Avip Potter

Avip Priatna bukanlah Harry Potter. Tapi dari kedua tangannya tahulah kita bahwa ia sama seperti Potter, bisa menyihir.

KEDUA tangan – tanpa baton – itulah yang mengkomando sekelompok paduan suara dan orkes kamar untuk mengalunkan musik, yang kemudian dari sinilah kita mahfum, sihir apa yang dimaksud. Ya, lewat ujung-ujung jarinya itulah, bala pasukan musik di depannya patuh untuk mengikuti apa maunya. Kadang bersorak riang, kadang mengalun syhadu, atau meratap penuh ampun. Ingat, hanya dua tangan. Di sinilah magisnya.

Berbekal pengalamannya yang segudang di bidang direksi musik dan olah vokal, Avip Priatna menuntun kelompok paduan suara Universitas Parahyangan (Unpar) dan Jakarta Chamber Orchestra (JCO) untuk menerjemahkan musik yang lebih akrab sebagai sesuatu yang sakral menjadi lebih dinamis dan menghibur. Semangat itu kiranya yang coba diusung mereka dalam konser amal bertajuk Swing in Soul pada 6 Juni lalu di Balai Kartini, Jakarta.

Sebagai penampilan pembuka, karya komponis Amerika, Steve Dobrogosz (1956), berjudul Mass dibawakan dengan kurang teliti. Sekilas, karya yang ditulis tahun 1992 ini terdengar berat dan malu-malu. Paduan suara tampak masih enggan untuk melepaskan beban yang mereka pikul. Mereka bernyanyi dengan tidak lepas.

Kelompok soprano bermasalah pada artikulasi dan dinamika mereka. Hal ini amat terdengar ketika mereka sering menjatuhkan not dengan tidak seragam satu sama lain. Belum lagi volume mereka yang terdengar samar karena dimakan bass dan tenor. Entah, apa Avip menyadarinya dan kemudian mengarahkan untuk menyeimbangkan suara.

Karya ini sendiri adalah sebuah karya yang dibuat untuk melayani kebutuhan ibadah umat Katolik. Keenam bagiannya – Introitus, Kyrie, Gloria, Credo, Sanctus, Agnus Dei – adalah urutan dalam sebuah misa (upacara ibadat). Nuansa Jazz yang dijanjikan pada konser ini belum terdengar utuh. Hanya pada bagian Agnus Dei – yang berarti Anak Domba Allah – dengan permainan walking bass pada contrabass, nuansa Jazz baru sedikit terasa. Walau pada bagian-bagian sebelumnya, sebenarnya sudah ada usaha memberi warna jazzy lewat permainan piano Alpin Limandau dan harmoni yang dipakai.

Agak sulit menikmati karya pertama ini. Pertama karena memang banyak kekurangan secara teknis di sana-sini seperti nada sesi gesek yang sering fals ketika bermain dalam dinamika piano. Kedua, yang paling menggangu, adalah ketidaktegasan panitia dalam ‘mendidik’ penonton. Tiap satu bagian selesai dimainkan, berbondong-bondong penonton yang telat masuk dengan tidak tertib dan membuat kegaduhan. Bahkan pada bagian-bagian lain, penonton bisa dengan asik berjalan-jalan sementara para interpreter berusaha melawan gaduh di atas panggung.

Konser yang diselenggarakan oleh Rumah Kita, sebuah unit kegiatan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), yang memusatkan diri dalam membantu para perempuan dan anak korban kekerasan ini, menyajikan pameran lukisan ketika istirahat. Lukisan yang terjual, dananya dipakai untuk membiayai usaha mulia mereka ini.

Setelahnya, penonton kembali diajak bertekun untuk mendengar sajian musik berikutnya yang berjudul Magnificiat. Didaulatlah Fitri Muliati, soprano, dan Farman Purnama, tenor, sebagai solois. Dengan tambahan kibor, drum dengan tabuhan brush stick, dan saksofon sopran, babak kedua ini seperti membayar keragu-raguan di babak pertama. Nuansa jazzy terdengar amat manis menyelimuti karya yang biasanya haram dimainkan di luar pakem tata liturgi.

Paduan suara pun terdengar, juga terlihat, lebih rileks. Suaranya tidak lagi tertawan tapi bersorak mantap. Sopran yang sejak tadi terdengar samar, tampaknya mulai unjuk gigi setelah terlihat bahwa mic untuk mereka didekatkan posisinya. Apalagi kedua solois pun mampu membawakan lagu dengan rasa yang baru. Secara tekstur terdengar klasik dan akademis, tapi tidak secara rasa. Dua kubu sakral dan jazz dikawinkan dengan sempurna.

Karya ini diciptakan oleh seorang musisi yang dikenal sebagai virtuoso permainan tuba. Bahkan ada yang menjulukinya ‘Mozart-nya tuba’. Kejeniusan dan kedalaman musikalitasnya mengantarkan dia pada tantangan baru: menjadi komponis. Komponis muda Hungaria ini bernama Roland Szentpali.

Lewat karya Szentpali ini, babak kedua disajikan dengan amat menghibur. Sehingga kedua tangan Avip bukan saja menyihir bala pasukan musiknya, tapi juga menyihir penonton untuk tersenyum, menghentakkan kaki dan kepala mengikuti irama musik. Kedua tangan itu pula yang menyihir seisi ruangan untuk menghadiahkan tepuk tangan panjang yang dibalas olehnya dengan memberi beberapa encore yang tak kalah manis. Ah, dasar Avip Potter!

One thought on “Avip Potter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *