Adakah kesenian tradisi yang masih disisakan dari pembangunan kapitalistik kota Jakarta? Kesenian macam apakah yang bergulat di kota yang penduduknya tiap hari dikepung oleh rupiah dan dikejar oleh kesibukkan yang dibuat-buat? Atau, masih pentingkah membicarakan kearian lokal di Jakarta?
JAKARTA adalah Ibu Kota Republik Indonesia. Selain sebagai Ibu Kota, Jakarta juga merupakan pusat ekonomi, pusat pemerintahan, kota administratif, dan sebagainya, yang secara langsung gelar-gelar tadi akan membunuh fungsi kota itu sendiri. Sebagai kota primadona, kota perdagangan, tentulah bermacam-macam etnis tumpah ruah di Jakarta, berharap menimba rupiah dalam jumlah banyak. Dari beragamanya etnis, suku Betawi merupakan penduduk asli Jakarta, yang dulu bernama Jayakarta, kemudian Batavia.
Identitas suku Betawi tidak akan dibicarakan lebih jauh, karena artikel ini akan lebih membahas mengenai kesenian Betawi, yakni Gambang Kromong. Hanya saja, sebagai catatan kecil, asal-usul suku Betawi masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Perdebatan paling sengit terjadi antara Castels dengan Ridwan Saidi. Saidi membantah dengan keras terhadap pernyataan Castles mengenai asal-usul Betawi yang merupakan keturunan budak.
Gambang Kromong sebagai kesenian tradisi sangat terpinggirkan, persis seperti keberadaan suku Betawi sendiri yang terus terpinggirkan. Penduduk Betawi yang awalnya mendiami kota Jakarta, kini terus menjorok ke pinggiran Jakarta seperti Depok, Tangerang, dan Bekasi. Memang masih ada sebagian orang Betawi yang bermukim di tengah kota Jakarta seperti di Petojo, Kemanggisan, Kampung Sawah, atau Pejagalan, tapi jumlah mereka tidak banyak, dan secara politik kultural, mereka amat lemah.
Selain Gambang Kromong, orang Betawi memiliki beberapa jenis musik lainnya seperti Tanjidor (orkes rakyat Betawi yang menggunakan alat musik barat: piston, trombon, klarinet, bass, dan tambur/genderang), Keroncong Tugu, Gamelan Ajeng (pengaruh kesenian Jawa Barat yang instrumentasinya meliputi: kromong, trompet, gendang, dan terkadang gong), Gamelan Topeng (mengiringi teater topeng dengan instrumentasi: rebab, sepasang gendang, kulenter, kenong berpencon 3, kecrek, kempul, dan gong tahang), Samrah (ensambel musik pengaruh Melayu dengan instrumentasi: harmonium, biola, gitar, tamborin, kadang rebana, dan gendang), Rebana (mengiringi lagu-lagu islami: rebana ketimpring, rebana hadroh, rebana dor, rebana kasidah, rebana maukhid, rebana burdah, dan rebana biang).
Bicara Gambang Kromong tak bisa dipisahkan dari etnis Cina yang ada di Batavia karena kesenian ini hasil dari inkulturasi orang Cina dan Betawi. Pada mulanya, Gambang Kromong adalah sebuah ensambel musik berlaras pentatonis (dalam teori musik barat: la-do-re-mi-sol) yang terdiri dari instrumen gambang, kromong, gendang, krecek, gong, ningnong, terompet cio tauw, theyan, kogahyan, dan sukong. Tapi kini laras dan komposisi instrumennya berkembang seiring permintaan masyarakat pendukungnya. Karena itu muncul istilah Gambang Kromong Modern/Kombinasi untuk membedakannya dengan Gambang Kromong Asli.
Asal-usul Gambang Kromong
Sejarah Gambang Kromong terbentang jauh sejak 250 tahun lalu. Ketika itu, etnis Cina perantauan yang berada di pulau Jawa sangat tertarik dengan gamelan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Bukan saja tertarik, tapi mereka juga turut memainkan gamelan berlaras pelog dan slendro tersebut.
Orang Cina di Batavia pun menyenangi gamelan Jawa, tapi permainan gamelan di Batavia tidak sehalus permainan di Jawa. Orang Cina tidak suka dengan permainan gamelan di Jawa tersebut, sehingga mereka yang membawa alat musik dari tanah asalnya memainkan alat musik Cina. Adalah Yang Khim, instrumen serupa xylofon yang ketika itu dimainkan bersama dengan instrumen lain seperti sukong, hosiang, thehian, kongahian, sambian, soeling, pan, dan ningnong.
Namun ketika itu, Yang Khim sangat jarang ada di Batavia. Orang Cina yang merantau memilih untuk membawa barang yang lebih penting dan lebih berharga. Alhasil, karena tiadanya Yang Khim, orang Cina memakai Gambang, xylofon dengan 18 bilah kayu bernada pentatonis dalam register 3 ½ oktaf, untuk menirukan Yang Khim – tentu saja dengan tangganada yang sudah disesuaikan.
Gambang dengan olahan baru ini (mengadaptasi musik Cina) kemudian dimainkan untuk mengiringi beberapa jenis rebab Cina seperti thehian dan kongahian. Selain itu, diikutsertakan juga alat musik lain seperti soekong, hosiang, gihian, suling, kecrek, dan ningnong.
Ketika Nie Hoe Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia (dengan Gubernur Jendral Van Imhoff 1743-1750), ia membuat sebuah pesta. Untuk menghibur para tamu yang hadir dihadirkanlah orkes gambang yang terdiri dari 5 perangkat orkes gambang, dengan dua perangkat diantaranya dinamai Si Macan dan Si Kumbang,. Perangkat musik gambang ini kemudian diserahkan ke Kapiten Nie Hoe Kong seusai pesta. Ia lalu berinisiatif memakai perangkat tersebut untuk mengiringi rebab cina
Bentuk ensambel seperti ini kemudian bertahan terus hingga pada tahun 1880, ketika seorang kepala kampung Cina di wilayah Pasar Senen bernama Bek Teng Tjoe menunjukkan orkes gambang yang digabung dengan kromong, kempul, gendang, dan gong. Bentuk inilah yang kemudian terus bertahan sampai sekarang dan dimainkan di acara pernikahan, khitanan, tahun baru imlek, atau sembahyang Sejid.
Gambang Kromong merupakan saksi bisu bagaimana sekelompok masyarakat dari etnis yang sangat berbeda bisa menyatu dan menghasilkan sebuah kesenian yang unik dan sangat egaliter. Perbedaan latar belakang asal-usul menjadi hiasan belaka ketika itu dihadapkan pada situasi sulit secara ekonomi, politik, pendidikan, dan kultural. (ROY THANIAGO)
Saya menjawab pertanyaan di awal artikel ini: “Adakah kesenian tradisi yang masih disisakan dari pembangunan kapitalistik kota Jakarta?”
Tentu saja ada, tetapi itu hanyalah kesenian tradisi yang bisa menghasilkan uang bagi senimannya. Bila kesenian tradisi sudah sangat jauh dari agenda menghasilkan uang atau bahasa marketingnya “tidak marketable” lagi, maka kita semua sama-sama tahu bagaimana nasib kesenian tradisi itu.
Salam…
seronok banyak bleh tau.