Sepotong Memoar Assad

Beberapa malam lalu, sepasang seniman gitar menyajikan pengalaman bermusik terindah dalam kehidupan musik gitar klasik di Indonesia, mungkin. Nadanada brilian dan penuh virtuositas merasuki pendengar yang hadir. Rasanya sangsi, sepotong catatan kecil ini mampu mewakili perziarahan spiritual bermusik yang ditampilkan Duo Assad bermalammalam lalu.

TIDAKLAH berlebihan, atau pun melebihlebihkan, bila meragukan catatan kecil ini akan dibaca sampai habis, kalau kita sekalian menjadi saksi mata langsung akan suguhan musik penuh makna dari sepasang gitaris kakak beradik kenamaan, Sergio dan Odair Assad. Pasalnya, pengalaman religius macam itu harus dialami sendiri, tanpa mampu diwakili dengan medium apapun.

Tapi toh, rasanya tidak menjadi sempurna pengalaman menggauli musik semalaman bersama sang maestro tanpa mengawetkannya dalam sebuah catatan pendek. Katakanlah sebagai memoar kehidupan yang perlu dibingkai dalam guratan keabadian. Karena apa yang tidak tertulis hanya akan dimakan angin.

21 November 2007, Usmar Ismail Hall, Kuningan, menjadi saksi bisu akan penampilan Duo Assad yang untuk pertama kalinya mengadakan resital di Indonesia. Atas undangan dari Guitar Maestros Concert Series pimpinan gitaris Sudirman Leman, Sergio dan Odair menjanjikan sebuah jamuan musik yang memukau.

Sebagai nomor pembuka, karya tiga bagian – Rigaudon, Menuet, dan Le rappel des oiseaux – milik Jean-Phillipe Rameau, seorang komposer Prancis, menjadi pilihan duet yang melegenda itu. Tanpa tekanan untuk bermain sempurna, bagian demi bagian mereka lewati dengan mulus, tanpa kesalahan yang berarti. Dengar saja bagaimana pada bagian Rigaudon, yakni sebuah bagian yang membutuhkan pemenggalan kalimat yang jelas karena merupakan sebuah tarian Barok, dimainkan dengan nafas yang stabil dan teratur. Walau mirip dengan gaya Bourre, namun ritmik gaya Rigaudon lebih sederhana.

Menyusul kemudian karya Domenico Scarlatti dan Heitor Villa Lobos. Masingmasing dengan beberapa bagiannya. Penampilan pada lagu ini juga layak dipuji, walau nuansa yang dibangun belum cukup ‘panas’, mungkin dikarenakan akustik ruangan yang tidak optimal.

Sergio, sang kakak, mempunyai warna suara gitar yang lebih gelap, tenang, dan ritmis dibanding Odair, adiknya. Maka tak heran bila sepanjang resital ini, jalur melodi dijarah habis oleh Odair yang kecepatan jari dan intensitas nada yang dihasilkan tidak diragukan. Begitu pun pada karya 2 bagian yang ditulis Sergio, Eterna dan Tahhiyya li Ossoulina. Oleh keduanya, karya tersebut dibahasakan dengan amat puitik. Dengar saja bagaimana ketrampilan mereka berdua dalam mengolah musikalitas karya, hingga terbangun sebuah nuansa romansa dalam pemahaman kultur sekarang, Avant Garde. Lalu perlahan menggiring pada ketegangan yang memuncak pada dialog tanya jawab antar kedua gitar. Dan jeda.

Seusai jeda, karya Astor Piazzolla, Bandoneon dan Invierno porteno seakan menyihir seisi ruangan untuk kembali tekun memahami pesan musik yang ingin disampaikan. Bandoneon sendiri adalah nama sebuah alat musik yang menyerupai arkodeon. Di tangan Piazzolla, imitasi suara instrumen ini kembali dihidupkan pada permainan gitar. Kesan itu kemudian diperkuat lagi oleh irama Tango yang amat mendominasi karya komposer kelahiran 1921 di Argentina ini. Sesekali perubahan ritmik yang terjadi dengan cepat, serta alur melodi tegas dan pendekpendek yang tersusun, menyerupai permainan musisi Jazz yang sedang jam session.

Tak ketinggalan, untuk mencirikan identitas bangsanya, Duo Assad membawakan karya dari negerinya sendiri, Brazil. Tak pelak karya Antonio Carlos Jobim, seorang musisi legendaris Brazil, dimainkan dengan ruh Samba yang kental. Seakan ingin mewakili misi kesenian yang mereka emban. Karya ini pun sama memukaunya dengan penampilan sebelumnya. Ekspresi sebuah karya moderen yang amat brilian!

Sebelum membawakan encore, dua komposer yang karyanya dibawakan pada malam itu adalah Egberto Gismonti dan Radames Gnattalli. Dan sebuah aksi panggung yang paling ditunggu akhirnya dipentaskan: Sergio menaruh gitarnya, berdiri di belakang Odair yang duduk dengan gitarnya, kemudian Sergio membungkuk, dan mereka memainkan sebuah gitar dengan 4 buah tangan!

Fantastis! Dibutuhkan teknik yang amat tinggi untuk melakukan hal tersebut. Apalagi karya yang dibawakan sangat sulit, dan membutuhkan kecepatan dan ketepatan. Namun, duo yang sudah berpasangan lebih dari 25 tahun ini, tampil dengan amat magis. Persis dengan apa yang mereka sudah lakukan selama puluhan tahun. Jalan kehidupan bersama gitar yang mereka tempuh, dedikasi dan kecintaannya, dibalas dengan persahabatan indah dari gitar itu sendiri, serta semua pecinta permainan gitar klasik di seluruh dunia.

Keterkaguman penonton tidak cukup pada 1 lagu encore. Tepuk tangan panjang memaksa Sergio dan Odair naik kembali ke atas panggung dan menutup resital malam itu dengan sepotong karya yang amat manis. Dan entah, apa catatan ini mampu memberi pengalaman bermusik yang sama dahsyatnya ketimbang menyaksikan sendiri pesona kedua seniman besar itu. Rasanya tidak.

Dimuat di Majalah GONG Edisi Januari 2008

3 thoughts on “Sepotong Memoar Assad

  1. Hehe.. keluar juga…nice… emang tuh konser masih aja bekas di kepala nih ampe sekarang. One of the best i’ve seen, if i may say so.

  2. Hallo Roy, terimakasih buat reviewnya..puitis, deskriptif dan subtansial. Dunia gitar dan musik klasik Indonesia perlu penulis-penulis yang lebih kreatif dan edukatif. Tolong jangan berhenti menulis semoga perkembangan seni musik klasik di indonesia bisa lebih maju..

  3. Roy, tulisanmu makin matang saja. Nulis terus ya, biarkan koran-koran itu nanti mengemis-ngemis minta kamu menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *