Menyuarakan Kebisuan

Semut yang diinjak tidak selamanya diam dan pasrah meladeni nasib. Ada kalanya semut-semut itu meluapkan amarah dan berbalik menuntut nasibnya. Mereka tidak selamanya ingin diinjak.

ILUSTRASI di atas mungkin tidak sepenuhnya sesuai untuk menggambarkan bagaimana semangat feminisme yang sedang bergejolak. Perempuan memang tidak seremehtemeh semut. Namun sikap ‘tidak selamanya ingin diinjak’ itulah yang kiranya tepat untuk menggambarkan bagaimana sikap perempuan, dewasa ini.

Perempuan hidup dalam dunia yang sangat lekat dengan konsep patriarki selama berabad-abad. Di mana perempuan selalu inferior terhadap laki-laki. Posisi perempuan hanya sebatas pendamping. Sebatas pelengkap. Sebatas perangkat. Mereka tak pernah diposisikan (atau memposisikan) sebagai pemain utama. Kalau ada, itupun sebatas catatan pengembira. Tidak lebih.

Apa yang dilakukan perempuan-perempuan dalam pentas teater monolog ‘Perempuan Menuntut Malam’ mungkin mau menyampaikan sebuah pemaknaan yang berbeda terhadap posisi perempuan. Bertempat di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, mereka mencoba menuangkan suatu produk kesenian yang mereka suarakan sebagai sesuatu yang kreatif, kritis, dan indah. Tanggal pementasan yang dipakai pun tidak main-main. Sengaja mereka pilih tanggal 8 Maret 2008 yang memang dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional.

Di atas panggung yang berlatar minimalis, empat babak lakon disuguhkan. Pentas yang naskahnya ditulis oleh Rieke Dyah Pitaloka dan Faiza Mardzoeki ini terselengara atas kerjasama Institut Ungu dan Yayasan Pitaloka. Diawali oleh penampilan aktris kawakan Niniek L. Karim yang berperan sebagai seorang ibu rumahtangga yang mengalami kekerasan dalam keluarga lewat suaminya. Sialnya, putrinya yang sudah menikah juga mengalami perlakuan yang sama dari suaminya. Putrinya bersikukuh untuk bertahan dengan sebuah alasan yang mungkin romantis namun tak berlogika: cinta!

Panggung yang luas itu, beberapa buah papan putih besar dijejerkan sebagai latar. Kemudian dari balkon sebuah proyektor menembakkan gambar-gambar yang memperkuat nuansa lakon. Di depan papan-papan itu, Niniek berlagak dengan lembut. Mengisi keheningan dan kegelapan panggung dengan menyuarakan kebisuan. Kebisuan khas perempuan.

Dikisahkan Niniek sebagai Ranti tua yang ‘terjebak’ dalam latar dapur. Di depan matanya, di atas meja panjang, bahan-bahan makanan dan perlatan memasak menungguinya dengan sabar. Menunggu giliran untuk dijamah. Di sudut depan meja, berjarak 3 meter-an, sebuah televisi diletakkan sebagai properti. Kemudian berganti-gantian, gambar latar yang ditembakkan dari proyektor tadi saling mengisi. Ada beberapa video pembaca berita, yang kesemuanya perempuan, dari berbagai saluran televisi yang muncul saling bergantian. Bergantiannya pun cukup unik, karena didasarkan pada kebutuhan menghadirkan ritmis musik. Mirip DJ (Disc Jockey) yang sedang beraksi. Sesekali gambar tadi beralih ke video adegan memasak. Ada video memotong sayuran, mengaduk nasi di kuali, juga api kompor.

Niniek dalam monolognya lebih banyak berisikan keluhan. Menyuarakan suara tertindas perempuan yang selama ini tidak terdengar (atau tidak didengarkan). Namun aktingnya tidak prima. Olah vokalnya kedodoran, gesturnya monoton. Gaya itu mungkin lebih cocok pada medium sinetron atau film yang memang dibantu oleh teknologi. Namun tidak pada seni teater yang mesti memanfaatkan kelebihan olah suara dan penyampaian bahasa tubuh yang komunikatif. Berbeda dengan medium film yang terbingkai dalam kamera yang mampu mencatat ekspresi dengan detil dan akrab.

Musik yang mengawal pada babak ini cukup unik. Suara pisau yang memotong sayuran, serta suara osengan yang beradu dengan badan kuali, disulap oleh Balance Perdana Putra, sang penata musik, menjadi sebuah efek perkusif yang menemani ilustrasi musik.

Pada babak kedua, gantian Rieke Dyah Pitaloka yang bermonolog. Ia memerani Ani. Seseorang politisi perempuan yang sudah berkeluarga. Namun ia kesal karena perlakuan bias dari media dan masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukanlah tentang politik atau hal di seputarnya, melainkan bagaimana keadaan rumahtangganya, mengurus anak, dan sebagainya yang khas infotainment.

Babak ini dibuka dengan amat menarik, dan pastinya membuat para pria ketar-ketir. Bagaimana tidak, Rieke menampilkan adegan mandi di bawah pancuran. Meski hanya sebuah siluet, namun lekuk tubuhnya terlihat dengan jelas. Rieke kemudian bergegas menyudahi mandinya untuk mengangkat telepon yang berdering panjang.

Di sini Rieke lebih banyak mengolah satire muatan politik. Ia bicara banyak soal politik. Partai A begini, pejabat B begitu, dan seterusnya. Sayang, pada babak ini, temanya cenderung kabur dan melebar. Perspektif yang diangkat bukan lagi dari kacamata perempuan. Bisa dibilang pada lakon ini, penonton menyaksikan diplomasi khas Butet Kertaradjasa atau sentilan khas Teater Koma yang menyublim dalam diri Rieke.

Babak ketiga sebenarnya sangat menarik, bahkan dilematis. Dilematis antara membenarkan perbu
atan seorang pelacur, atau membenarkannya demi alasan tertentu. Justru ke-dilematis-an
ini yang menarik. Sayangnya hal ini pun tak digarap dengan baik. Tak terlihat dengan jelas apa tawaran pemikiran yang khas perempuan mengenai masalah ini. Kata-kata jorok yang diucap malah terkesan unjuk gigi penulis naskah dalam mengeksploitasi kata-kata tersebut, dibanding usaha untuk menerjemahkan lakon lewar alur atau karakter yang kuat. Ya, mungkin meniru usaha para penulis perempuan yang sudah-sudah, yang ‘hobi’ berkutat pada kata-kata sensasional semata.

Terlepas dari naskah yang buruk, lakon ini dimainkan dengan amat baik oleh Ria Irawan. Berperan sebagai pelacur jalanan, yang biasa mangkal di bawah lampu pinggir jalan, Ria masuk dengan amat sempurna pada perannya. Kepiawaiannya dalam menghadirkan sosok pelacur jalanan ke tengah-tengah panggung sangat berhasil dengan amat memukau lewat perangai dan olah vokalnya.

Rieke tampil lagi sebagai penutup di babak ke empat. Panggung minim cahaya, dibuat remang dengan sengaja. Tubuh Rieke yang dililit tali sekan ingin mengartikan sebuah simbol akan posisi perempuan yang terbelenggu. Tali-tali yang mencengkram tubuh molek Rieke menjadi simbol patriarki yang mengakar kuat dan karenanya membisukan perempuan.

Dalam ikatannya itu, Rieke meneriakkan slogan-slogan perjuangan khas perempuan. “Kami ingin bebas, kami ingin merdeka!”, begitu kira-kira. Babak ini ditutup dengan kemenangan perempuan. Lilitan tali yang dikoyak Rieke, dan berhasil meloloskan dirinya, dapat mengartikan semangat kemerdekaan bagi perempuan.

Membaca utuh lakon empat babak ini, seakan menyaksikan serangkaian puzzle yang belum jadi. Sebuah lakon yang kehilangan bagian-bagian. Sebuah lakon yang tidak berkerangka jelas dan lengkap. Konsep ‘perempuan menuntut malam’ tidak terjawab dengan jelas. Kalau hanya terinspirasi dari gerakan ‘Reclaim the Night’ yang diorganisir aktivis perempuan di Roma pada tahun 1976, dan melupakan pemaknaan tentang tajuk, naskah ini belum siap dilahirkan. Karena akan terasa prematur. Yang ada, naskah ini hanyalah kloningan dengan naskah-naskah teater yang sudah ada dan akrab dikenal masyarakat sebagai lakon kritik sosial.

Alhasil, penonton dibuai dengan sebuah pertunjukkan teater yang sekadar melawan lupa. Melawan lupa yang berdiam anteng dalam masyarakat, yang sering membuat perempuan seakan alpa. Sehingga pertunjukkan ini pun lupa untuk menyampaikan pesan kebaruan pikiran, kelayakkan seni pertunjukkan, dan kekhasan perempuan yang menyuarakan kebisuannya.

One thought on “Menyuarakan Kebisuan

  1. Aduh, iri sekali aku!Sayangnya aku ketinggalan pertunjukkan yang satu ini, padahal judulnya sangat menggoda.. Terima kasih telah menuliskan reviewnyah…Tanggal 28 kan ada pertunjukkan lagi tuh (oleh kel,Get Art Jakarta), ditunggu yah reviewnyah.. Hihihi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *