Membicarakan Industri Musik

Nada-nada yang minor
Lagu perselingkuhan
Atas nama pasar semuanya begitu klise

Lagu cinta melulu
Kita memang benar-benar Melayu
Suka mendayu-dayu

(Cinta Melulu – Efek Rumah Kaca)



Misalkan televisi di rumah kita matikan, juga radio. Dijamin telinga Anda tetap tidak akan bebas dari kepungan bunyi musik. Karena ada yang tidak diam: pengamen di kereta, pemutar musik milik tetangga, nada sambung di ponsel kolega, sampai anak-anak di mulut gang yang bernyanyi sambil berlarian. Mereka tampak kompak dalam menyanyikan lagu bertema cinta.
CINTA MELULU, begitu Efek Rumah Kaca, band asal Jakarta, merespon kondisi industri musik di Indonesia yang seragam – padahal masyarakatnya beragam – menggarap tema percintaan atau perselingkuhan dalam lagu-lagunya.
Pun kondisi serupa pernah dialami industri musik kita pada periode lain. Misalnya di pertengahan 1970-an, Rinto Harahap sangat berkibar sebagai pencipta lagu bertema cinta seperti Benci Tapi Rindu, Kaulah Segalanya, dan Aku Ingin Cinta Yang Nyata. Atau Pance Pondaag lewat lagu-lagunya seperti Tak Ingin Sendiri dan Engkau Segalanya Bagiku.
Lalu, kalau berdirinya perusahaan rekaman seperti Lokananta, Remaco, dan Irama di tahun 1950-an diletakkan sebagai penanda dimulainya industri musik di tanah air, artinya sudah lebih dari setengah abad usia industri musik di Indonesia. Namun, apakah kalangan industri musik – pemusik, pencipta lagu, produser, perusahaan rekaman, media massa – belajar dari rentang waktu yang tidak sebentar ini?
Dengan munculnya lagu Cinta Melulu dari Efek Rumah Kaca, rasanya tidak. Mayoritas dari mereka, kalangan industri musik, tidak cukup belajar mengenai kesejarahan, untuk melihat capaian-capaian bermusik apa saja yang sudah dilakukan di masa lampau. Mereka tidak cukup paham untuk melihat musik bukan semata-mata sebagai komoditas layaknya cengkeh, timah, atau bawang merah. Akhirnya, beginilah nasib industri musik di Indonesia: genit, mengambang, dan tidak kontekstual dengan keadaan sosio-kultural masyarakat yang mengelilinginya.
Kurang lebih luapan macam tadi yang keluar seusai membaca habis buku karangan Muhammad Mulyadi, Industri Musik Indonesia: Suatu Sejarah. Buku yang merupakan tesis pascasarjana Program Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini berisikan fakta-fakta historis industri musik di Indonesia antara tahun 1960-1990. Fakta yang kalau dibandingkan dengan situasi sekarang, menunjukkan bahwa perkembangan industri musik di Indonesia hanya maju-mundur, namun sering kali hanya jalan di tempat, bahkan mengulangi kebodohan dan keteledoran.
Penulisnya, Muhammad Mulyadi, adalah seorang pengajar di Universitas Padjadjaran, Bandung. Dengan kekayaan data yang sebagian besar dikumpulkan dari berbagai artikel di media massa, ia membeberkan detil-detil peristiwa dan konteks di mana musik sebagai industri berjalan beriringan dengan situasi ekonomi-politik yang bersinggungan dengan unsur-unsur lain seperti konsumen, teknologi, media massa, dan pelaku industri musik (produser, promotor, pencipta lagu, dan penyanyi).
Kajiannya ini hanya dibatasi pada wilayah musik berjenis Pop, Rock, dan Jazz, karena ketiganya dianggap mempunyai dinamika tinggi dalam konstelasi politik, ekonomi, dan perkembangan teknologi. Sedang musik Dangdut, walau ia akui memiliki dinamika yang sama, tapi Dangdut memiliki aspek-aspek khusus yang membutuhkan penelitian tersendiri.
Secara garis besar, buku ini membicarakan persoalan industri musik di Indonesia dalam tiga hal besar, yang dituangkan dalam tiga bab, yakni kondisi menuju pertumbuhan industri musik, industri musik panggung, dan industri rekaman.
Pada bab pertama, Mulyadi mencatatkan beberapa unsur yang mengkondisikan pertumbuhan industri musik. Digambarkan bagaimana musik sebagai industri pada masa Orde Lama mengalami nasib yang sulit. Lewat pidato Soekarno pada 17 Agustus 1959, Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang menyerukan sikap melindungi kebudayaan nasional dari pengaruh asing, melahirkan kebijakan anti barat yang begitu ketat. Dan inilah yang kemudian terjadi: siaran radio berhenti menyiarkan musik yang berbau barat, segala bentuk musik berunsur barat dilarang pentas dan rekaman, nama band dan musisi berbahasa Inggris dipaksa berubah, bahkan pemuda gondrong menjadi sasaran penertiban. Kondisi ini lantas memunculkan musik-musik daerah untuk tampil ke permukaan: Bengawan Solo, Neng Geulis, Ampar-ampar Pisang, Ayam Den Lapeh, Sarinande, Angin Mamiri, dan sebagainya.
Baru pada era Orde Baru, industri musik di Indonesia mengalami kemajuan karena melonggarnya kebijakan anti barat setelah diruntuhkannya komunisme. Putaran ekonomi yang dihasilkan dari sektor industri musik meningkat kencang. Perusahaan rekaman, panggung pertunjukkan, dan musisi menikmati keadaan ini dengan begitu meriah.
Pada masa ini, musik – juga kesenian lain termasuk wayang – sebenarnya ditunggangi Orde Baru untuk keperluan politis. Musik dipakai militer untuk mengintegrasikan diri dengan rakyat untuk sama-sama memberangus komunisme. Mereka melihat musik sebagai alat revolusi yang harus ikut berpolitik. Artis-artis yang tampil di TVRI kala itu, menjadi corong propaganda dalam melancarkan program-program pemerintah.
Pertunjukan musik dari panggung ke panggung, menjadi bahasan pada bab kedua buku setebal 223 halaman ini. Pembaca disuguhkan data tentang dinamika kehidupan musik di atas pentas yang ditonton massa dalam jumlah besar. Gambaran tentang bagaimana perubahan konsumsi musik sebagai produk auditif menjadi produk visual turut menyumbangkan pengaruh terhadap sajian musik. Ini ditandai dengan pertunjukan musik rock yang lebih menampilkan aksi panggung yang menegangkan, atraktif, dan mengerikan ketimbang sajian musiknya itu sendiri. Kelompok band dengan aksi panggung biasa-biasa saja hanya dihadiahi cemoohan penonton, bahkan tak jarang kerusuhan.
Pada bab ketiga, disoroti secara mendalam industri rekaman yang pembahasannya turut menyeret perusahaan rekaman, produser yang cuma cari untung, pencipta lagu yang hanya jadi boneka, teknologi rekaman, pemasaran kaset, hingga pembajakan yang pada saat Anda membaca resensi ini, tidak pernah diseriusi pemerintah.
BPKB Mobil Sebagai Jaminan
Buku ini tidak hanya mengerutkan mata pembaca dengan tahun, rupiah, nama kelompok musik, musik sebagai hobi, nama perusahaan rekaman, honor artis, atau pun tipe perangkat tata suara – yang kesemuanya perlu diperdebatkan lagi seberapa penting relevansinya dengan kepentingan penulisan. Tapi Mulyadi turut menceritakan kisah-kisah unik dan lucu yang menghibur. Misalnya, karena permasalahan perangkat tata suara yang memble melahirkan kerusuhan penonton yang merasa suara musik terlalu kecil, atau Ike & Tina Turner yang ngambek pulang ke negaranya tanpa permisi sebab kecewa kualitas perangkat tata suara.
Maraknya penipuan oleh promotor terhadap artis melahirkan cerita lain pula. Misalnya, pada acara Rock Concert tahun 1984 di Ujung Pandang, kalangan artis yang mengisi acara terpaksa menahan BPKB mobil panitia penyelenggara karena pembayaran honor belum selesai. Atau cerita Aria Junior yang dibayar dengan cek kosong dan tiket pesawat tak berlaku usai pentas di Bangka tahun 1976.
Sebagai fakta sejarah, buku ini layak diapreasi karena usahanya dalam menghimpun data yang begitu banyaknya. Lebih dari 25 macam sumber data menjadi rujukan yang memamerkan catatan kaki sebanyak 775 buah. Hanya disayangkan bahwa buku ini sekedar melakukan pencatatan tanpa memberi tafsir sang penulis terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya. Sehingga pembaca hanya akan puas dengan pameran data yang begitu kaya namun tanpa kerangka sudut pandang yang dipilih penulis demi menerjemahkannya kepada pembaca.
Alhasil, buku yang sangat bermanfaat dan penting sebagai usaha awal pengumpulan kepingan sejarah industri musik yang tercecer ini, mengesankan keluguan. Ia tidak skeptis, tidak curiga dalam membeberkan peristiwa dan konteks yang melingkupi. Seolah-seolah semua persoalan yang ada cukup dilihat secara hitam-putih, yang mudah diberitakan tanpa beban politis, kultural, atau pun persinggungan kepentingan lainnya.
Buku ini akan lebih sedap jika disertai indeks, dan kalau perlu contoh-contoh rekaman musik yang ada. Sehingga karenanya pembaca bisa mengabaikan gaya bahasanya yang melelahkan. Hingga lantas larut dalam luapan yang menjengkelkan, bahwa kondisi industri musik kini pun tidak lebih baik dari sebelumnya. Bahwa produser yang memakai kerangka pikir dagang masih mendominasi kerja musisi. Bahwa posisi musik tidak lebih bernilai dari sekilo cabe merah keriting. Bahwa musisi berkutat pada bahasa musikal yang tidak berkembang dan lebih banyak mengekor. Bahwa pembajakan masih terjadi, bahkan dengan lebih meriah, leluasa, dan tanpa dosa. Bahwa kebodohan lama masih diulangi lagi hingga hari ini.
Jadi, kalau ada seorang pengamat musik yang berkata bahwa kondisi industri musik di Indonesia kini sudah lebih baik, lebih baik tidak usah percaya. Apalagi argumennya lemah: karena musik dalam negeri yang merajai, tidak seperti era sebelumnya. Ia mungkin perlu diberitahu, bahwa penjajahan kultural-ekonomi-sosial mudah sekali berganti wajah. Kita menjumpainya di segala bentuk komodifikasi musik saat ini.

Lagu cinta melulu

Kita memang benar-benar melayu

Suka mendayu-dayu

Lagu cinta melulu

Apa karena kuping melayu

Suka yang sendu-sendu?

Dimuat di Koran Jakarta, 14 Agustus 2010

4 thoughts on “Membicarakan Industri Musik

  1. Bukunya beli pesannya dimana? buku-buku ttg Industri Musik mau saya pake referensi buat ngerjain sekripsi,…
    Tolong ya info belinya buku itu dimana? Terima kasih.

    1. Buku ini tidak saya temui di toko buku umum. Saya menemuinya di Bengkel Deklamasi di dalam komplek Taman Ismail Marzkuki, Cikini, Jakarta Pusat. Pernah jg saya jumpai pada lapak2 buku bekas. Semoga membantu ya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *