PENGHUJUNG 2015 lalu, Presiden Joko Widodo mengukir rekor baru bidang administrasi pemerintahan. Hanya dalam waktu satu malam, ia membatalkan Peraturan yang dibikin oleh menterinya sendiri Ignasius Jonan. Peraturan yang dibatalkan Jokowi itu adalah tentang larangan beroperasinya Go-Jek dan bisnis semacamnya.
Banyak orang kemudian menjunjung media sosial sebagai alat yang berhasil menekan Jokowi membatalkan peraturan itu. Memang, reaksi negatif terhadap pelarangan tersebut mendominasi pembicaraan di media sosial. Kemudian, baik Go-Jek dan CEO-nya Nadiem Makariem, melalui akun media sosial masing-masing memanfaatkan momen ini untuk mengidentifikasi keputusan pembatalan tersebut sebagai kemenangan “media sosial”, “suara rakyat”, dan “ekonomi kerakyatan”. Dengan gincu nasionalisme, tentu.
Terlepas dari pembajakan definisi ekonomi kerakyatan, ada pertanyaan menarik untuk diketengahkan dari sisi kajian media: apakah benar ini kemenangan media sosial? Bagaimana proses dan formasi yang tersedia dalam kemenangan itu? Lantas, siapa yang dimenangkan?
Telah banyak peristiwa publik mewarnai dan diwarnai di dan oleh media sosial. Elit ekonomi dan politik melakukan jual-beli pengaruh melalui ruang digital ini. Keputusan politik atau kebijakan publik sering bersandar dari sentimen yang muncul dari sini. Proses macam ini menjadi masalah ketika suara media sosial dianggap representatif untuk mewakili seluruh suara publik yang beragam.
Dalam proses tersebut, aspirasi antarkelompok yang bertarung bisa dibaca dengan melihat upaya mereka dalam menunjuk dan mendefinisikan siapa publik dan apa maunya mereka. Memang, mengutip Coleman dan Ross (2010: 3), “penamaan dan pembingkaian mengenai siapa publik adalah aktivitas utama dari demokrasi kontemporer yang termediasi”. Nah, upaya pendefinisian publik inilah yang perlu diperiksa. Karena bagaimanapun juga, publik adalah “produk dari representasi”, yang terbentuk melalui “proses mediasi yang didominasi oleh kekuatan politik, institusional, ekonomi, dan budaya” (ibid, 2010: 3).
Apalagi, kini proses komunikasi semakin termediasi (Livingstone, 2013: 25)—yang membuat media sosial menjadi semakin penting untuk dikaji. Ada kesadaran bahwa sesuatu seolah tiada bila tidak termediasi. Kesadaran digital ini kemudian menunggalkan “yang termediasi” sebagai representasi masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, mereka yang tidak masuk atau berperan minor dalam proses mediasi akan cenderung terpinggirkan.
Sayangnya studi-studi di Indonesia yang ada berhenti pada pembacaan yang merayakan kehadiran media sosial ketimbang upaya menginterogasinya. Saya berpendapat perlu ada lebih banyak bahasan yang memetakan relasi kuasa yang tercipta di dalamnya; hubungan yang kemudian berperan dalam menyeleksi substansi dan pembingkaian sebuah isu. Karena ketika media sosial dijadikan sandaran satu-satuya aspirasi publik keseluruhan, maka beberapa masalah segera mengemuka dengan terang benderang. Tulisan ini ingin menunjukkan persoalan itu, yakni tentang kemenangan kelas menengah di media sosial dan proses pembentukan kekuatan tersebut.
Memindai Media Sosial
Saya hendak memulai dengan pertama-tama memeriksa klaim-klaim yang mengonstruksi pandangan atas media sosial.
Mari berangkat dari glorifikasi orang banyak terhadap media sosial sebagai alat demokrasi yang independen, non-hierarkis, dan desentralis. Media sosial seolah dinubuatkan sebagai anti-tesis dari kebanyakan media korporasi,[1] yang di era Reformasi ini gagal memandu publik terlibat lebih aktif dan berdaulat dalam demokrasi. Benarkah demikian?
Mari kita uji dengan soal klaim independen. Kalau independensi didefinisikan sebagai kemandirian menyusun agenda sendiri dan kemampuan mengelolanya dengan konsisten dan kebal intervensi, maka kita bisa melihat bagaimana media sosial gagal menjalani peran ini. Mudah untuk menunjukkan betapa ketergantungan media sosial dari media arus utama. Agenda pembicaraan di media sosial adalah kepanjangan tangan dari agenda pembicaraan media korporasi. Apa yang dibicarakan orang di media sosial adalah apa yang diberitakan oleh media korporasi.
Memang, dalam beberapa kasus tertentu terdapat beberapa pembicaraan yang diawali di media sosial dan kemudian membesar. Tapi yang tidak bisa dinafikan adalah fakta bahwa isu tersebut hanya menjadi besar setelah diangkat media korporasi. Pun, pembicaraan bisa berbelok mendadak ketika media korporasi mengarusutamakan topik lain.
Artinya, media sosial bukan saja gagal memiliki agendanya sendiri sebab agendanya ditentukan oleh media korporasi, melainkan juga gagal dalam menjaga ritmenya sendiri. Merlyna Lim menyebut media sosial tertanam dalam sistem kontrol, kekuasaan, dan dominasi media yang lebih besar (2013). Dengan kata lain, pengguna media sosial yang seolah berkuasa itu sebenarnya lebih sering serupa dengan anak kecil yang jenis mainan dan waktu memainkannya dipilihkan dan diganti secara berkala oleh pengasuhnya.
Hal lain, banyak orang beranggapan bahwa media sosial lebih bersifat non-hierarkis karena adanya kesejajaran dalam memproduksi, mendistribusi, dan berinteraksi antar-aktor komunikasi. Anggapan demikian mesti ditunda sebelum memeriksa bagaimana kekuasaan (power) memainkan perannya dalam medan tersebut. Nyatanya, patronisme masih berlaku, misalnya, di mana para pesohor digital memiliki pengaruh jauh lebih besar daripada penduduk digital[2] biasa dalam melancarkan sebuah isu. Malah—walau tidak selalu—kesahihan atau tingkat kepercayaan orang terhadap sebuah informasi tergantung dari “derajat selebritas” mereka yang menyebarkan informasi. Kacaunya, ukuran ini juga sering dipakai wartawan dalam memproduksi berita.
Begitupun soal desentralisasi. Apakah Jakarta dan kota-kota besar lainnya masih mendominasi apa yang layak dibicarakan di media sosial? Seberapa besar peluang penduduk digital non-urban di luar kota besar dalam mengadvokasi isunya sendiri? Tentu, ada persoalan infrastruktur Internet yang tak merata sebagai penyebab ketimpangan peluang. Tapi perlu dicatat pula aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang berada di tepian diskursus “nasional”, yang sedari lama dipinggirkan karena isunya tak pernah dianggap relevan. Sebab sejatinya struktur sosial di media sosial merupakan pantulan struktur sosial sesungguhnya.
Kelemahan-kekurangan yang ada tersebut bisa dibaca sebagai berikut. Pertama, bahwa kehadiran media sosial tidaklah otomotatis membawa perubahan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang berada dalam lapisan terbawah dan jarang memiliki ruang untuk menyuarakan pendapatnya. Kedua, bahwa media sosial punya bias karena ia tidak pernah menjadi medium yang netral, melainkan selalu menjadi medan pertempuran antarkelompok yang saling memperebutkan makna dan kekuasaan. Ketiga, bahwa penduduk digital tidak sepenuhnya berdaulat atau bahkan tidak menyadari bahwa kesadaran dan tindakan yang mereka lakukan sebagai radiasi dari kerja media korporasi.
Memang data keras dibutuhkan untuk membuktikan sanggahan-sangahan tadi. Tapi kalau terbukti demikian, maka penting untuk memeriksa peran dan keterhubungan antar-aktor komunikasi di dalam perbincangan publik yang ada, yang umumnya didominasi oleh para elite seperti pejabat, politikus, pemilik media, wartawan, aktivis, hingga selebritas di media sosial. Soal inilah yang perlu digali lebih jauh dalam studi-studi media baru, seharusnya. Namun dalam kesempatan ini saya ingin menyederhanakan pembahasan dengan menyempitkannya pada hubungan antara pengaruh media korporasi dalam membentuk watak media sosial.
Saya punya asumsi yang mesti dibuktikan lebih lanjut, yakni bahwa media korporasi tetap merupakan aktor utama dalam menyodorkan agenda pembicaraan publik. Seberapa fundamentalisnya seseorang mengelu-elukan media sosial, kekuatan media korporasilah yang mengarusutamakan dan meminggirkan sebuah pembicaraan. Dalam etos kerja yang celakanya hanya bersandar pada logika pasar, media korporasi tentu punya pembayangan kepada siapa kerja-kerja mereka utamanya ditujukan, dan ini berujung pada pertanyaan tentang siapa yang dilayani. Dengan mengetahui hal tersebut kita bisa mendapat pemahaman lebih terang mengenai beragam sentimen yang mewarnai media sosial, termasuk pada kasus Go-Jek.
Yang Dilayani Media Korporasi
Beberapa peristiwa berikut bisa memberikan gambaran tentang siapa yang dilayani oleh media korporasi.
Kunto Adi Wibowo, mahasiswa doktoral di Wayne State University, Amerika Serikat, pada suatu waktu menyampaikan pengamatannya atas kejadian meletusnya Gunung Kelud di Kediri pada 2014. Dia berpendapat bahwa media lebih mengarusutamakan pemberitaan mengenai jasa penerbangan yang terganggu dan membatalkan perjalanan banyak orang ketimbag pemberitaan atas korban bencana, kesigapan pemerintah, atau pemantauan distribusi bantuan. Dalam konteks ini, media lebih melayani pengguna jasa penerbangan ketimbang warga di sekitaran Gunung Kelud. Pertanyaan yang dapat ditarik dari sini adalah, gangguan terhadap perjalanan udara merupakan aspirasi kelompok yang mana?
Pemberitaan buruh adalah contoh lain tentang bagaimana media lebih fokus pada aspirasi di luar subjek pemberitaan (buruh). Alih-alih memberikan ruang untuk memahami masalah dan tuntutan buruh, media lebih fokus mengangkat kemacetan dan sampah yang dihasilkan dari aksi buruh. Media juga senang bermain-main dengan bahasa yang hiperbolis sehingga tuntutan buruh menjadi sekadar bahan lelucon di media sosial. Dengan aksentuasi pada soal-soal tersebut, aspirasi kelompok manakah yang sedang disuarakan? Mengapa kemacetan yang diakibatkan konser di Gelora Bung Karno atau penutupan jalan akibat lari maraton, misalnya, punya nada pemberitaan yang berbeda? Simaklah berita yang menggambarkan kemacetan akibat konser Bon Jovi ini, diiringi dengan caption “masyarakat begitu antusias…”.
Contoh lain adalah ketika musim mudik lebaran tiba. Salah satu rutinitas media pada umumnya adalah dengan memberitakan kerepotan warga kelas menengah Jakarta yang ditinggal mudik pekerja rumah tangga (PRT) berikut tips-tips mengatasinya. Coba bandingkan dengan jumlah berita yang mendiskusikan mengenai hak libur PRT atau pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), misalnya. Akhirnya, pertanyaan di atas perlu dimunculkan kembali: aspirasi kelompok manakah yang dilayani media?
Hambatan jasa penerbangan, ketertiban jalanan Jakarta, menertawakan aspirasi buruh, antusiasme menonton konser, hingga beban pikiran kala ditinggal PRT mudik tentu adalah aspirasi kelas menengah. Pertanyaan yang sama dapat dirumuskan ketika terjadi pelarangan Go-Jek untuk beroperasi, aspirasi siapa yang terganggu? Kita semua paham bahwa isu tersebut merepresentasikan kelompok masyarakat yang bisa mengakses layanan Go-Jek, yaitu para pengguna ponsel pintar, mereka yang daya mobilitas personalnya tinggi, serta para pengguna transportasi publik yang selalu punya kemampuan ekonomi untuk mengambil pilihan lain ketika transportasi publik yang murah seperti kereta dan Metromini tidak berfungsi.
Dalam memberitakan pelarangan Go-Jek, terlihat dengan jelas bahwa media lagi-lagi sedang melayani aspirasi kelas menengah perkotaan. Media memberikan dukungan moral kepada Go-Jek secara positif. Mulai dari pemberitaan yang mengantagoniskan Jonan dengan meminta pendapat Ridwan Kamil, mengutip Jokowi yang mengatakan “jangan mematikan inovasi”, sampai berita “Kabar Gembira! Menhub Jonan Cabut Larangan…”. Pertanyaannya: kabar gembira buat siapa? Kabar gembira ini aspirasi siapa?
Secara kontras, mari bandingkan dengan pemberitaan Detik.com mengenai aksi mogok awak Metromini yang terjadi pada saat yang bersamaan. Kalau pelarangan Go-Jek dibingkai pada kekhawatiran terampasnya kenyamanan, maka pemberitaan mogoknya supir Metromini dianggap angin lalu, yang seolah tidak mengganggu aspirasi siapapun: “Bagaimana Hari Anda dengan Metromini Mogok Pagi Hingga Siang Ini, Terganggu?”, “Metromini di Blok M Mogok, Penumpang Tidak Peduli”, “Penumpang Cuek Operator Metromini Mogok Massal: Nggak Ngaruh!”, hingga pemberitaan bernada nyinyir lewat “Mungkin Ikuti #Savegojek, Supir Metromini Gelar #SaveMetromini di Blok M”.
Tentu mogoknya Metromini tidak mengganggu aspirasi kelas menengah yang punya pilihan mengakses beragam moda transportasi. Tapi ini jelas menganggu kelompok masyarakat yang punya pilihan terbatas. Namun, seolah tak menghiraukan aspirasi publik yang beragam, Detik.com menunggalkan representasi suara publik dengan hanya mengandalkan sumbernya dari survei Twitter atau pendapat warga yang bisa mengakses layanan ojek daring, yang tentunya berpendapat bahwa mogoknya Metromini tidak berpengaruh terhadap hidup mereka. Pengelolaan Metromini memang bermasalah dan penuh dibenahi. Tapi mogoknya mereka tidak bisa dibilang tidak berpengaruh pada siapapun!
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam beberapa peristiwa, media korporasi dan wartawan kerap mewakili aspirasi kelas menengah. Mereka gagal menjadi institusi dan profesi yang mewakili dan menyerap aspirasi yang beragam dari berbagai kelompok dan jenis kepentingan. Padahal, mengutip Kovach (2007), loyalitas wartawan adalah kepada warga, bukan semata kepada warga kelas menengah.
Bila kritik pada media tradisional kerap dialamatkan pada kegagalannya merepresentasikan “yang lain”, maka dalam konteks budaya digital, media malah melangkah lebih teruk: pengabaian, menganggap “yang lain” tidak ada. Memang media korporasi memiliki keterbatasan yang tidak memungkinkannya mampu melayani aspirasi segala kelompok. Namun keterbatasan yang dipilih tersebut bisa dilihat sebagai manifestasi keberpihakan media.
Itulah mengapa saya berpendapat, bahwa kerja media korporasi semacam itulah yang membentuk watak media sosial dan penduduknya. Dukungan publik yang masif terhadap Prita Mulyasari (#KoinPrita) dan lesunya dukungan pada kasus Lapindo—sebagaimana ilustrasi yang dicatat oleh Lim (2013)—misalnya, bukan saja memperlihatkan kedua contoh tersebut sebagai ekspresi penduduk digital mendefinisikan “sesamanya” (seorang ibu dipidana karena mengeluhkan layanan rumah sakit berbayar adalah aspirasi yang bisa dialami kelas menengah perkotaan manapun) dan “bukan sesamanya” (petani di perdesaan yang lingkungannya ditenggelamkan lumpur bukan ancaman nyata dan rutin yang menghantui kelas menengah perkotaan), tapi juga sebagai hasil dari kerja media korporasi yang memberi aksentuasi kepada “yang kami” dan menganaktirikan yang “bukan kami”. Situs Change.org, sebagai contoh yang lain, juga menyediakan data yang kaya untuk melihat sentimen dukungan penduduk digital kepada apa yang didefinisikan sebagai “kami” dan “bukan kami” atau isu “kami” dan “mereka”.
Begitu berpengaruhnya media korporasi dalam mengoridori pembicaraan dan sentimen di media sosial, karena itu sebenarnya terlalu dini untuk melemparkan sinisme semata kepada kelas menengah—kelas yang kesadaran politiknya dijinakkan selama tiga dekade berkuasanya Orde Baru. Luputnya melihat media korporasi sebagai aktor utama, membuat kita sering dan akan terus gagal melihat persoalan ini secara struktural. Pengabaian masalah struktural inilah yang kemudian melahirkan kelas menengah yang juga abai pada persoalan struktural pula. Ini tercermin dalam ekspresi pembelaan fanatik terhadap Go-Jek, namun luput mempersoalkan kelalaian pemerintah dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan transportasi publik, seperti amanat UU No. 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Jadi, kemenangan siapakah pelarangan Go-Jek?***
Diterbitkan di IndoPROGRESS, 4 Januari 2016
———-
[1] Meniru gerakan di barat dalam mengkritik media, dalam tulisan ini saya akan memakai istilah “media korporasi” untuk menggantikan “media massa” atau “media arus utama” sebagai cara untuk mencirikannya dengan tepat dengan asosiasi peyoratif: media yang dibiayai dan dikontrol oleh perusahaan dan pemiliknya
[2] Penggunaan istilah “penduduk digital” dipakai di sini untuk memberikan kualitas demografis ketimbang kualitas politis seperti yang melekat dalam istilah “warga digital” atau “netizen”—yang mana pemakaian istilah ini perlu diperiksa dan disoal.
Kepustakaan:
Coleman, Stephen & Ross, Karen. 2010. The Media and The Public: “Them” and “Us” in Media Discourse. Wiley-Blackel.
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2006. 9 Elemen Jurnalisme. Pantau: Jakarta.
Lim, Merlyna. 2013. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia.
Journal of Contemporary Asia, 2013 Vol. 43, No. 4, 636–657.
Livingstone, Sonia. 2013. The Participation Paradigm in Audience Research. The Communication Review, 16:1-2, 21-30.