Sudah lama saya dengar nama besar Discus di kancah panggung musik tingkat dunia, tapi baru kemarin bisa mencicipi langsung bunyi mereka.
WALAU untuk mencicip bunyi mereka saya harus melanggang jauh dan mengendus selukbeluk sisi selatan kota Jakarta, terhimpit dalam keegoisan pengguna jalan raya, saya manut saja. Bukan untuk terlena dalam histeria macam groupies pada band idolanya. Tapi berada dalam posisi sadar untuk melihat produk seni yang Discus tawarkan. Adakah yang didapat sepulangnya?
Discus adalah sekelompok band yang sulit untuk saya definisikan aliran musiknya. Ada jazz di sana, ada rock di situ. Ada pop di sana, ada etnik di situ. Poin lebihnya, unsur musik avant-garde (untuk selanjutnya disebut ‘garda depan’) – genre bermusik yang masih jauh dari hirukpikuk dunia musik, digarap mereka tanpa malu-malu lagi. (Ya! Saya menyebut ‘genre bermusik’, bukan ‘genre musik’, karena garda depan bukanlah sekedar sebuah produk seni, tapi aktivitas pemikiran).
Mereka tampil pada 5 November 2008 di panggung Salihara, sebuah kantung budaya yang baru berdiri di daerah Pejaten. Salihara adalah anak dari komunitas Teater Utan Kayu (TUK) yang berada di Jakarta Timur. Sedang TUK sendiri dibidani Grup Tempo. Mereka lebih sering – bahkan kebanyakan – menampilkan acara-acara seni yang bernilai kebaruan. Pertunjukkan tarinya kontemporer, diskusinya kontemporer, musiknya pun demikian.
Discus ada di Salihara karena menjadi salah satu pengisi acara dalam Festival Salihara yang digelar hingga Desember 2008. Festival ini digelar dalam rangka pembukaan kantung budaya yang baru lahir ini.
Dalam kata sambutan di buku program, Goenawan Mohamad menulis begini, “Dengan festival, kota ini membuka kesempatan bagi penghuninya untuk menikmati karya-karya seni pilihan, tanpa harus pergi jauh. Dengan festival, ruang terbuka bagi mereka yang terlibat dalam proses kreatif untuk belajar lebih lanjut – terutama dari karya-karya yang datang dari latar berbeda – bagaimana menyadari dunia kesenian sebagai dunia yang bekerja keras dalam kebhinekaan dan kemerdekaan”.
Jadi cukup jelaslah posisi Discus dalam rangkaian festival di Salihara itu. Discus, dengan kemampuannya memediasi berbagai macam gaya musik, menjadi ruang terbuka – seperti yang diharapkan Goenawan – yang mampu melayani kebutuhan hadirin yang menginginkan beragam karya-karya seni yang dihimpun dalam satu waktu, satu tempat, satu produk kesenian, sekaligus satu kesatuan (kebhinekaan). Hasilnya, Discus memang mampu menghadirkan gado-gado bunyi dari berbagai aliran musik. Sehingga tiap pasang telinga tidak perlu mondar-mandir Bandung-Banda Aceh, New Orleans-New Delhi, untuk sekedar menghimpun berbagai macam bunyi itu. Tiap pasang telinga itu cukup duduk dalam satu waktu satu tempat, dan cicipilah hidangan bunyi yang sudah dirangkum Discus dalam posisi yang paling khidmat. Namun, sedapkah sajian mereka?
Menyaksikan Discus, ingatan saya disusupi sikap bermusik yang ditunjukkan Krakatau, kelompok musik yang juga menyentuh ranah world music. Krakatau yang ditukangi Dwiki Dharmawan dan kawan-kawan, banyak memakai elemen musik etnik Indonesia. Alat musiknya pun membentang dari bonang, ceng-ceng, gamelan, rebab, dan sebagainya. Lalu, apa yang berbeda dengan Discus?
Kalau Krakatau bermain musik tenik di atas dasar musik jazz, sedang Discus bermain musik etnik di atas musik rock progresif. Elemen jazz, pop, dan sebagainya dipakai hanya sebagai hiasan, bukan pondasi. Pondasinya tetap rock progresif yang menghentak dengan aksen beat yang mengarah ke bawah, bukan aksen ke depan seperti musik klasik atau ke atas macam musik reggae (Itulah sebabnya mengapa sangat asik mengangguk-anggukkan kepala ketika mendengar musik macam ini).
Pilihan riff-nya pun kental dengan musik rock progresif. Sesekali terselip nuansa-nuansa milik Dream Theater dalam band yang dimotori oleh Iwan Hasan (vokal, gitar, gitar-harpa 21 senar) ini. Kemudian ada Anto Praboe (saksofon tenor, klarinet bas, flute, suling pui-pui, vokal), Fadhil Indra (vokal, kibor, rindik, gong, kempli, perkusi elektronik), Eko Partitur (biola, vokal), Kiki Caloh (bas, vokal), Krisna Prameswara (kibor), Hayunaji (drum), dan satu-satunya perempuan, Yuyun (vokal).
Memang terbayar rasa penasaran saya untuk hadir di konser ini. Mereka menawarkan konsep musik yang amat lain, amat berbeda, amat unik, di tengah seragamnya musik industri di tanah air. Sikap bermusiknya jelas dan berani tampil jungkir balik.
Jungkir balik. Maksudnya, ada beberapa komposisi (saya lupa judulnya, karena tidak ada buku program acara yang memandu konser secara spesifik) yang membentangkan berbagai aliran musik yang mengesankan sebuah transisi yang amat kontras tiap perubahan alur musik. Di tengah gebukan drum berwajah garang, tiba-tiba saja terselip iringan pentatonik Sunda pada kibor. Atau di tengah alunan bergaya swing, sepenggal melodi khas musik Sumatera (mungkin Aceh atau Padang) menyembul dari biola.
Mereka juga tidak tanggung-tanggung dalam bereksperimen. Akor-akor aneh yang timbul lantas menggiring saya pada nama komponis Amerika, Arnold Schoenberg (1874-1951) atau Richard Strauss (1864-1949), seorang komponis Jerman. Pasalnya, Schoenberg adalah pionir dalam mencipta harmoni-harmoni aneh yang belum pernah ada sebelumnya, dan dia dikenal lewat konsep ’12-nada’. Sedang Strauss, semangatnya menciptakan harmoni unik dapat didengar lewat karya operanya berjudul Salome. Di karya ini, ada satu titik di mana Strauss memasukkan akor yang terdiri dari 10 nada berbeda yang memberi efek yang menjijikkan. Dan Discus berani bermain dalam wilayah itu. Sepintas dari tangan Krisna sang kibordis, terdengar whole-tone yang memberi efek mengawang.
Di urutan lagu kesekian, Discus menggunakan formasi trio. Iwan Hasan bermain gitar-harpa 21 senar, Anto Praboe meniup klarinet-bas, dan Eko Partitur menggesek biolanya. Formasi ini cukup pas ditaruh di tengah-tengah konser. Seakan memberi kesempatan penonton untuk sedikit mengambil napas setelah sebelumnya digeber musik yang berisik dan galak. Dengan gitar-harpa-nya, Iwan mampu mencapai nada-nada amat rendah sehingga suasana amat melankolik namun syahdu. Belum lagi gelap dan beratnya tiupan Anto lewat klarinet-bas.
Secara teknis, masing-masing pemain punya kemampuan yang cukup. Hanya Eko Partitur yang secara teknik terasa amat kurang – temponya tidak presisi, frase-frase yang dibangun sering tidak mulus, vokabularinya dalam bernada amat terbatas. Tapi tanpa gesekan Eko, saya rasa Discus kehilangan nyawa. Saya kira sulit mencari biolin dengan suara yang menyerempet suara rebab atau instrumen etnik lainnya yang digesek karena para biolin lebih banyak terdidik dalam warna suara khas musik klasik.
Yang sedikit agak mengganjal, selain tata suara yang tidak proporsional (suara vokal bertarung sengit dengan suara band, dan terdapatnya perbedaan kualitas suara antara duduk di depan dengan di belakang), adalah ketidakajegan porsi pukulan sang drummer, Hayunaji, ketika membawakan nomor-nomor jazz. Pujian yang perlu dilayangkan selain kepada Anto Praboe dan Iwan Hasan, lewat improvisasi mereka, adalah vokal Yuyun yang dengan cepat mampu beradaptasi dari jazz ke pop ke etnik India.
Menyaksikan band yang berdiri sejak tahun 1995 ini, yang sudah mengeluarkan 2 album dalam distribusi internasional, untuk pertama memang amat menggigit. Sedap. Tapi setelah mata analisis dipergunakan, saya sadar pola yang mereka gunakan. Polanya memang mirip pada nomor-nomor jazz pada umumnya yang dimulai dari tema lagu kemudian pengembangannya. Bedanya, pengembangan Discus seringkali progresif dan ekstrim. Tapi, mereka seringkali mengulang elemen-elemen atau teknik-teknik improvisasi yang sudah dipakai sebelumnya. Dengan mengganti-ganti instrumen – Anto bermain beragam alat musik Barat dan etnik, Iwan bermain berbagai macam ragam gitar elektrik dan etnik – keusangan elemen tersebut rupanya dapat diatasi.
Secara konsep, ada beberapa lagu yang saya tidak mampu ikuti alurnya. Tidak ada bingkai yang jelas yang membatasi penjelajahan musik mereka. Sehingga saya seringkali terkecoh untuk mengapresiasi karya mereka: ketidaknyambungan/kekontrasan yang terjadi dalam satu alur komposisi, disengaja untuk menghadirkan efek tertentu, atau memang ketidakfokusan mereka dalam membingkai konsep lagu.
Di akhir pertunjukkan, mereka membawakan satu encore untuk memberi kenang-kenangan kepada penonton yang datang pada malam itu kebanyakan adalah penggemar Discus, penggemar musik baru dan rock progresif, juga pecinta kesenian. Musik Discus memang butuh pendengar komunitas untuk membuat mereka tetap ada dan diapresiasi. Apapun itu, sikap bermusik Discus pantas terus ada di kancah musik non-tunduk-industri.
wah..sungguh wacana yang menarik sekali. Discus, entah dimana pernah mendengarnya, tapi sekalipun belum pernah melihatnya. ah roy, makasih ya udah mau sharing tulisan ini..
Roy, saya egi, saya melihat tulisan ttg discus ini di sebuah milis musik, karena menurut say tulisan anda menarik, saya masukan ke blog http://www.ombakduren.blogspot.com, maaf saya belakangan minta ijin nya….salam
SalamSaya egi, saya melihat tulisan anda di milis musik, karena menurut saya menarik maka sama mengkopi-paste ke http://www.ombakduren.blogspot.com, maaf saya belakangan meminta izin,egi