Pekat malam bersandar di hampir pukul duabelas. Malam kemarin, 30 April 2008, sudah kutunggu untuk sepotong pekikan. Yang entah kemenangan atau malah kemalangan.
WAKTU itu ada secarik surat elektronik yang dikirim seorang teman, Andreas Arianto Yanuar. Dia – yang tahu aku serius menulis – memberi informasi soal lomba menulis essay yang diselenggarakan World Bank. Dalam situsnya, lomba itu diperuntukkan bagi orang muda di seluruh dunia. Temanya pun tak main-main: masalah perkotaan. Bagaimana orang muda memimpikan sebuah kota.
Aku pun tertarik. Bukan saja karena hadiahnya yang berjumlah $5.000 – walau ini juga menggiurkan – tapi karena sebuah kesempatan buatku menulis dalam skala internasional. Berhari-hari, berminggu-minggu, aku berpikir keras untuk menentukan topik. Rubah merubah. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengangkat masalah PKL (Pedagang Kaki Lima). Sekelompok manusia yang sering alpa di pikiran manusia kota.
Aku menulis dalam kondisi ektase luar biasa ketika itu. Setelah paginya nangkring ke Kinokuniya yang sedang diskon, dan membeli sebuah buku tentang Jakarta. Sepanjang siang sampai sore aku habiskan buku itu dengan rakusnya. Sore dimulai, petualangan intelektual pun dimulai. Kugores kerangka tulisan, sudut pandang masalah, serta data-data yang diperlukan. Setumpuk majalah, koran, serta alamat web juga kugauli dengan liar.
Tulisan pun rampung setelah berjibaku kurang lebih 11 jam, dari pukul 4 sore hingga pukul 3 pagi keesokkannya. Intinya dalam essay itu, aku memimpikan sebuah Jakarta yang bertumbuh secara ekonomi, juga kultur, lewat geliat para kaum urban, salah satunya PKL.
Aku melihat, paham yang menjangkiti masyarakat adalah paham kapitalis yang melibas masyarakat akar rumput. Ini yang menyebabkan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin melarat. Maka tak heran kalau ada gedung super mewah, makanan kelas jetset, tapi ada bocah ingusan yang belum makan 1 hari. Semua kondisi paradoksal itu tertuang utuh dalam lanskap Jakarta.
Maka, ideku, harusnya ada perhatian pemerintah dan masyarakat untuk lebih memperhatikan masalah ini. Kota ini hanya akan bertumbuh dengan manis lewat kaum-kaum kecilnya. Karena mayoritas penduduknya masih hidup dalam kemiskinan. Dan PKL, yang selama ini dikonsepkan sebagai pembuat onar, harus dirubah menjadi konsep yang lebih positif. Aku mengatakannya dalam tulisan seperti ini, “Merubah Citra PKL: Penertiban Menuju Pemberdayaan”.
Usahaku memperjuangkan tulisan ini juga tak main-main. Aku konsultasikan dengan mentor menulisku, Her Suharyanto dan Ignatius Haryanto. Setelah melakukan perbaikan sana-sini, aku cari penerjemah untuk mengalihkan ke bahasa Inggris (syarat kompetisi). Kocek pun digali lebih dalam. 480 ribu kutransfer dengan berat hati ke rekening sang penerjemah.
Semalam sudah tiba. Hari di mana pengumuman para finalis diumumkan. Sepanjang penantian itu, aku sudah membayangkan bagaimana kalau terpilih. Mau kupakai apa uangnya. Apa aku ada waktu untuk datang ke malam penerimaan hadiah di Cape Town, Afrika. Aku berkhayal melayang menembus realita.
Tapi semua khayalan tadi harus wafat sejenak, karena aku tak menemukan namaku dalam 200 besar, apalagi 22 besar. Dalam 3.000 tulisan yang masuk, menurut panitia, aku menjadi sangsi apa tulisanku terdaftar. Aku masih teramat yakin pada diriku bahwa tulisanku tak jelek-jelek amat untuk mengikuti kompetisi. Setidaknya dalam 200 besar masuk. Begitu belaku.
Lemas juga rasanya melihat kenyataan, atau lebih tepatnya kekalahan ini. Narasi berjudul ‘Jakarta Kota PKL’ itu kini tengah mengintip malu-malu dari dalam folder laptopku. Entah bagaimana memberi tahu padanya tentang berita ini. Bergunakah Aku?, begitu kira-kira narasi itu bertanya.
Hari ini 1 Mei 2008, Hari Buruh. Aku berjalan ke Kemakmuran untuk memenuhi janji mewawancarai seorang korban pemukulan oleh polisi. Sebelum wawancara, di jalanan kendaraan meraung-raung dengan gahar. Pawai buruh menggelora. Suara orasi yang bergairah membahana dan memuati sudut-sudut kota. Di tengah pekikan itu aku mendengar sesuatu, “Hidup buruh! Hidup PKL”.
Aku sekarang tahu, tulisanku tidak sia-sia. Ia ‘hidup’ untuk berjuang bersama kesakitan kaum marginal yang sering dibuat alpa oleh kita bersama. Aku bersama kalian, kaum kasihan.
Salut Roy… rasanya setiap hal kecil yang lo lakukan terlihat besar banget… btw… kenapa tadi pagi gak ketemu ya… waktu lo jalan kaki ke kemakmuran? lama gak ketemu ya…
Gpp Roy,tetep semangat (^__^).Coba sini kirim ke gw terjemahannya kaya apa jd bisa keliatan hasil terjemahan itu masi ada “nyawa” lu disana apa ngga. Kadang2 penerjemah suka ga dapet “jiwa” tulisan yang mo diterjemahin, jadi cenderung letterlijk aja, apalagi klo kejar setoran mulu hehehehe.Makanya laen kali coba cari penerjemah yang lu kenal, jadi bisa lo rewelin maonya seperti apa. Pemilihan kata deh misalnya,biar ga sembarangan maen di “blok-shift F-cari sinonimnya biar bagus” sama si penerjemah. Jadinya hasil akhir tetep tulisan lo, bukannya jadi tulisan si penerjemah (kalo2 si penerjemah ini malah interpretasinya beda sama lu pas nerjemahin).Gue ga antipati sama penerjemah kok, tapi pernah ada pengalaman temen gue dipecat gara2 penerjemah tersumpah yang ga mahir (dengan bayaran orang mahir). Makanya, mungkin..mungkiiin bisa jadi ada aspek “ga menang gara2 translator”…Hahahaha nyenengin elu banget sih gue (jahat mode: ON).