Apa Kabar Masyarakat Adat?

Ia orang Dayak Punan. Dalam sebuah diskusi informal, lelaki limapuluhan tahun itu bicara, “Kalau hutan habis, apakah saya masih disebut masyarakat adat? Apakah saya masih orang Punan?”
PERTANYAAN itu tiba-tiba menjadi besar dan rumit ketika diucapkannya menjelang perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia (HMAS) yang tepat dirayakan beberapa hari lalu, 9 Agustus 2010. Pun hanya berjarak seminggu dari 17 Agustus, hari kemerdekaan republik ini. Ternyata di usia 65 tahun republik ini masih ada sekelompok masyarakat yang resah pada hak yang paling asasi dalam hidupnya: tanah.
Makna tanah bagi masyarakat adat tidaklah sesederhana bagaimana masyarakat urban memaknai tanah. Kebanyakan masyarakat urban memaknai tanahnya hanya sebagai aset atau dalam tataran fungsional, walau terkadang pemaknaan sebagai sebuah identitas budaya dan rangsangan-rangsangan nostalgik turut membayanginya. Sedang bagi masyarakat adat, makna tanah tidak sekedar untuk dimiliki, tapi juga menyangkut penghayatan hidupnya (2004: Winangun, 73). Segala nilai, identitas, ikatan emosional, dan cara menyatakan diri masyarakat adat sangat ditentukan oleh tanah.
“Jika kami tidak memiliki tanah, maka kami tidak bisa disebut sebaga orang Moi,” ungkap masyarakat adat suku Malamoi, Sorong, Papua Barat dalam memaknai tanah. Buat mereka, tanah adalah perempuan. Menjual tanah sama saja dengan menjual ibu mereka sendiri. Sedang bagi orang Bali, tanah dianggap suci. Persoalan tanah adalah persoalan dengan Sang Ilahi. Atau simak bagaimana ikatan emosional yang sangat kuat antara masyarakat suku Anak Dalam (Jambi) dengan tanah, di mana mereka memiliki tradisi melangun, yakni sebuah ritual meninggalkan tanahnya ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Ritual ini dilakukan untuk mengusir kesedihan karena kenangan akan almarhum/almarhumah, dan dilakukan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tergantung seberapa cepat mereka dapat mengikhlaskan kematian anggota keluarganya.
Data-data tadi ingin menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara masyarakat adat dengan tanah adatnya. Ada sebuah simbiosis yang saling membutuhkan, yang akan menghancurkan keduanya kalau keduanya dipisahkan satu sama lain. Nyatanya, ancaman pemisahan masyarakat adat dengan tanahnya kini masih dan sedang berlangsung, bahkan dilakukan secara sistemik dan struktural oleh negara.
Comotlah contoh dari masyarakat adat Banten Kidul (Lebak-Sukabumi) dan To Kulawi (Palu, Sulawesi Tengah). Kedua kelompok masyarakat ini sebagian tanah adatnya dimasukkan dalam wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Taman Nasional Lore Lindu. Akibatnya, beberapa warganya sempat dipenjara karena mengambil kayu untuk keperluan hidupmya sehari-hari. Padahal, mereka sudah hidup jauh lebih dulu sebelum republik ini berdiri. Ironis: mereka dianggap pencuri di tanahnya sendiri!
Menihilkan perspektif budaya dan keterlibatan masyarakat adat dalam menerapkan kebijakan pemerintah juga punya cerita lain. Dalam hal batas administratif suatu daerah, misalnya, Desa Trusmi, Cirebon, Jawa Barat, punya kisah tersendiri. Pada tahun 1974, desa ini melebihi batas jumlah penduduknya sehingga harus dibagi dua, Desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon. Pembagian wilayah ini menyebabkan makam keramat Buyut Trusmi masuk dalam wilayah Trusmi Wetan, sehingga memberatkan warga Trusmi Kulon karena terpisahkan dari akar sejarah maupun ikatan emosional. Cara negara dengan perspektif geopolitik ternyata tidak selalu sinkron dengan masyarakat adat yang berperspektif geokultural (2000: Endo Suanda dalam Jurnal MSPI “Global-Lokal”, 65).
Masalah pertanahan akan tambah pelik dan mengenaskan jika disertakan pula kasus-kasus di daerah lain yang turut melibatkan aktivitas perkebunan, penebangan hutan, pertambangan, dan lainnya. Banyak dari masyarakat adat yang terpaksa hidup menjadi buruh di atas tanahnya sendiri, dan tidak menikmati keuntungan yang didapatkan para perusahaan yang bermukim di sana.
Bukan hanya itu, kerusakan bumi yang dibicarakan dalam tahun-tahun terakhir ini, justru berdampak paling besar terhadap masyarakat adat. Seperti yang kita ketahui bahwa tanah dan alam telah hidup dengan erat bersama masyarakat adat. Para masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari pemberian alam, otomatis akan menjadi kelompok manusia yang paling terkena dampaknya akibat kerusakan bumi. Sekali lagi ini sebuah ironi, bahwa kerusakan itu justru diakibatkan paling besar oleh mereka di luar masyarakat adat.
Dalam hal seni dan budaya, terampasnya tanah masyarakat adat, diyakini akan turut membunuh kekayaan kesenian dan kebudayaan tradisi yang ada. Kesenian adalah produk budaya yang merespons lingkungan sekitar. Ketika masyarakat adat kehilangan tanahnya, maka kesenian akan terancam keberadaannya. Kesenian pada konteks semulanya itu akan dipaksa dan diseret masuk dalam dimensi ruang yang baru, yang lain dari apa yang selama ini dimaknai dan dirasakan.
Di antara dua peristiwa besar, HMAS dan HUT RI, persoalan masyarakat adat menyempil tidak terteropong dengan luas. Media ramai membicarakan isu yang sangat Jakartasentris atau masalah khas masyarakat perkotaan, mulai dari kemacetan, tabung gas, premium, premanisme, redominasi rupiah, sampai lagu Keong Racun. Sedang mengenai masyarakat adat? Sepi.
Karenanya, tulisan ini ingin mengetengahkan kembali persoalan masyarakat adat yang berada di jalan sunyi ini. Bahwa pemiskinan dan diskriminasi terhadap masyarakat adat tidak boleh alpa dan dianggap biasa dalam kehidupan kita. Bahwa persoalan masyarakat adat yang disepelekan dan disederhanakan – dalam hal ini baru disinggung persoalan tanahnya – berarti mengingkari konsensus bersama tentang ke-Indonesia-an. Ia juga sebuah inkonsistensi atas amanat dalam konstitusi kita UUD 1945, yang tertuang dalam Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (3) tentang masyarakat adat dan hak-haknya.
Kemarin HMAS, besok HUT RI ke-65. Entah, bagaimana kita menjawab pertanyaan lelaki Punan di atas soal hutan dan identitasnya.

2 thoughts on “Apa Kabar Masyarakat Adat?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *