Catatan mengenang yang pergi
Andrean Jimmy (5 Agustus 1994-27 September 2010)
Pesan itu hanya sepotong: Andre sudah jalan. Petronella Kusumah, sang pengirim pesan, menjawab saya di ujung telepon, yang mencipta gigil, “Andre sudah gakpapa, Andre sudah gak sakit.” Pukul 00.31, malam sudah larut, dan akan semakin larut.
SENIN, 27 September 2010. Saya masih berharap datang untuk melihatnya terbaring gelisah di atas ranjang rumah sakit, seperti dua hari lalu. Meyaksikannya membuang cairan lambungnya lewat hidung. Mendengarkan keluhan mualnya. Menatap matanya yang bundar. Mata yang seakan menyimpan sesuatu yang saya tidak pernah tahu.
Namun itu semua tidak saya temukan hari ini. Ia tidak lagi mengeluh pegal karena terlalu lama berbaring. Ia tidak lagi menyuruh saya makan donat atau minum. Ia hanya tidur. Tidur yang tidak kita tahu sampai kapan. Sepikah di sana, Ndre?
***
Andrean Jimmy, hidupnya harus selesai di usia ke-16. Saya tidak ingat persis mulai kapan mengenalnya. Mungkin sekitar 7 tahun lalu, ketika ia masih seorang bocah 9 tahunan yang ingin bertugas sebagai Misdinar di Paroki Kemakmuran, Jakarta Pusat. Misdinar atau Putera Altar adalah kelompok pemuda yang membantu tugas pastor dalam ibadat umat Katolik. Saya pernah mengepalai Putera Altar selama dua tahun, 2003-2005.
Memori di kepala saya hanya menyimpan sosok Andre yang periang. Seperti anak seusianya, Andre cukup nakal dan sering membuat saya kerepotan. Tapi pada situasi berbeda, ia bisa sangat manja dan selalu minta diperhatikan. Tak jarang saya harus memangkunya dan merangkulnya. Saat seperti itulah Andre tampak sangat manis. Namun tidak ada yang tahu, di balik sosoknya yang periang dan enerjik, sebuah penyakit bernama kanker bersemayam.
Menjelang Natal 2009, awalnya adalah typhus. Belakangan hasil medis menyatakan ada tumor di otak kecil Andre. Setelah operasi pemasangan selang dilakukan, tumornya mengecil. Namun ia harus melakukan radiasi untuk menghancurkan sisa tumornya tersebut. Tujuhbelas kali ia melakukan radiasi yang perkalinya dipatok tarif 1,5 juta. Dengan ditambah biaya laser yang menghabiskan biaya 45 juta, semua tahu, keluarga Andre akan membutuhkan dana lebih besar lagi.
“Bagaimana dengan pembiayaan Andre?,” tanya saya kepada Petronella, kakak perempuan Andre, ketika saya menjenguk sehari sebelum Andre berpulang. “Ya gitulah…,” jawabnya, “…kemarin nyokap coba masukin di Tzu Chi,” lanjutnya. Peristiwa ini pasti berat sekali buat mereka sekeluarga. Saya menghubungi majalah Hidup untuk diberikan halaman menulis feature tentang Andre. Harapannya, tentu saja agar mengalir banyak bantuan dari seluruh Indonesia – mengingat luasnya distribusi majalah rohani satu ini. Namun sayang, saya kalah cepat. Andre berpulang di kala saya belum mulai menulis. Saya dibuat sedikit merasa tidak berguna karenanya.
Saya sempat bertemu Andre di rumahnya beberapa bulan yang lalu, ketika ia baru keluar dari rumah sakit, menjalani proses pemulihannya. Saya terkesiap melihat kondisinya yang jauh berubah. Tapi saya jauh lebih terkesiap ketika menemuinya sehari sebelum ia meninggal. Kerongkongan rasanya kering. Dan bibir kehilangan kata. Saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat. Ia begitu kurus dengan perutnya yang begitu besar. Ia kerap mengeluh mual, ditambah kesulitan untuk tidur. Pasti kau tersiksa sekali, Dre, bisik sayadalam hati.
Matanya adalah satu-satunya hal yang menghibur. Mata itu tetap bundar, tetap berbinar, tetap menyimpan suatu pertanyaan yang saya tidak pernah tahu bunyinya. Sambil menggenggam tangannya yang kurus, saya bicara kepadanya, bahkan saya berjanji datang kembali esoknya. Namun saya ingkar. Flu beberapa hari ini menunda niat saya.
***
Ingatan saya melayang ke beberapa tahun silam. Rasanya baru kemarin ketika saya memarahinya karena tidak disiplin dalam bertugas Misdinar. Rasanya baru kemarin ketika kami sama-sama tenggelam dalam kebersamaan. Rasanya baru kemarin saya mencubit pipinya yang menggemaskan dan bicara tentang kesenangan, hanya kesenangan. Dan rasanya baru kemarin ketika ibunya memarahi saya karena dianggap terlalu keras menasehati Andre.
Saya memang tidak ada ketika Andre memasuki masa remajanya. Pernah suatu kali, setelah bertahun-tahun saya tak muncul, ia menanyakan kabar ketika kami bertemu di halaman gereja, dan hanya saya tanggapi dengan tidak serius, karena menganggap ia anak kecil. Saya alpa, ia sudah bukan bocah lagi.
Kita selalu terlambat menyadari apa yang kita miliki. Setelah sesuatu hilang, kita baru menyadari dengan apa yang kita miliki. Begitupun Andre. Kepergiannya menyadarkan saya, bahwa saya memilikinya, dan ia pun memiliki saya.
Andrean Jimmy, ia tidak akan terkenang sebagai sebuah nama semata. Sosoknya akan terus hidup dalam ingatan saya. Ia akan terbang dan selalu hinggap kembali pada ingatan. Di perhentian berikutnya kelak, nyanyinya akan selalu merdu, karena begitulah ingatan saya berkata tentangnya.
Setengah tahun lebih ia bertempur dengan penyakitnya. Apakah kematian menandakan kekalahannya? Buat saya, ia tidak kalah. Ia hanya lebih cepat dari kita. Sayangnya, ia terlalu cepat, sangat cepat.
Petojo, 28 September 2010
Turut berduka cita yang mendalam buat Andre. Semoga Andre diterima di sisiNya. Terima kasih buat setiap pelayanan yang sudah diberikan Andre selama hidupnya. Semoga tante Maria dan Nella juga diberi kekuatan.
selamat jalan Dre…
sekarang lo ga merasa kesakitan lagi dan bisa tenang di sisi Nya.
Rencana Tuhan pasti baik adanya…
Rest In Peace Andrean Jimmy..
deep condolence,
G-Land, 28 Sept 2010
Selamat jalan adikku andre..
Sembuh sudah sakitmu..bahagia pasti kamu bersamaNYA. Terima kasih untuk banyak kenangan yang kamu berikan ketika kamu masih ada diantara kami.
Yesus sudah membuktikan bahwa Dia sungguh mengasihimu. Engkau tidak perlu ragu. Yesus berkata,”biarkan anak2 datang kepadaKu”.
Sambut Dia, Ndre, datang dan peluk Dia. Selamat berbahagia Ndre, selamat bangkit kembali…
Selamat jalan Andre. Engkau memang “berlari” terlalu cepat menggapai kebahagiaan abadi itu. Roy, sebuah tulisan yang sangat menyentuh. Membuatku terharu. Saya jadi ingat juga dengan sosok Maskun. Ya, kamu pasti pernah membacanya. Dia ada di sini: http://www.katakataku.com/2009/08/18/apakah-aku-turut-membunuhnya/ SELAMAT JALAN ANDRE!