Bocah

Dulu,

waktu aku masih bocah,

ketika mengisap puting ibu berdiam di hari-hariku,

dan kukencingi, tak hanya di ranjang, dalam peluk ibu,

kupikir aku menanyai-Mu

hanya dalam malam kering,

dan malam basah kuisi dengan tarian kegirangan.

Tarian yang kuyup ketenangan,

kutimba dari sumur cintaku,

atau pompa tanah di pekarangan tetangga.

Sekarang keadaan berubah.

Kering atau basah sama saja buatku,

karena hari dan detik sama-sama mengejarku.

Mimpi-mimpi yang Kau pajang pada pagiku yang bau nanah,

tak menjawab risauku dalam rancauan.

Dan aku menanyai-Mu dengan ancaman.

Kadang mesra, sesekali oposisi.

Lebih sering dalam ngigauan.

Tapi aku tak lagi bocah.

Posisi itu menjadi makin menjurang.

Ketika di satu subuh aku menyudutkan-Mu.

Aku ingat persis gambaran gang buntu yang mengepung-Mu kala itu..

Lurus, gelap, sedikit kerikil, dan setumpuk bau tanah.

Di kebuntuan itu tergantung jendela yang lampunya selalu redup.

Aku juga ingat apa yang kita kenakan ketika itu.

Kau memakai blujins ketat berbolong di daerah dengkul.

Sekali dua kali kepala gesper-Mu yang berukir tengkorang botak bermata koin itu nongol dari balik kaos yang beradu sempit dengan celana-Mu.

Waktu itu Engkau hanya mengatakan iman kepadaku yang berjubah putih susu.

Tapi nalarku minta makan Gusti!

Iman bukan mesin!

Ah…

Aku jadi ingin kembali ke masa itu.

Masa di mana rambutku disisir setiap habis mandi,

sambil ditarik-tarik hidungku, dan disusul hujan kata,

”Biar mancung, tampan…!”

Yang lebih dari selusin berak dan muntahku ia yang bereskan.

Dan mangkuk serealku tak pernah awet karena usilnya tanganku, bukannya aku.

Ketika itu,

basah atau kering,

malam bagiku punya warna sendiri-sendiri.

Ya. Ketika aku bocah.


260507

petojo


One thought on “Bocah

  1. ya benar…. kita bersama menyuntik semangat mereka…..tulisanmu bagus… eman sekali (jika) tidak ada yang bacasaya suka puisi2mu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *