Jelajah Nada Ferre Bersaudara

Pada mulanya adalah sepi. Kemudian datang bunyi menggulung sepi itu dalam gelap.

ITULAH sepenggal nuansa yang terjadi di Gedung Kesenian Jakarta pada 3 Juni 2008. Nuansa itulah yang mengawali pertunjukkan musik Freres Ferre. Panggung yang awalnya gelap dan kosong, sunyi dan sepi, diusir oleh permainan gitar akustik milik dua kakak beradik itu, Boulou dan Elios. Dan mereka menghantam malam dengan musik yang mereka namakan gitar gipsi.

Sederhana dan santun. Kesan semacam itulah yang tertangkap dari permainan mereka berdua. Dengan santai dan tidak banyak basa-basi, Boulou, sang kakak, membiarkan penonton mencicipi permainan solo gitarnya untuk mengawali pembukaan. Kemudian denting gitar dari Elios menyusup dan terjalinlah dialog musikal yang manis di atas panggung.

Mendengar musik mereka berdua, kita semua akan sepakat untuk mengasosiakannya dengan musik jazz, bukan gipsi – seperti apa yang mereka akui. Pasalnya, segala syarat sebagai musik jazz – sinkopasi, improvisasi, blue note, swing­ – amat dipenuhi oleh mereka berdua. Mungkin label gipsi mereka usung sebagai gambaran akan musik mereka yang doyan menjelajah, menjajal kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakoni. Persis seperi ruh kaum gipsi di Eropa yang nomaden dan karenanya menempa hidup lebih keras dari masyarakat kebanyakan.

Kaum Gipsi adalah sebuah kelompok masyarakat yang sudah ada sejak lama di Eropa. Mereka hidup tidak menetap dan senang berpetualang. Nasib mereka yang mengalami banyak penolakan di sana-sini, membuat budaya mereka bertumbuh dalam pembauran budaya lokal setempat yang mereka singgahi. Sebagai kaum pinggiran, bahkan pernah diperbudak, kesenian mereka berkembang sebagai sebuah ekspresi kepedihan.

Freres Ferre mungkin mencoba mengolah persepsi gipsi sebagai kembara lewat musik yang mereka mainkan. Maka mereka sering mencampuradukkan berbagai gaya dan elemen musik. Misalnya, di lagu pertama ketika sedang berimprovisasi, Boulou memasukkan berbagai penggalan karya musik dunia seperti Simfoni No. 40­ milik Mozart, Asturias milik Isaac Albeniz, gaya-gaya virtuoso Fransisco Tarrega, sampai tema dari karya Gershwin yang populer, Rhapsody in Blue. Penjelajahan lain bisa kita lihat dari lagu yang lain, bagaimana Elios beberapa kali memakai tangga nada diminished dan blues ketika berimprovisasi.

Lain hal, di entah lagu yang keberapa – karena fungsi buku program acara tidak dipakai dengan semestinya, yakni memberi keterangan mengenai karya yang dibawakan – mereka berdua memainkan musik ala flamenco tradisional yang disisipi beberapa unsur modern. Sesekali di tengah improvisasi, Boulou bersorak, meneriaki diri atau lawan mainnya, persis seperti yang dilakukan musisi flamenco tradisional yang mengiringi penari.

Tapi selain itu, musik yang mereka bawakan tidaklah menawarkan sesuatu yang khas (kalau tidak mengatakan baru). Banyak sekali musisi jazz, bahkan dari Indonesia, yang mampu bermain seperti mereka, bahkan lebih baik secara teknik. Kedua musisi kakak beradik ini sering kali ‘terpeleset’ ketika sedang menunjukkan kebolehan. Kecepatan jari mereka tidak diimbangi dengan kesempurnaan produksi suara yang jernih, bersih, dan presisi. Padu padan suara gitar mereka berdua pun tidak akur. Gitar Boulou lebih melankolis, sedang Elios sangat lantang (karena penggunaan pick), tidak peduli bagaimana suasana lagunya.

Bagaimanapun, usaha Freres Ferre yang bermain dalam rangka Festival Seni Budaya Prancis ini patut mendapat apresiasi yang tinggi. Dengan tulusnya, musisi gaek ini menawarkan persahabatan yang hangat lewat misi kesenian mereka. Di akhir konser, musisi yang pernah meraih penghargaan Django d’Or pada tahun 2006 ini, membawakan satu karya yang manis, yang menutup malam itu dengan anggun. Sehingga setelahnya, panggung kembali sepi, disusupi malam yang dingin dan bisu.

Dimuat di KoKi (Kompas Kita)

2 thoughts on “Jelajah Nada Ferre Bersaudara

  1. Hello Roy, seneng udh bisa mampir kesini, mbaca music reviewnya, biar gak kehilangan rasa seni – thumbs up!

  2. Thanx, atas komenmu di blogku. Ya, kita sama2 msh blajar lah. Spt kata Ahmad Wahib, “Aku bukan aku, tapi meng-aku”. Tetap menulis !!!Btw, kok susah utk ngasi komen di comment-box mu ya ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *