BANYAK seniman-seniman besar yang bahan dasar ciptaannya berasal dari realita di sekitarnya. Realita temuannya – atau bikinannya – tersebut direkonstruksi sedemikian rupa demi melayani ide sang kreator. Dan memang benar, buah dari pohon ide tersebut setidaknya mengandung refleksi atau cermin representatif – terlepas dari berhasil atau tidaknya – atas realita-realita yang diolahnya menjadi karya seni.
Dalam karya sastra, misalnya, kita bisa memahami maksud di atas dengan menyelami karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Banyak novelnya yang mengambil konteks realita sosial. Misalkan Tetralogi Pulau Buru-nya – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah – yang merekonstruksi keadaan pergerakan nasional Indonesia yang masih dalam tahap embrio. Sastrawan lain kita tahu ada nama Nawal El Saadawi dari Mesir, Leo Tolstoi dari Rusia, atau Remy Sylado dari tanahair yang terpikat untuk membaui karya-karyanya dengan realita. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma dengan lantangnya menyerukan perlawanan terhadap pembungkaman atas fakta-fakta kebenaran dengan kumpulan artikelnya yang dibukukan, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Lewat kredo Seno ini kita mahfum, bahwa terkadang karya seni melampaui batas-batas penyampaian pesan secara‘normal’. Karya seni mampu menjadi media alternatif ketika lewat media ‘normal’, pesan-pesan berguguran menjadi kehampaan yang tak terpakai – namun saya tidak bilang karya seni itu ‘abnormal’.
Baiklah kalau perlu contoh lain: lukisan Raden Saleh berjudul Perang Diponegoro yang menggambarkan ke-heroik-an para pejuang ketika melawan penjajah Belanda, karya seni patung Djoni Basri berjudul Aurat yang mengetengahkan sosok wanita berjilbab yang sekaligus mengenakan celana jeans ketat, dan seterusnya, dan sebagainya. Singkatnya, realitas sosial terus menerus dilagukan lewat karya seni yang entah diejawantahkan dalam gerak (tari dan drama), visual (lukisan, patung, rupa), linguistik (novel, puisi, cerpen, teater), atau bunyi (musik).
Atas nama wacana ini semualah kita berangkat memahami resital gitar klasik Second Stage yang digelar oleh seorang gitaris muda bernama Hery Budiawan pada 28 Juli 2008 lalu di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan. Sembilan karya jenis avant-garde yang dibawakan Hery perlu disimak dengan teliti, yang kadang bahkan tidak perlu dimengerti. Dengar saja. Nikmati saja. Hanya itu yang perlu dilakukan.
Tidak semua karya yang dibawakan Hery meminjam materi realita sosial, memang. Karena dalam seni juga diyakini bahwa ada karya-karya yang dibangun berdasar khayal semata, imaji semata, belaka semata, mengada-ada semata. Tapi lewat sebuah karya yang membuat kuduk berdiri, yang merangsang imajinasi kita dalam memvisualisasikan bunyi – padahal sebaliknya, karya ini dibunyikan berdasarkan visual – wacana di atas menjadi semakin kuat konsepnya.
Lewat gitarnya, Hery memainkan nada-nada suram dengan santun. Tidak ekspresif atau bahkan emotif, memang. Namun lewat ujung-ujung jarinya Hery tetap mampu mengolah bunyi tersebut menjadi suatu bangunan visual yang kadang atraktif, tapi juga mencekam dan kelam. Pemakaian motif-motif yang di-ostinato-kan mengantar pendengar pada satu sesi yang paling mendebarkan. Tubuh sintal gitar dieklplorasi sedemikian rupa demi menghadirkan efek sabetan pecut, keriuhan suasana, dan nuansa magis yang menyelimuti. Setelah klimaks, nada-nada mengantarkan pada proses pendinginan, bak proses roh halus yang meninggalkan raga manusia yang barusan dipinjamnya. Dan, selesai.
Karya di atas berjudul The Spirit of Kuda Lumping. Ditulis seorang gitaris cum komponis asal Indonesia yang kini bermukin di Jerman bernama Iwan Tanzil (1963). Pengejawantahan pertunjukkan kesenian kuda lumping (realita) ke dalam kekuatan bunyi (seni musik) sekali lagi menegaskan bahwa karya seni disusun berdasarkan realita. Sang komponis dengan amat reflektif mampu menangkap bunyi dari suatu kejadian. Persis seperti Messiaen dan Wyschnegradsky yang mampu menangkap bunyi berdasarkan warna. Jadi dengan demikian, karya seni bukan saja menyumbang nilai estetik, namun juga nilai peradaban bagi masyarakatnya. Karena ia hadir sebagai cermin realita sosial.
Karya lain yang ikut dibawakan Hery pada resitalnya malam itu, yang masuk dalam wacana di atas adalah Homage aux Pink Floyd dan Homage a Jimi Hendrix. Masing-masing dicipta oleh Jacques Casterede (1926) dan Carlo Domeniconi (1947). Kedua komponis yang masing-masing berasal dari Prancis dan Italia ini memakai bahan-bahan yang sepenuhnya sudah ada dalam realita. Kedua komponis tersebut, sama seperti Tanzil, Messiaen, maupun Wyschnegradsky mampu menangkap bunyi lewat apa yang mereka temukan lewat indera masing-masing. Casterede dan Domeniconi adalah komponis yang lewat karyanya ingin memberi penghargaan bagi kedua kubu musisi yang berpengaruh dalam dunia musik industri juga musik seni, yakni band Pink Floyd dan gitaris legendaries blues, Jimi Hendrix.
Pada karya Domeniconi, misalnya, ruh atau aura musik dari Jimi Hendrix yang eksperimental amat terasa. Stagnansi progresi blues hadir lewat motif yang terus menerus diulang. Raungan eksperimental ala Hendrix lewat ekplorasi – lebih tepatnya eksploitasi – teknologi (efek gitar, amplifier) hadir lewat sentakan nada yang mendadak, efek perkusif, dan teknik bending. Penonton yang tidak sabar dan teliti mesti siap kecewa karena tidak mendengar kebaruan-kebaruan dalam penemuan bunyi dan cara membunyikan pada instrumen gitar klasik.
Resital Hery Budiawan malam itu dibaluti musik-musik baru. Musik-musik yang lebih mengacu pada pencapaian estetik bunyi dibanding teknik. Misalnya saja Trois Pieces Polyglottes karya Roland Dyens (1955), Folios karya Toru Takemitsu (1930-1996), Voces de Profundis karya Stepan Rak (1945), Sonata karya komponis Kuba, Leo Brouwer (1939), dan Canarios karya gitaris Jogja, Royke B.Koapaha (1961).
Hery Budiawan mungkin satu-satunya gitaris muda Indonesia yang begitu tekun menggarap dan menampilkan karya-karya musik avant-garde, sebuah genre musik serius yang belum ramai diminati. Walau secara teknik Hery masih belum paripurna, namun musikalitasnya amat dewasa. Produksi warna suaranya pun amat baik dan proyektif. Pilihannya di jalan sunyi menggauli karya-karya musik baru ini semoga terus konsisten dan juga melahirkan karya komposisinya sendiri setelah Java Suita – karya yang juga dibawakannya pada resital malam itu.