Kampus Privat

Pemasangan iklan majalah Globe Asia edisi Februari di Kompas (11/2) yang memajang pemeringkatan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, diikuti dengan opini keras dari rektor ITS, Priyo Suprobo, yang memajang protesnya pada harian yang sama (15/2).

IKLAN yang mencolok mata itu menampilkan survei mereka tentang 10 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbaik se-Indonesia. Yang mana majalah tersebut ternyata diterbitkan oleh kelompok perusahaan yang satu atap dengan Universitas Pelita Harapan (UPH).

Menariknya, majalah itu menempatkan UPH sebagai PTS terbaik dengan skor 356, dan UI sebagai PTN terbaik dengan skor 366. Kemudian di kategori PTS disusul oleh Trisakti (263), Tarumanegara (242), dan Atmajaya (243). Sedang pada kategori PTN, berturut-turut di bawah UI adalah UGM (338), ITB (296), dan IPB (283). Atau dengan kata lain, skor 356 pada UPH menempatkannya pada posisi kedua dalam 20 besar perguruan tinggi terbaik di Indonesia mengalahkan UGM, ITB, dan IPB.

Priyo menganggap pemberitaan ini adalah sebuah bentuk penipuan baru terhadap masyarakat. Karena kriteria penilaian yang dipakai Globe Asia menunjukkan kejanggalan akan sebuah rekayasa yang diatur demi memenuhi kebutuhan pemasaran (marketing). Sebagai contoh, bobot penilaian untuk fasilitas kampus sebesar 16 %, mengangkangi penilaian bagi kualitas staf akademik dan kualitas riset yang hanya dibobot 9 % dan 7 %. Padahal dua faktor tadi lebih relevan dengan sebuah institusi pendidikan dibanding hanya dengan mengobral kemewahan fasilitas penunjang.

Konsekuensi logisnya, citra dari PTS dan PTN yang selama ini lebih dikenal secara mutu mendadak jeblok. Sedangkan UPH malah mengeruk laba yang besar lewat rekayasa ini. Sebuah pemutarbalikkan fakta yang rapih, manis, dan terlihat elegan. Namun sayang, kebenaran tak bisa dibelokkan layaknya fakta. Kebenaran akan terus hidup dan menguap ke atas langit pencerahan.

Ruang Publik

Konsep ‘ruang publik’ adalah sebuah konsep yang ranah pemahamannya meliputi hidup berdemokrasi dalam suatu masyarakat kompleks. Konsep ini membantu untuk memberi pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat milik umum, bukan privat.

Publik berasal dari bahasa Latin, ‘publicus’ , yang memiliki dua arti: pertama, milik rakyat sebagai satuan politis atau milik negara; dan kedua, sesuai dengan rakyat sebagai seluruh penduduk atau umum. (F. Budi Hardiman, 2008). Dengan demikian, penyelenggara hidup publik (pemerintah), pelayan publik (pejabat), orang publik (selebritis) dibedakan dengan badan/orang ‘privat’. Ada sebuah dikotomi besar yang berlanjut pada konsekuensi untuk membedakan pengeksekusian pemaknaan terhadap dua kata tersebut.

Dalam masa sekarang, ruang publik tersebut meliputi pemerintah, rumah sakit, polisi, media massa, maupun lembaga pendidikan. Mereka ada dan dituntut keberadaannya untuk menjawab persoalan-persoalan kolektif masyarakat. Intinya, ruang publik berdiri karena adanya sebuah tugas untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat publik.

Berbeda dengan ruang privat yang tidak mempunyai tugas untuk memenuhi kebutuhan publik. Keberlangsungannya hanya untuk wilayah privatnya saja. Dan ia pun tidak dituntut secara publik untuk bertindak demi kepentingan umum.

Universitas adalah sebuah produk jadi dari konsep ruang publik. Dan dengan sendirinya, bila sebuah universitas bertindak demi kepentingannya sendiri, maka ia masuk wilayah privat, dan sekaligus menafikan dirinya sebagai pelaku ruang publik. Pengingkaran inilah yang kemudian menghambat proses berdemokrasi dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sekelompok masyarakat yang membutuhkan kebenaran publik demi menuntunnya menuju sebuah kehidupan yang lebih baik.

Kampus Privat

UPH yang menunggangi media massa untuk menciptakan testimoni positif dari masyarakat atas dirinya, menyisakan pertanyaan-pertanyaan kritis, apa media massa masih bekerja untuk kepentingan umum? Apakah media berdiri hanya sebagai komplementer sebuah korporasi untuk mendongkrak laba setinggi-tingginya, dan citra positif sebaik-baiknya? Pada kasus ini tentu saja jawabannya ya. Atau untuk lebih yakin, perlulah kita untuk memeriksa dengan cermat berita mengenai pemeringkatan Perguruan Tinggi ini lewat harian Suara Pembaruan (29/1) yang menulisnya dengan tidak kritis.

Logika ini pun menyeret pada sepotong pertanyaan ironi, apakah universitas (tidak hanya UPH), yang berperan sebagai institusi pendidik masyarakat, masih setia berjalan pada koridor yang diimani? Masih berpihakkah mereka terhadap usaha mencerdakan kehidupan bangsa ketimbang mengepakkan sayap bisnis demi mengeruk keuntungan finansial semata?

Karena apa yang terjadi selama ini, banyak kampus dan juga lembaga pendidikan lainnya, yang hanya disibukkan dengan usaha meningkatkan pemasukan, dibanding meningkatkan mutu pendidikan. Lihat saja institusi pendidikan yang sibuk mengejar target pasarnya dengan mengadakan open house ketimbang
merancang suatu produk inovatif yang berbasis pendidikan. Atau kampus yang sibuk mengganti namanya menjadi bahasa Inggris ketimbang sibuk dalam menyusun program agar mahasiswanya mengoptimalkan fungsi perpustakaan. Bahkan ada kampus yang sibuk memanjakan mahasiswanya dengan berbagai fasilitas yang berorientasi pada gaya hidup (kantin mewah, perpustakaan mewah, penerbitan kartu pintar yang mampu membayar segala jenis keperluan akademik maupun non-akademik) dibanding mendorong mahasiswanya agar sibuk melakukan penelitian.


Atau memang kampus di Indonesia sudah menjadi wilayah privat? Yang kualitas manusia di dalamnya ditentukan oleh selera pemilik modal saat itu. Bukan ditentukan oleh pemenuhan akan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan publik

5 thoughts on “Kampus Privat

  1. Saya titip salam aja buat Pak Willi Toisuta. Orang sevisioner dia kok masih mau-maunya ada di UPH.

  2. memang sulit kalau pendidikan dikaitkan dengan bisnis.. selama bisnis hanya bagian kecil dan hanya menunjang agar terciptanya pendidikan yang murah untuk masyarakatnya sih gpp, tapi kalau justru malah bisnis dan membuat pendidikannya makin mahal itu yang harus dipertanyakan.. hehehe.. kampus kita memang ajaib.. bisa ngalahin UI.huahahaha!!! *tertawa dengan amat sangat terbahak-bahak*yuk cepetan lulus…!! ;p

  3. hmm… sebenernya masyarakat bisa melihat tanpa harus melalui survei2 kok.. hanya mungking survei menjadi salah satu legitimasi ilmiah, jika memang bisa dipertanggungjawabkan metodologinya, jika tidak, justru menunjukkan kekonyolan dan mutu yang sebaliknya.. http://www.ciptatera.blogspot.com

  4. Saya dengar isu ini dari temen yang ngajar di UPH. Aku juga udah lihat majalah keluaran UPH, CampusASIA. Kayak majalah kawasan aja, isinya iklan semua, gak mencerminkan wibawa sebuah jurnal pendidikan. Kasian deh…

  5. Membaca komentar Prof. Priyo bahwa komersialisasi pendidikan di Indonesia menyebabkan pendidikan dikelola oleh para pebisnis dengan image “lifestyle” dan bukan “quality-style” (http://www.its.ac.id/berita.php?nomer=4309) saya jadi berpikir apakah segala sesuatu di Indonesia dinilai dengan uang ya?Memang, untuk mengelola suatu institusi pendidikan yang berkualitas perlu biaya yang tidak sedikit. Dan para pebisnis ini tentu mengejar laba, belum lagi adanya tanggung jawab perusahaan untuk menghasilkan keuntungan optimal bagi para pemegang sahamnya (Friedman Doctrine). Namun adalah sangat konyol bila salah satu cara pengerukan labanya dilakukan dengan cara memutarbalikkan fakta seperti ini. Padahal ada beratus bahkan beribu cara kreatif yang legal dan sesuai etika untuk memasarkan suatu produk, yang dalam kasus ini adalah UPH. Untuk manajemen sekaliber Grup Lippo masa harus sampai buat “berita bohong2an” seperti ini sih ya? Memalukan…Tapi di lain pihak, inilah salah satu contoh pembodohan konsumen Indonesia (atau bodohnya calon konsumen Indonesia). Keburu kepincut dengan gemerlap fasilitas-fasilitas yang katanya dapat membuka jendela masa depan seseorang tanpa melihat lagi aspek2lainnya. Kurang kritis dalam melakukan riset dan percaya saja dengan kata-kata orang yang “sudah punya nama.” Mungkin kembali lagi ke perkataan Prof.Priyo tadi, pendidikan tinggi sudah jadi sekedar lifestyle (saja). Bagaimanapun, bila diambil makna positifnya, fenomena ini seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua dalam menerima suatu informasi, baik mengenai suatu produk atau bukan. Sebab, para pebisnis itu akan terus berdalih bahwa caranya adalah sah-sah saja. Kita sendirilah yang harus pandai memilah-milah tanpa hanya bisa mengkritik dan menghujat ketidakadilan tersebut.Untung gue alumni universitas yang peringkat nomor 1 ya Roy, jadi kebanggaannya sih masi ada hehehehehhee..Mangkanya buru2 de lu lulus, jangan bikin makhluk2 itu pada tambah kaya dengan makin lamanya lo bercokol di kampus “tercinta” itu hehehehehhe (^__^)v

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *