Pemilu

Nomor tiga yang saya contreng pada Pemilu tahun ini. Pilihan saya akan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto terjadi amat spontan. Sebuah pilihan yang baru diputuskan ketika masuk bilik suara.

Pilihan itu memang baru diputuskan di bilik suara. Tapi pergulatan menuju pilihan itu tidak terjadi begitu saja. Makan waktu beberapa minggu untuk memikirkannya.

Saya bersikap begini bukan karena agar nilai PPKn di sekolah dapat delapan, bukan juga biar dicap nasionalis, apalagi biar dikenal sebagai anak muda yang (sok) kritis. Saya cuma berpikir sederhana, ingin ambil bagian dalam hidup bermasyarakat. Sayang sekali kalau hidup saya hanya diperintah nilai bagus PPKn atau hanya tunduk pada tuntutan pencitraan di masyarakat. Saya lebih nurut kalau disuruh ibu saya untuk ambilkan balsem di lantai atas.

Pemilu presiden tahun ini adalah yang pertama buat saya. Pemilu 5 tahun lalu saya absen. Saya ogah mampir ke TPS walau letaknya persis di depan pintu belakang rumah saya. Pemilu kali ini, saya ogah juga. Maksudnya ogah untuk tidak memilih. Sekalipun mencontreng semua pasangan dan dianggap hangus, saya anggap itu sudah memilih.

Saya dihadapkan pada tiga pilihan pada pemilu 2009: nomor dua, nomor tiga, atau coret-coret kertas suara. Nomor satu memang tidak masuk dalam daftar pilihan sejak pertama. Saya sudah enggan dengan Mega sejak lama, apalagi dengan pasangannya.

Sebenarnya JK-Win juga sudah saya buang sejak awal (karena Wirantonya), tapi lewat tulisan ini saya ingin berbagi kenapa toh akhirnya malah JK-Win yang saya contreng.

Singkat cerita, lewat pilihan saya ke JK-Win, saya ingin bicara soal bahasa iklan dalam politik. JK-Win, pasangan yang tidak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, ternyata malah saya contreng. Dan saya yakin, ini akibat metode tim sukses mereka dalam mengemas kampanyenya yang menurut saya lebih cerdas, menarik, dan simpatik. Tiga hal yang tidak terjadi pada Mega-Pro dan SBY-Boediono.

Kita akan mengangguk bersama kalau dikatakan bahwa Pemilu di Indonesia sangat tidak mempesona. Masing-masing dari kita akan lebih nafsu untuk ngutak-ngatik fesbuk atau lebih menarik untuk menonton iklan rokok, dibanding mengikuti perkembangan kampanye para capres-cawapres. Mereka sama sekali tidak menarik, malah cenderung memuakkan!

Bagaimana tidak muak, tiap hari wajah mereka meneror kita di sana-sini. Di televisi, di koran, di pintu gerobak nasi goreng, di kaca angkot, di spion bajaj, di kaos tukang parkir, sampai di obrolan warung tegal. Sebenarnya, bukan teror wajah mereka yang membuat saya sebal, tapi isi dari kampanyenya yang ompong. Tidak ada yang menggugah saya untuk memilih salah satu dari mereka selain karena latarbelakangnya. Saya hampir-hampir tidak bisa membedakan mereka karena isi bualannya sama saja.

JK-Win agak lain buat saya. Kampanye mereka jelas lebih menarik. Saya suka dengan iklan yang dikemas. Saya terkejut dengan kelugasan JK saat debat capres yang berani menunjukkan ke-aku-annya. Dia berani tampil menyerang, percaya diri, dan memperlihatkankan bahwa dia berbeda.

Konsep kampanye mereka sangat simpatik dengan mengundang tokoh-tokoh untuk menyatakan dukungan. Apalagi ditambah dengan slogan untuk menjadi bangsa mandiri. Pasangan ini, saya yakin, banyak menggoda para pemilih yang berpendidikan. Kampanye mereka menyodorkan gagasan, karena itu mengusik pemilih dalam taraf nalar, bukan emosi, bukan kekultusan.

Sebaliknya, kampanye SBY dan Mega lebih sebatas pengukuhan citra diri masing-masing. Mega dengan nebeng nama besar bapaknya agar dikulktuskan, sedang SBY tidak punya amunisi program lain selain mengucap ”Lanjutkan” sampai berbusa. Tidak ada tawaran gagasan konkret dari Mega-Pro dan SBY-Boediono. Mereka hanya mengulang-ulang narsistik pribadi. (Mega-Pro memang terlihat mengeluarkan ide lewat progam-program yang disodorkan. Tapi itu tidak lebih dari sekedar fotokopi buku sejarah). Intinya, kampanye mereka lebih menggugah secara emosional dari pada nalar. Mereka tidak sadar, kalau bangsa ini butuh edukasi politik lebih cerdas ketimbang menaikturunkan emosi.

Dugaan saya, baik Mega maupun SBY sadar akan ketokohan mereka. Sehingga karenanya, tanpa bergagas pun massa mereka sudah ada. Beda dengan JK yang massanya mungkin hanya datang dari jaringan parpol atau koleganya. Mungkin inilah mengapa, SBY dan Mega enggan menawarkan gagasan: takut membuat blunder. Mereka merasa lebih baik cari aman dan menutup sama sekali celah untuk didebat karena ide mereka. JK sebaliknya, dia yang tidak memiliki massa loyal, merasa perlu jungkir balik agar dapat mencuri suara dari massa Mega maupun SBY. Dan terbukti, suara saya dicuri ketika Pemilu.

Saya menyadari bahwa proses berdemokrasi masyarakat Indonesia masih anget-anget tahi badak (kasihan tahi kucing mulu). Masyarakat belum cerdas untuk menentukan sikap karena pilihan pribadi. Masyarakat lebih condong bersikap karena faktor X di luar dirinya seperti ikut-ikutan, ketokohan, tidak ada pilihan, nurut suami atau istri, bahkan sampai yang memilih karena dibayar. Tapi dengan meyaksikan langsung proses demokrasi tahun ini saya yakin kita sudah di titik mula jalur demokrasi yang ideal.

Lewat kampanye JK-Win, saya senang, karena ada yang mengisi ranah kognitif saya ketimbang emosional semata. Artinya, masyarakat kita sudah mulai bisa dididik dalam berpolitik melalui kampanye cerdas yang terbukti efektif. Atau sebaliknya, kampanye kultus-mengkultus tetap dilakukan, agar masyarakat tetap bodoh?

Lalu, apakah dengan mencentang JK tepat pada kumisnya, menunjukkan bahwa saya mendapatkan presiden ideal? Tidak, sama sekali tidak. Sampai di bilik suara, bahkan sampai SBY menang, saya tidak menemukan pilihan ideal di Pemilu tahun ini. Lewat pilihan ke JK, saya hanya ingin menunjukkan, bahwa saya menghormati capres-cawapres yang mengakui keberadaan saya sebagai manusia yang berpikir. Itu saja.

2 thoughts on “Pemilu

  1. senang menemukan blog ini, bung roy. saya selusuri dari agenda18. semoga selalu bertahan menulis terus bersama kawan-kawan OMK. salam, y.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *