sebagai kepala keluarga, melanjutkan kehidupan keluarganya dengan merawat dan membesarkan empat putri kembarnya selepas kematian istrinya, Anas.

Dengan berlatar keluarga Tionghoa yang tinggal di daerah Kota, Jakarta Barat, empat saudara kembar itu tumbuh menjadi empat pribadi yang amat bertolak belakang. Siska, Si Sulung yang bossy menjadi wanita karir di Singapura, Indah yang hangat adalah penulis novel yang tinggal di Jakarta, Si Tomboy Rosi bekerja di perkebunan mawar miliknya di Puncak, dan Novera, Si Bungsu memilih menjauh dari hirukpikuk dan menjadi guru TK di Jogja.

Empat kehidupan yang tengah dibangun oleh empat tokoh utama tadi mendadak dibuyarkan oleh berita mengenai ayah mereka, Nung, yang jatuh sakit. Peristiwa ini pulalah yang mempertemukan mereka berempat kembali ke Jakarta, menemani sisasisa terkahir hidup Nung. Dan di Jakarta pulalah, di sebuah rumah kecil dalam gang yang ramai dan sempit, tempat mereka dibesarkan dahulu, sebuah babak baru penuh drama dimulai.

Dimsum Terakhir adalah sebuah karya tulis yang membingkai persoalan keluarga yang amat dekat dengan kehidupan seharihari warga Jakarta yang super sibuk. Tak bisa tidak, lewat novel ini Clara Ng menyorot secara halus keseharian warga Tionghoa Jakarta pada kehidupan modern ini. Membaca Dimsum Terakhir laksana menyaksikan Clara yang dengan kaca pembesar mengetengahkan adegan anak manusia yang berjibaku dengan identitas minoritasnya.

Novel ini kaya dengan bumbubumbu sederhana yang membungkus kesepelean – walau tidak benarbenar sepele – masalah keminoritasan. Ada adegan di mana Rosi menemui kesulitan ketika mobilnya bertabrakan dengan angkot. Paras minoritasnya memperpanjang daftar kesalahannya: sudah nabrak, Cina pula! Atau pada bagian lain yang justru mempertontonkan ketidaksenangan terhadap perlakuan keminoritasannya. Yakni pada nuansa heroik di mana ketika empat gadis kembar tersebut sedang melaksanakan upacara di SD. Ketika salah satu dari mereka digempur ledekan berbau rasial, saudara yang lain justru membuat kapok si pelempar kata dengan menghajarnya.

Tidak seperti karyakarya lain yang ‘rela’ membunuh ceritanya demi menyampaikan pesan ketidaknyamanan akan status WNI peranakan, Clara, lewat novelnya ini mengajak pembaca untuk memahami permasalahan warga Tionghoa di Jakarta, tanpa harus menganggu kenikmatan mengunyah kata demi kata yang disulam Clara dengan amat manis, lincah, dan ringan.

Hal ini tampak dari gaya bercerita yang dituang dalam buku 16 bab berikut prolog dan epilog ini. Alur mundur dan maju dipertontonkan Clara dengan amat halus, tanpa memberi ‘tugas’ kepada pembaca untuk membolakbalik halaman demi mengikuti keseluruhan cerita. Belum lagi gaya bahasa berikut kandungan cerita di dalamnya yang membuat karya ini tak perlu dihakimi dalam kategorikategori. Persis seperti apa yang dituturkan Alberthiene Endah pada testimoni, “Membaca novel ini ada sebuah kelegaan, bahwa tak perlu lagi diperdebatkan mana novel sastra dan mana novel yang bukan sastra. Clara dengan smooth membuat jembatan yang nyaris tak terlihat, yang membuat pembaca tak perlu lagi menghakimi novelnya sebagai ‘sastra’ atau ‘bukan sastra’.”

Namun ada hal yang terasa ganjil di kala Clara dihadapkan pada sebuah adegan untuk menyampaikan pesan kehidupan yang rumit sekaligus sederhana lewat tokoh Nung maupun Anas. Dengan latarbelakang sosial-ekonomi sebagai Tionghoa yang tidak berpendidikan tinggi, berprofesi pedagang elektronik, dan ‘hanya’ hidup di daerah Kota, agaknya kalimat bijak berbau filosofis Barat yang keluar dari bibir Nung terasa tidak logis. Baik dari penyusunan bahasa, rangkaian logika, maupun rasa yang timbul pada suasana dialog.

Clara juga terkesan melakukan penggeneralisiran terhadap tokohnya dalam hal bahasa. Perbedaan karakter keempat tokoh utamanya dilukiskan hanya lewat emosi, bukan permainan kata yang khas milik masingmasing karakter. Andai Siska yang adalah seorang wanita karir yang sukses digambarkan lewat katakata yang khas pengusaha perempuan Singapura, atau lewat aksen dan pemilihan kata yang sedikit maskulin ke-Sunda-an pada Rosi yang tomboy dan tinggal di Puncak, pasti bumbu Tionghoa yang sudah diramu dengan baik oleh Clara lewat pembeberan budayabudaya Tionghoa tertulis maupun tidak, tidak siasia karena berdiri sendiri. Dan tentunya membikin novel ini menjadi semakin kaya dan eksotis.

Ah, mungkin Clara lebih tahu…

Dimuat di majalah MATABACA edisi Februari 2008

3 thoughts on “Siapa Bilang Kembar Harus Mirip?

  1. Roy…Roy…..penggiat yang membara di Agenda 18! He..he..salut deh makin berkibar ya. Selain The Jakarta Post, Sinar Harapan, Matabaca, dimana lagi namamu akan berkibar…..Menulis sampe selamanya

  2. roy…mau dong baca bukunya…kayanya ini sesuatu yang unik yah, tentang apa yang menjadi identitas kita dalam berkarya sebagai warga Indonesia dengan kekhasan yang kita bawa tanpa sengaja sebagai bukan pribumi. tapi klo diusut2 lagi, sebenernya kita mestinya uda termasuk pribumi dong, wong kita uda tinggal di sini lebih dari 3 generasi kan? hehe…entahlah, pembedaan selalu menyebalkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *