Mengelola Kekuasaan dengan Anti-Cina

MEREBAKNYA RUMOR SERBUAN tenaga kerja asing asal Cina di Indonesia menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Rumor ini, dalam ingatan saya, sebenarnya sudah berhembus hampir setahun terakhir. Namun baru akhir-akhir inilah pemerintah menanggapinya. Bahkan tanggapan itu  disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi, baik melalui akun media sosialnya maupun dalam beberapa kesempatan lainnya. Karena rumor ini, Jokowi sampai perlu memerintahkan jajarannya untuk mengevaluasi media daring yang memproduksi berita bohong. Gestur Jokowi tersebut bisa dibaca bahwa rumor “cinanisasi” sudah dianggap serius dan mengancam wibawa pemerintah dan legitimasi kekuasaan.

Memang, dilihat dari percakapan di media sosial, banyak orang mengalamatkan kekecewaan dan kemarahan terhadap Jokowi sebagai presiden. Jokowi dianggap membiarkan ekonomi Cina mendominasi Indonesia dan tidak melindungi tenaga kerja dalam negeri yang butuh lapangan kerja. Selain itu, percakapan di media sosial juga memperlihatkan adanya sentimen yang mengarah bukan saja kepada Cina sebagai negara, tapi juga Cina sebagai sebuah kelompok etnis.

Sentimen anti-Cina di Indonesia, bagaimanapun, adalah sesuatu yang menyejarah. Imajinasi kolektif sebagai bangsa dan kedaulatan negara Indonesia ada dan dibangun di atas pondasi sentimen tersebut. Tanpa adanya sentimen anti-Cina, pemerintah kolonial Belanda dan Orde Baru, misalnya, tidak akan bertahan selama itu atau setidaknya mengalami kesusahan dalam mempertahankan kekuasaannya. Karena itu Ariel Heryanto (2008) berpendapat bahwa hilangnya sentimen anti-Cina berpotensi mengancam status-quo kekuasaan Orde Baru “yang dibentuk sejak masa kolonial dalam kerangka diskriminasi sumber daya manusia berdasarkan ras”. Artinya, sentimen anti-Cina adalah sarana untuk mengelola kekuasaan.

Tentu, selain anti-Cina, Orde Baru terutama mendirikan dan mengelola kekuasaannya di atas sentimen anti-komunis. Anti-komunis adalah sumber legitimasi terpenting bagi kekuasaan Orde Baru. Apa yang sama dari keduanya–dan juga sentimen-sentimen lainnya (misalnya “makar”, “negara Islam”, “separatis”, dan sebagainya)–adalah upaya mengontrol populasi dengan cara mendefinisikan musuh bersama, sebuah teknologi kekuasaan yang Foucault sebut sebagai “biopolitik”. Biopolitik dipahami sebagai cara negara modern untuk mempolitisir kehidupan sebuah populasi dan menciptakan kondisi mental secara kolektif bahwa masyarakat sedang berkonflik dengan mereka “yang non-kami”. Tuanya riwayat musuh bersama itulah yang membuat rumor cinanisasi berkembang biak begitu cepat. Ia datang tiba-tiba, diyakini kebenarannya, dan menyebar dengan mudah seolah tiada perlawanan berbentuk keraguan terhadap isi rumor.

Pemilu 2014 adalah kali pertama sejak runtuhnya Orde Baru di mana sentimen anti-Cina dibangkitkan kembali secara frontal dalam panggung politik nasional. Tuduhan atas Jokowi sebagai keturunan Cina (juga komunis) terbukti jitu dalam menggerogoti suara dukungan buatnya. Strategi politik yang sama juga diulang terhadap Gubernur Ahok, yang bukan saja karena Ahok sendiri beretnis Cina, tapi juga karena dihembuskannya rumor bahwa ada kepentingan bisnis para konglomerat Cina yang berdiri di belakang Ahok. Yang menarik dari semua sentimen anti-Cina tersebut adalah, kalau dulu proses “menunjuk musuh” dilakukan oleh negara, maka kini proses tersebut dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Dan ini persis seperti apa yang dipahami Foucault bahwa kekuasaan itu tidak terpusat, tapi menyebar; tidak dimiliki, tapi anonim. Kekuasaan itu ada di mana-mana dan datang dari mana-mana, tertanam dalam diskursus dan pengetahuan suatu rezim.

Karena itu saya tertarik mendiskusikan rumor cinanisasi bukan dalam kerangka menunjukkan versi mana yang benar: pemerintah atau oposannya. Melainkan pada proses merebut dan mempertahankan kekuasaan di atas pondasi sentimen anti-Cina tersebut. Lihat, misalnya, pemberitaan di RCTI pada 19 Desember 2016 yang bernada menyerang pemerintahan Jokowi. Dalam program “Seputar Indonesia” itu, redaksi RCTI bahkan memasang judul “Para Penyusup Negara” yang menggambarkan Indonesia dilanda kegawatan secara menyeluruh meski hanya berdasarkan satu kasus di Bogor. Dengan judul ini, horizon pengetahuan penonton dibingkai bahwa keberadaan tenaga kerja asing asal Cina meneror kedaulatan negara, dan itu “bukan dongeng sebelum tidur, ini adalah persoalan nyata di Indonesia”.

Menyematkan kata “serbuan” meski tak ditunjang data, redaksi RCTI kemudian membangun narasi yang mempertentangkan “kami” dan “non-kami” dengan mengambil posisi berpihak kepada “anak negeri yang berjuang mencari pekerjaan untuk menyambung hidup” di hadapan “tenaga kerja Cina yang mudah masuk mencari penghidupan”. Tak cukup membingkai kasus ini dalam koridor “kedaulatan bangsa” dan perampasan lapangan pekerjaan, RCTI juga menyoal ancaman penyakit dari bibit tanaman milik pekerja asal Cina tersebut. Narasi sedemikian bukan saja sedang mendefinsikan musuh bersama, tapi penonton diyakinkan bahwa kehadiran mereka membawa niat jahat karena membawa bibit berpenyakit.

Pendek kata, di atas narasi yang menciptakan imajinasi atas musuh tersebut, pemerintah dibingkai sedang bersekutu dengan pihak asing. Pemerintah lantas membantah adanya serbuan tenaga kerja tersebut dengan menyajikan data jumlah pekerja Cina di Indonesia. Tapi yang menarik, alih-alih menghadirkan narasi alternatif, pemerintah malah memainkan narasi yang sama. Dari posisi tertuduh sekutu asing, pemerintah lalu bermanuver melalui narasi ”berada di sisi rakyat” yang juga “anti-asing”.

Simak misalnya aksi Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang direkam dan disebar di media sosial oleh akun resmi kementeriannya. Hanif ditunjukkan sedang menemui pekerja asal Cina, dan ditonjolkan adegan membentak meski tidak jelas apa alasan dan tujuannya. Yang jelas inspeksi dan bentakan tersebut bisa dibaca sebagai pertunjukan kekuasaan demi melancarkan narasi “pemerintah bersama rakyat sedang melawan musuh”. Sementara itu, narasi anti-asing dihembuskan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mengatakan bahwa rumor cinanisasi sengaja dihembuskan pihak asing untuk mengadu domba bangsa. Kedua narasi tersebut tidak beranjak dari narasi yang dilancarkan para penggugat pemerintah, alih-alih keduanya setia membangun kedaulatan dirinya di atas narasi “musuh bersama”.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya berpendapat bahwa memahami cara kerja kekuasaan semacam ini menjadi penting untuk tidak larut dalam membuat kesimpulan yang justru malah memperkuat posisi otoritas. Luputnya melihat sentimen anti-Cina sebagai sarana mengelola kekuasaan hanya akan membenamkan kita semua dalam mitos-mitos tentang konflik rasial sebagai konflik horizontal dan sesuatu yang terberi.

Diskursus cinanisasi memperlihatkan bahwa menciptakan musuh bersama adalah penting untuk dilakukan baik oleh pihak yang ingin mempertahankan kekuasaan maupun yang ingin merongrong kekuasaan. Musuh bersama itu dari zaman Belanda sampai Jokowi masih sama: Cina.

Dimuat di Tirto.id, 31 Desember 2016, dengan judul “Mempertahankan dan Merongrong Kekuasaan dengan Isu Anti-Cina”.

A Simple Life: Perempuan yang Menjadi Tua di Rumah Majikan

Kapan terakhir kali kita membicarakan Pekerja Rumah Tangga (PRT) di rumah kita? Bukan, bukan soal kapan mereka kembali dari mudik. Maksud saya: kapan terakhir kali kita membicarakan kehidupan mereka?

Harus diakui, PRT kerap absen dalam pembicaraan di sebuah keluarga. Kecuali ketika kondisi rumah berantakan atau majikan butuh air panas sepulang bekerja, selebihnya PRT tak pernah dihadirkan dalam pikiran kita. Sependek pengalaman saya, sangat jarang menemukan gambaran majikan yang memikirkan peningkatan taraf hidup PRT-nya; bukan sekadar kenaikan gaji, tapi juga hak sosial dan budayanya. Padahal, PRT hadir sangat lekat dalam kehidupan keluarga Indonesia—atau setidaknya di Pulau Jawa—hampir di berbagai kelas sosial (dengan konsep relasi kerja1 yang bervariasi, tentunya).

A Simple Life besutan Ann Hui adalah film tentang mereka. Ah Tao (Deannie Ip) adalah seorang PRT yang telah bekerja selama lebih dari 60 tahun pada keluarga Leung. Pada paruh akhir hidupnya, Ah Tao bekerja melayani Roger (Andy Lau), seorang produser film, generasi ketiga dari keluarga ini. Ia mulai bekerja untuknya semenjak Roger pulang ke Hong Kong dari sekolahnya di Amerika.

Hampir seumur hidupnya Ah Tao melayani keluarga Leung. Tentu, ia telah bekerja jauh hari sebelum Roger lahir. Ah Tao tahu semua hal yang dibutuhkan Roger. Hingga suatu malam menjadi awal ketika Roger gantian mengurusi: Ah Tao terkena stroke. Ia kemudian berhenti bekerja dan minta dikirim ke panti jompo.

Diangkat dari kisah nyata, film ini bukan saja ajakan untuk mendalami hubungan majikan-PRT, tapi juga cerita tentang kehidupan di panti jompo—termasuk kritik komersialisasi atasnya—dan renungan saat manusia menjadi tua. A Simple Life dengan berhasil telah menuntun saya masuk pada pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan. Masa depan yang diajukan A Simple Life bukanlah sesuatu yang menggairahkan dan penuh ketidakpastian, tapi justru adalah sesuatu yang mengusik dan pasti. Menjadi tua merupakan kepastian, dan kepastian menjadi tua akan merenggut atau mengurangi peluang-peluang yang hanya dimungkinkan oleh kemudaan. Pendeknya, menjadi tua adalah fase memasuki kerumitan yang lain.

Tapi situasi ini menjadi lebih rumit ketika dihadapkan pada kasus seperti Ah Tao, seorang tua yang sakit dan telah memberikan hampir seumur hidupnya bagi kehidupan majikannya. Siapapun akan diganggu dengan pertanyaan “haruskah saya bertanggung jawab atas masa tua PRT saya?” atau “dalam bentuk apa tanggung jawab tersebut harus saya berikan?”.

Bukan pesangon atau semacamnya yang menjadi jawabannya, Roger bahkan tak memberikan ruang bagi pertanyaan semacam itu. Seakan tak ada jeda untuk membiarkan keraguan atau kebingungan tumbuh. Ia lekas mengajukan jawaban atas pertanyaan yang tak pernah sempat hinggap itu: merawat Ah Tao hingga ke pusaranya.

Mengurus bekas PRT-nya dari hari ke hari telah menumbuhkan sikap Roger. Dari yang selama ini terkesan dingin, Roger menjadi semakin hangat kepada Ah Tao. Ia mengasihi Ah Tao. Saya suka dengan cara Ann Hui melukiskan pertumbuhan itu yang dilakukannya tanpa ketergesaaan. Adegan demi adegan yang dimainkan dengan lambat telah memberikan penghargaan atas proses seseorang yang mengalami pertumbuhan. Sebuah upaya simpatik yang ditempuh ketika hari ini proses adalah sejenis kemewahan yang sulit mendapat tempat.

Bahan cerita dalam film semacam ini sebenarnya memberi pintu yang lebar bagi dramatisasi, tapi Ann Hui tak pernah melangkah ke sana. Pun ia tak tergoda menyuruh musik untuk memeras perasaan sentimentil. A Simple Life tak memerlukan segala teknik “rayuan nangis bombay” yang tersedia dalam pembuatan sebuah film sekadar untuk membuat orang terenyuh.

Nikmatilah juga bagaimana Ann Hui memberi nyawa pada cerita melalui properti. Riwayat hubungan Roger dan Ah Tao tidak disajikan melalui adegan kilas balik yang menjemukan dan kelewat klise itu, tapi dengan mengunjungi benda-benda. Ketika kesehatan Ah Tao makin membaik, Roger membawa Ah Tao mampir ke rumah susun mereka. Dari awalnya berniat membereskan rumah, mereka malah asyik membongkar lemari yang berisi banyak barang masa lalu. Lewat benda-benda tersebut mereka mengenang cerita-cerita lama. Tiap benda menyimpan kisah tentang keluarga Leung.

Visual voyeuristik A Simple Life

Potret PRT dan Problem Kultural

Di Indonesia, rasanya tak sulit bagi kita untuk menjumpai kisah PRT seperti Ah Tao. Saya sendiri punya teman dan saudara yang memperkerjakan PRT dari muda hingga usia lanjut. Kisah-kisah tersebut biasanya jamak memberitahu kita bahwa pekerjaan sebagai PRT bukanlah sebuah cita-cita.

Ah Tao sendiri menjadi PRT dengan tidak sengaja. Setelah diadopsi oleh sebuah keluarga sejak bayi, ketika remaja ia ditinggalkan ayah angkatnya yang meninggal pada saat Cina diduduki Jepang. Kemiskinan yang mendera ibu angkatnya membuat Ah Tao kemudian dikirim ke keluarga Leung. Sejak itulah Ah Tao bekerja sebagai PRT.

Kisah Ah Tao hampir pasti tidak jauh beda dengan situasi di Indonesia. Ada kurang lebih 2,5 juta PRT di Indonesia (International Labour Organization, 2002), yang bukan saja tak pernah bisa memilih pekerjaannya, tapi juga banyak yang mengalami perampasan hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. Semua disebabkan mulai dari lemahnya perlindungan hukum hingga masalah kultural.

Istilah “pembantu”, misalnya, adalah salah satu problem kultural itu. Kata ini—yang saya hindari untuk memakainya di sini—membawa beban kultural yang membuat pekerjaan domestik tidak dianggap setara dengan pekerjaan lainnya, sehingga tak melekat hak-hak dasar seorang pekerja pada umumnya. Apa yang dilakukan hanyalah “membantu” pekerjaan dan bukan merupakan pekerjaan itu sendiri. Karena “membantu” dianggap pekerjaan ringan yang tidak dilakukan setiap waktu, maka tak perlu jam kerja. Begitulah cara pikir yang berkembang di masyarakat. Maka itu gerakan advokasi pekerja domestik menyasar problem kultural tersebut dengan mengganti istilah “pembantu” menjadi “Pekerja Rumah Tangga (PRT)”. Dengannya, pekerjaan PRT ingin didudukkan secara setara dengan pekerjaan lainnya. Hal yang sama juga terjadi ketika dulu istilah “babu” diganti menjadi “pembantu”.

Mitos relasi gusti-kawula (raja-hamba/penguasa-dikuasai) adalah problem kultural lain yang berkontribusi pada relasi majikan-PRT yang timpang. Dipakai sebagai alat pengaturan masyarakat pada era raja-raja Mataram, konsep ini mengatur bagaimana gusti dibicarakan dan kawula diperlakukan. Dengannya, kuantitas dan kualitas kekuasaan (kebenaran) telah melekat pada diri gusti dan identitas seorang kawula bergantung pada gustinya (Holy Rafika, 2015). Alhasil, seperti yang kini jamak berjalan: PRT berada dalam rutinitas inferioritas yang tak “alamiah” ketika menagih haknya, sedangkan majikan melulu superior dan selalu mutlak mendapat haknya.

A Simple Life memang bukan film yang mengadvokasi isu tersebut. Tapi cara film ini menempatkan seorang PRT seperti Ah Tao di dalam hubungannya dengan keluarga majikannya, seperti mengajak untuk memeriksa pikiran kita selama ini. Film ini mengajukan ruang negosiasi antarsubjek untuk mendefinisikan ulang perkara-perkara di atas.

Lihat bagaimana kamera dioperasikan dengan intes atas Ah Tao. Dalam beberapa adegan, kamera diambil dengan tidak stabil dari balik jendela atau teralis, serasa memposisikan penonton sebagai orang yang mengintip apa yang PRT kerjakan di rumah. Tentu bukan mengintip untuk memantau kerja PRT, tapi kerinduan yang malu-malu untuk mengenal mereka yang melakukan banyak untuk kita.

Pendekatan semacam itu memudahkan A Simple Life untuk membuat saya merasa dekat dan memiliki Ah Tao. Ah Tao tak lagi menjadi si liyan, melainkan telah menjadi bagian dari kita. Maka ketika tampil beberapa adegan yang mengesankan Ah Tao meninggal, saya khawatir, kita semua khawatir. Membangun psikologis atau mental menonton semacam itu tentu sulit berhasil jika tak melalui rangkaian bahasa visual seperti yang Ann Hui susun.

Ann Hui berhasil menjadikan A Simple Life sebuah film yang membuat kita berenang—bukan tenggelam—dalam tontonan. Berkali-kali.

 

A Simple Life | 2011 | Durasi: 118 menit | Sutradara: Ann Hui | Produksi: Focus Film Limited, Sil-Metropole Organisation, Bona Film Group | Negara: Hong Kong | Pemeran: Deannie Ip, Andy Lau, Wang Fuli, Paul Chun, Samo Hung

 


Dimuat di Cinema Poetica pada 20 Agustus 2015

Jokowi, Orang Rimba, dan Kekerasan Kultural

DENGAN MENGGUNAKAN HELIKOPTER TNI AU, Presiden Jokowi menemui Suku Anak Dalam di Sorolangun, Jambi, pada 30 Oktober 2015. Di tengah tragedi asap, menemui kelompok masyarakat adat secara langsung seperti yang dilakukan Jokowi ini adalah langkah yang positif. Gestur Jokowi ini bisa dibaca sebagai bentuk pengakuan terhadap Suku Anak Dalam sebagai warga negara yang haknya juga patut mendapat perhatian.

Setelah pertemuan itu, di depan wartawan Jokowi menyatakan keinginannya agar Orang Rimba—sebutan lain untuk Suku Anak Dalam—tidak lagi hidup nomaden. Tepat di sinilah masalahnya, karena kepedulian itu diterjemahkan dalam cara pikir yang keliru dan bias modernitas.

Buat saya, ungkapan ingin merumahkan Orang Rimba adalah bentuk kekerasan kultural. Ini adalah sebuah sikap paradigmatik yang dilatari oleh mentalitas superior terhadap bangsa atau kelompok lain. Akibatnya, pemahaman jenis ini percaya bahwa cara menempuh hidup cuma ada satu, yakni cara hidup “kami”, dan itu lebih baik dari cara hidup “kalian”, dan sudah seharusnya “kalian hidup seperti kami”.

Ketika dilakukan negara, maka ia menjadi kekerasan kultural-struktural. Ini persis seperti apa yang dilakukan pemerintah Australia (pendatang dari Eropa) terhadap suku Aborigin, kelompok pendatang yang tiba jauh lebih dulu—untuk tidak mengatakannya “suku asli”, “pribumi”, dan sebagainya.

Lantas apa yang dilakukan pemerintah Australia? Yakni dengan memisahkan anak-anak Aborigin dari orangtuanya untuk tinggal dan dididik di keluarga kulit putih. Alasannya adalah untuk memudahkan proses integrasi orang Aborigin ke kehidupan modern—selain juga alasan untuk melindungi anak. Tentu, selalu ada alasan berkesan “mulia” untuk menjustifikasi arogansi modernitas, yang ujung-ujungnya, kita tahu, sebenarnya untuk mendominasi.

Mentalitas superior kulit putih terhadap penduduk jajahannya telah merampas hak anak-anak tersebut untuk hidup bersama keluarganya. Mereka dikenal sebagai “stolen generation”, sejak istilah itu dipakai pertama kali oleh sejarawan Peter Read pada 1981. Pada 2008, pemerintah Australia meminta maaf karena kebijakan masa lalunya ini.

Negara modern yang berpondasikan perasaan superior terhadap mereka yang liyan menerbitkan kebijakan-kebijakan dengan cirinya yang anti-keberagaman. Ada kegagalan dalam memahami mereka yang berbeda. Misalnya dengan kebijakan yang memaksa mengonsumsi beras bagi masyarakat pengonsumsi sagu atau memaksa berpakaian dalam standar budaya tertentu bagi masyarakat dari latar belakang sosio-kultural berbeda.

Maka, kalau saya punya pendapat begini, ini bukan perkara romantisme. Ini juga bukan tentang heroisme budaya ala Taman Mini Indonesia Indah dan turunannya, dengan slogan-slogannya yang lugu sekaligus konyol seperti “save our heritage” atau “lestarikan budaya asli”. Saya bukan penganut paham demikian—apalagi pandangan yang mengobjektivikasi masyarakat adat dengan mengekang “keasliannya” atau “ke-eksotisan-nya” untuk tujuan dagang turisme.

Dalam konteks ini, saya percaya, perubahan adalah keniscayaan. Tiap masyarakat akan terus berubah. Tapi perubahan adalah pilihan dan konsensus. Dan tidak berubah pun bukan berarti “terbelakang”. Sebaliknya, yang harus negara lakukan adalah menjamin hak masyarakat adat, dengan memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal, termasuk kebutuhan mengekspresikan budaya sekolompok masyarakat.

Nomaden, bagi Orang Rimba, sejauh yang saya tahu, bisa dimaknai sebagai wujud ekspresi budaya. Hal ini terkait dengan melangun, yakni tradisi berpergian jauh dalam waktu lama ketika ada sanak keluarga yang meninggal. Melangun dilakukan untuk membuang sial dan mengusir kesedihan karena kematian. Waktunya tak menentu, dan ketika selesai Orang Rimba akan memilih lokasi yang baru untuk ditinggali. Hari ini, masamelangun tidak bisa lama karena semakin kecilnya wilayah mereka akibat pembukaan lahan perkebunan, selain juga adanya kekhawatiran dijarahnya tempat tinggal mereka oleh para bedebah.

Maka, yang mesti dilakukan Jokowi bukan meminta Orang Rimba hidup menetap dan berumah, tapi melindungi hak mereka dengan menjamin ruang hidupnya agar tidak terusir (dan terasapi), salah satunya, oleh perusahaan sawit.

Merumahkan Orang Rimba bisa dibaca sebagai bentuk kekerasan kultural dan pengabaian indigenous rights, karena ini bisa jadi bukan sedang memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal, malah melainkan memisahkan mereka dengan kosmologi ruang hidupnya. Hutan dan hidup nomaden adalah cara Orang Rimba membentuk ikatannya dengan ruang hidupnya.
Merumahkan Orang Rimba adalah bentuk pemisahan dari ruang hidupnya yang melemahkan ikatan terhadapnya. Dengan lemahnya ikatan Orang Rimba atas hutan atau ruang hidupnya, maka jalan perusahaan untuk mengekspansi lahan bisnisnya akan semakin mulus, misalnya.

Catatan di berbagai tempat di dunia telah menunjukkan tentang bagaimana kolonialisme berhasil melakukan dominasi atas sumber daya alam masyarakat adat dengan pertama memprimitifkan dan kemudian dengan arahan untuk mengubah cara hidup mereka. Ini, misalnya, dialami oleh orang Dayak yang dicerabut dari kehidupan komunalnya di rumah betang (rumah besar yang ditinggali puluhan hingga ratusan orang) menuju “rumah modern” (satu rumah satu keluarga). Dengan begitu, ada yang perlahan dilenyapkan: kesadaran kolektif.

Ngomong-ngomong, ungkapan Jokowi tersebut sebenarnya tidak saja mewakili cara pemerintah dalam memandang keberadaan masyarakat adat, tapi juga mewakili kebanyakan masyarakat yang mabuk modernitas. Cara pandang itu setara dengan Trans TV lewat programnya “Primitive Runaway” beberapa tahun lalu, yang kemudian berubah menjadi “Ethnic Runaway” setelah diserbu protes. Singkat kata, ini sebuah tayangan yang memboyong selebritas ibu kota ke sebuah komunitas masyarakat adat untuk mengolok kehidupan si liyan tapi dengan kemasan filantropis.

Arogansi modernitas memang selalu punya cara untuk membuat dirinya tampak sebagai juru selamat.

Diterbitkan sebelumnya di GeoTimes, 1 November 2015

1998

Menjelang keruntuhan Orde Baru, sepotong “kisah” disiapkan: Jakarta dimandi api[1], juga Medan, Solo, Palembang, dan lainnya. Ribuan orang dimampuskan, perempuan Cina diperkosa, gedung-gedung dijarah dan dibakar. Lalu, negara absen. Rasa aman harus dibeli dengan menyewa jasa aparat keamanan atau preman lokal kelas teri, sedangkan yang lain berusaha membuat ilusi rasa amannya dengan bersalin identitas.

Usia saya 12 tahun ketika itu: menyaksikan penjarahan dan pembakaran di lingkungan rumah, mengungsi tiap dini hari ke kampung Betawi selama beberapa hari karena ada kelompok perusuh yang melintas, dan lewat televisi kengerian diasah sedemikian tajam, sedemikian dekat. Pada saat itu, dalam titik tertentu siapapun dipaksa berhadapan pada dua pilihan. Membunuh. Atau dibunuh.

Maka senjata tajam hasil rakitan ayah disiapkan di rumah, meski tak ada pelajaran singkat tentang cara menggunakannya atau arahan mengenai apa yang harus dilakukan. Tapi: ada insting. Pada situasi tertentu, instinglah yang membisiki seseorang untuk melakukan apa, kapan, dan bagaimana—mungkin itu yang ada di pikiran ayah.

Dan insting juga yang mungkin menuntun Prabowo Subianto mengatakan bahwa Tragedi Mei 1998 hanyalah sebentuk “pengorbanan yang sedikit”. Pun Fadli Zon, yang dengan amat menyakitkan menuduh mereka yang mengaku diperkosa pada Mei 1998 hanyalah orang-orang yang bertujuan mendapatkan green card dari pemerintah Amerika—selain penyangkalannya atas temuan-temuan Tim Gabungan Pencari Fakta.

Namun Prabowo dan Fadli keliru. Tiga hari pada Mei 1998 bukanlah sebuah pengorbanan yang sedikit, dan bukan juga sebuah pengorbanan yang mesti dibebankan kepada mereka yang tidak pernah tahu apa-apa. Satu saja nyawa yang hilang, sesungguhnya sudah teramat banyak, jenderal. Tapi Mei 1998 meminta korban lebih dari seribu nyawa, termasuk dibunuhnya empat mahasiswa Trisakti oleh tembakan peluru tajam milik tentara—meski Prabowo mengatakan tak ada tentara yang menembaki rakyat seperti revolusi di Mesir.

Ita Fatia Nadia, anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang mendampingi banyak korban perkosaan Mei 1998, menyimpan banyak cerita pilu tentang para korban. Ada cerita mengenai korban perkosaaan yang dipotong putingnya, seorang istri yang diperkosa di depan mata suaminya, seorang bapak yang dipaksa menyetubuhi puterinya sendiri, sampai dua gadis kakak beradik yang diperkosa di dalam lemari. Keduanya kemudian hamil. Yang satu menggugurkan kandungan, yang dua melahirkannya. Sang ayah yang tak tahan dengan penderitaan puterinya, menyodorkan obat pembasmi serangga, agar si puteri bisa mengakhiri hidupnya.

Sambil bergidik saya ingin katakan kepada Fadli: semua itu nyata. Mereka yang diperkosa bukanlah sebuah fakta yang mengada-ngada, apalagi politis—entah apa definisi politik dalam kepala Fadli. Tiadanya pengakuan terbuka oleh korban bukan berarti tiadanya korban—saya anjurkan Fadli mandi air terjun untuk memahami apa itu perkosaan dan keharusan korban bersaksi di depan publik. Apalagi kita semua tahu Ita Martadinata, seorang korban perkosaan, yang dibunuh menjelang keberangkatannya ke Amerika untuk bersaksi. Oleh polisi, kematian Ita disimpulkan sebagai tindak kriminal biasa.

Di negeri ini, kau tahu, menyalakan kebenaran bisa mematikan kehidupan.

Ketika ada fakta, saksi, dan mereka yang memelihara ingatan, maka hanya faktor insting yang bisa menjelaskan kenapa Prabowo dan Fadli bisa mengatakan hal demikian. Ingat, dalam situasi sulit—seperti cita-cita ingin menjadi presiden namun terbentur kasus masa lalu—insting bekerja. Bagai kucing yang mengubur beraknya, begitupun insting Prabowo dan Fadli yang bersikeras hendak mengubur Mei 1998. Ada apa di belakang sehingga dielak? Apa yang membangunkan insting Fadli untuk konsisten mengatakan “sebagai orang muda saya lebih menatap ke depan. Jangan sampai kita hanya bergulat dengan masa lalu yang tak pernah habis-habisnya”[2]?

Insting dalam memburu kekuasaan melahirkan kalap dan logika yang terkapar: teror oleh negara disimpulkan sebagai spontanitas kemarahan massa[3], seperti yang dinyatakan Fadli. Tragedi Mei 1998, yang menunjukkan peran militer, jelas adalah sebuah proyek menebar takut yang disponsori negara. Hanya negara dan perangkatnya yang bisa menghasilkan ribuan mayat dan bangkai bangunan dalam tempo sesingkat itu. Massa bukanlah pelaku, tapi alat yang dipakai oleh elit untuk pentas politik, di mana peran antagonis sudah dibiakkan sejak era kolonial sebagai bantalan: Cina.

Maka kita akan terbenam dalam kegaduhan saling curiga bila menyebut Tragedi Mei 1998 sebagai kerusuhan rasial. Etnis Cina hanyalah bom asap yang dipakai negara untuk melarikan diri. Teror oleh negara harus dibaca dalam konteks relasi vertikalis, bukan horizontalis. Kekeliruan dalam memaknai peristiwa hanya akan menyediakan kursi penonton yang empuk bagi penjahat sebenarnya. Sebab dalam Mei 1998, yang dibunuh adalah rakyat, yang dijarah adalah imajinasi tentang kebaikan, dan yang diperkosa adalah wajah kemanusiaan.

Bila Mei 1998 adalah sebuah panggung yang digelar untuk laga politik, maka 2014 adalah sebuah panggung yang lain. Ada mereka yang melompat dari satu panggung ke panggung yang lain. Ada mereka yang dituding sebagai pendukung kubu politik tertentu ketika membicarakan kisah di panggung 1998. Seolah yang politis hanyalah politikus dan partai politik. Sedangkan mempertanyakan kantung jenazah yang berisi seorang ibu yang memeluk anaknya yang sedang membawa mobil-mobilan bukanlah sikap yang politis.[4]

Dan politik menjadi sebuah kata yang semakin berjarak dan tak terjangkau.

Dimuat di Indoprogress, 18 Mei 2014.
 
[1] Istilah “mandi api” saya pinjam dari sajak Joko Pinurbo berjudul Mei.
[2] Simak rekaman Save Our Nation (Metro TV) pada menit 46:48 pada tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=XtpW-5ObbKA
[3] Dalam artikelnya di The Jakarta Post (15 Juli 1998), “Flaws of Riot Media Coverage”, Ariel Heryanto menawarkan istilah “teror”, bukan “kerusuhan”, untuk menyebut peristiwa Mei 1998, untuk menunjuk negara sebagai pihak yang bertanggungjawab.
[4] Kesaksian Ita Fatia Nadia dari pengalamannya mengidentifikasi mayat di RSCM yang ditulis dalam sebuah diskusi di Facebook.

Foto diambil dari sini.

Mereka yang Remaja di Brawijaya

Nostalgila di sekolah pria yang mengusir sepi. Sekali laki-laki tetap laki-laki.

BEL tanda masuk telah bersungut sejak tadi. Para murid baru sudah duduk di ruang kelasnya masing-masing. Tapi selasar sekolah pagi itu masih disesaki orangtua siswa yang mengantar. Mungkin inilah pagi yang membikin orangtua cemas sekaligus menaruh harap. Tapi bagi ratusan siswa baru di sini, inilah pagi pertama mereka sebagai siswa SMU Pangudi Luhur (PL).

“Orangtua silakan keluar. Anak Anda sudah dititipkan di Pangudi Luhur. Percayakan pada kami,” seru Bruder Honoratus, seorang guru senior, seperti ditirukan Irto Rachman. “Kira-kira aman ‘kan (setelah itu)? Kagak!” kenang Irto. Karena setelah itu, siswa senior kelas dua dan tiga menghampiri dan menggedor-gedor jendela kelas dengan keras.

Bagi siswa kelas satu, suasana terang saja gaduh. Juga mencekam. Tapi guru yang berdiri di depan kelas hanya bergeming, dengan sesekali tersenyum geli. Dan rasa takut pun semakin bertumpuk-tumpuk. Ngeri.

Ya, di tempat ini, sejarah seakan berulang. Tiap tahunnya, setidaknya antara era 1980-1990-an, adegan di atas diputar kembali. Mungkin ini semacam salam “selamat datang” khas PL. Salam mentradisi yang mengawali para penghuni barunya untuk memasuki sebuah dunia tentang remaja. Sepotong ingatan tentang kebengalan dan kesetiakawanan. Ini cerita tentang sekolah khusus laki-laki.

***

IRTO Rachman adalah seorang IT Manager di Kentucky Fried Chicken Indonesia. Antara 1990 – 1992 ia adalah salah satu siswa SMU PL. Selain Irto, ada Yuka Narendra, Benny Prawira Soeryatama, Dave Lumenta, dan Adhi Septyo Nugroho, yang kepada Bung!, mengisahkan masa-masanya di PL yang masih terkenang hingga hari ini.
“Gue kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung). Tapi kalau ditanya lulusan mana, biasanya gue jawab lulusan PL,” ujar Irto untuk menegaskan kebanggaannya atas almamaternya. Kebanggaan itulah yang turut menginspirasi Yuka dalam menjalani kesehariannya sebagai seorang dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta. Ia mengaku caranya mengajar dipengaruhi cara mengajar guru-gurunya di PL dahulu.
Rasa bangga, adalah corak dominan yang menguasai kenangan akan almamater mereka. Bagi mereka, ada semacam penanaman kebanggaan yang diinstitusionalkan melalui beragam proses yang kadang tak disadari. Dari guru hingga senior, upaya membangun kebanggaan ini dimulai sejak dini sekali. Hal itu biasanya dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun wejangan yang diwariskan para senior dan guru.

Ketika banyak sekolah berlomba menaikkan statusnya, PL tidak larut dalam arus. PL yang kala itu berstatus “Diakui”, enggan naik kelas menjadi “Disamakan” walau ada desakan dan kesempatan untuk itu. “Kepala sekolah nggak mau,” cerita Dave, angkatan PL 1989 yang kini bekerja sebagai dosen Antropologi di Universitas Indonesia. Sebagai sekolah dengan kurikulum dan pendekatan yang khas, PL merasa berbeda dan tak perlu disama-samakan dengan sekolah lain.

Mundur ke belakang, pendirian PL bermula dari tawaran Pemda DKI pada 1963 kepada Konferensi Waligereja Indonesia untuk mendirikan sekolah di sepetak tanah kosong yang terletak di jalan Brawijaya IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tawaran ini kemudian disambut Uskup Agung Jakarta kala itu, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, SJ, yang lantas memanggil para bruder yang sedang sibuk dalam proyek mendirikan sekolah di Magelang. Bruder-bruder tersebut—awam rohaniwan Katolik yang berkaul kemiskinan, ketaatan, dan selibat—menunaikannya. Pada 1965, sekolah ini resmi berdiri.

Sekolah ini kemudian berkembang dan terkenal karena kualitas akademik dan metode pendidikannya yang berbasis pada pengembangan karakter. Di Jakarta, PL masuk dalam daftar sekolah unggulan. “’Morfinis’, tapi jenius semua,” begitu kata Dave menirukan kesan orang luar. Morfinis adalah kiasan zaman itu yang berasosiasi pada kenakalan anak muda.

Adhi Septyo Nugroho, atau biasa disapa Sesek, menyetujui soal aspek pembangunan karakter di PL. Ia, yang lulus pada 1991 dari PL, merasakan manfaatnya bertahun-tahun kemudian. Sebagai seorang pengarah artistik di Narada Communication, pendidikan di PL menempa sisi kreativitasnya.

Seangkatan dengan Sesek, Benny Prawira Soeryatama mengatakan bahwa materi pelajaran di PL lebih “berat” ketimbang sekolah-sekolah lain. Ketika Benny kuliah, bahkan hingga semester enam, banyak materi yang sudah dipelajarinya ketika SMA. Makanya, walau “Tahun pertama kuliah itu (saya) main-main, (tapi) IP bisa dapat 3,6,” kata kepala divisi di suatu perusahaan perkapalan nasional ini.

Untuk menyaring kualitas siswa, PL menetapkan standar tes IQ yang tinggi. Walau begitu, siswa-siswa terpilih ini tetap saja kewalahan dengan materi yang ada. Sebagai contoh, selain ujian nasional dari pemerintah, PL juga mengadakan ujian tersendiri. Mendapat lembar ijazah pemerintah bukan berarti juga mendapat ijazah PL. Hanya sejumput dari mereka yang berhasil mengantungi ijazah PL. Beberapa kampus yang tahu mengenai ini, memilih menyaring siswa dari PL lewat ijazah PL, bukan ijazah nasional.

Karena kualitas akademik dan konsep pengembangan karakterlah, banyak orangtua siswa berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di PL. Mereka tahu, PL merupakan sekolah berbasis agama Katolik. Tapi orangtua siswa non-Katolik tak keberatan memasukkan anak-anaknya bersekolah di sini. Mutu pendidikan ini pula yang membuat PL tak terlalu memedulikan hal-hal yang tak begitu esensial, salah duanya adalah soal ketentuan berseragam dan model rambut.

Pernah pada masanya, lelaki berambut gondrong dipandang negatif. Di Indonesia, itu terjadi pada 1970-an. Menjadi gondrong itu terlarang. Pemerintah Orde Baru menganggap kegondrongan sebagai sikap acuh tak acuh pemuda yang tak sesuai dengan kepribadian bangsa. Rambut memang soal kebebasan berekspresi yang sifatnya privat, tapi orde tersebut merasa perlu mengaturnya hingga membentuk badan khusus bernama Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong). Aria Wiratma Yudhistira dalam bukunya, Dilarang Gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an (Marjin Kiri, 2010), menceritakan ihwal razia terhadap pemuda gondrong yang dilakukan di jalan-jalan. Sekolah dan kampus pun memberlakukan larangan ini. Artis yang ingin tampil di TVRI dan pemain sepak bola juga kena getahnya.

Pelarangan rambut gondrong sebangun dengan upaya penyeragamaan pakaian sekolah. Keduanya sejatinya adalah selera kekuasaan, dan itu berarti bentuk penguasaan atau penundukan. Haris Firdaus dalam esainya di Karbonjournal.org pada 3 Oktober 2009, “Penyeragaman yang Selalu Gagal”, melacak jejak pertama kali penerapan aturan berseragam di sekolah diberlakukan, yakni pada 17 Maret 1982, lewat Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P & K).

Padahal sebelumnya, antara 1965 – 1985, tak ada ketentuan mengenai seragam dan model rambut di PL. Tapi pada 1985, Kanwil P & K mendesak PL untuk menerapkannya. Aturan berseragam akhirnya diberlakukan, namun dengan model seragam yang berbeda dengan sekolah lain. Kalau SMU umumnya identik dengan seragam putih-abu-abu, maka PL mendesain seragamnya sendiri dengan warna hitam untuk bawahan dan kemeja bermotif kotak-kotak untuk atasan.

Ketentuan ini terang ditolak para siswanya dengan beragam polah. Pernah suatu kali, ujar Dave, ada temannya yang datang ke sekolah mengenakan seragam dengan warna yang dibalik: memakai kaos hitam dan celana golf kotak-kotak milik bapaknya. Makin senior, makin ngaco pula seragamnya. Ada yang, misalnya, memakai kemeja bermotif bunga-bunga, polkadot, “Bahkan ada yang memakai kemeja putih yang ditulisi ‘kotak-kotak’!” seru Yuka terbahak-bahak.

Eskalasi penolakan siswa atas seragam meningkat pada tahun-tahun kemudian. Pada Maret 1988 penolakan itu pecah. Sebuah demonstrasi besar terjadi. “Anak-anak mogok sekolah dan mengokupasi aula, tidak mau masuk kelas,” ingat Dave. Waktu itu sedang masa minggu tenang Pemilu 1988. Suasana tegang. Sejumlah polisi bersiaga di ujung sekolah. Aksi protes baru reda ketika para alumni PL angkatan 1975 datang untuk menenangkan para siswa.

Sama halnya dengan seragam, kewajiban berambut pendek juga diberlakukan di PL. Tapi karena adanya tawar-menawar antara siswa dan guru—melalui OSIS mereka yang memang aktif—maka aturannya dimodifikasi sedikit, yakni boleh panjang asal rapi dan tidak menyentuh tengkuk. Dasar jahil, ada-ada saja ulah mereka, dari mulai dijepit, dikuncir ke atas, hingga yang berjalan handstand tatkala tertangkap basah belum memendekkan rambut—yang penting tidak kena tengkuk!

* * *

REMAJA, adalah sosok yang absen dalam gambaran keluarga Orde Baru. Riwayat remaja adalah riwayat yang sungsang, terasing, dan dianiaya oleh anggapan. Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (Kepustakaan Populer Gramedia, 2001) membongkar bagaimana konsep keluarga diterapkan dan dimaknai dalam kehidupan politik Orde Baru. Ia menemukan bahwa dalam buku-buku pelajaran sekolah, sebuah keluarga digambarkan hanya terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak kecil. Remaja tidak ada. Remaja tidak mendapat panggung.

Remaja dienyahkan, karena anggapan atas posisinya yang ambivalen. Ia dianggap “sudah melakukan dosa” karena sudah tidak anak-anak, tapi ia juga “belum manusia seutuhnya” karena belum berusia dewasa. Singkatnya, remaja adalah sosok yang dicemaskan dan tak diharapkan menjadi ksatria.

Tak tampil di bacaan sekolah, yang disediakan untuk remaja malah panggung di medium lain, yang kerap dianggap tak penting secara sosial-politik, yakni pada media populer semacam majalah, film, dan musik. Kita tahu, di medium ini, remaja pelaku adalah komoditas dan remaja konsumen adalah pasar. Di sana, sebab dilucuti konteks sosialnya, remaja seakan dibebaskan dari tanggungjawabnya. Remaja kembali menjadi tak penting.

Tak terkecuali bagi siswa PL pada masa Orde Baru, mereka juga merupakan remaja yang tumbuh dalam cuaca demikian. Lantas, bagaimana cara guru-guru bersikap dan mengelola ambivalensi remaja PL? Apa yang mereka lakukan dalam menyelesaikan masalah dan memberi hukuman? Nyatanya, mereka melihat remaja dalam kerangka yang lain. Mereka tak bisa marah hanya karena sekadar tingkah bengal siswa. Selain karena bukan hal yang esensial, mungkin mereka melihat itu semua sebagai bentuk kreativitas anak didiknya.

“Tidak ada (siswa) yang pernah dikeluarkan karena melawan,” ujar Dave. Di PL, yang dianggap pelanggaran berat adalah hal prinsipil, umpamanya kejujuran. Misalnya, pernah ada seorang siswa dikeluarkan dari sekolah karena memalsukan tanda tangan orangtuanya dalam sebuah surat izin tak mengikuti suatu kegiatan.

Di sisi lain, hukuman yang diberikan kadang unik dan tak bertujuan mencari “keadilan”. Pada cerita berikut, misalnya, suatu hari siswi-siswi dari sekolah lain datang ke PL untuk menyampaikan undangan. Lugunya, mereka datang pada saat yang salah, yakni pada jam istirahat sekolah. Alhasil siswi-siswi “malang” itu dikerubuti, disoraki, dan diikuti sampai ke ruangan kepala sekolah. Walau bel tanda masuk telah berbunyi, tapi pemuda-pemuda “lapar” tersebut seperti tak mendengar. Seusai itu, dua puluhan siswa akhirnya mengantri untuk diinterogasi oleh kepala sekolah. Hukumannya? Yang colek-colek diskors satu hari, yang teriak-teriak diskors dua hari, dan yang menonton diskors tiga hari!

Dengan kenyataan demikian, rasanya PL memilih jalan lain dari gaya umum mendefinisikan remaja. Kehadiran remaja adalah penting dan tak layak disepelekan. Membina masyarakat berarti dimulai dari membina remajanya. Di PL, remaja bukanlah sosok yang ada untuk sekadar menjadi patuh dan menerima aturan-perintah-hukuman tak masuk akal. Itulah sebabnya aspek pengembangan karakter yang esensial lebih digarap ketimbang menjejali dengan hal-hal yang telanjur diterima sebagai “kebenaran”.

Karenanya, PL menjadi khas, menjadi berbeda dengan kebanyakan institusi pendidikan. Kekhasan inilah—seragam, model rambut, hukuman, bahan ajar, kultur sekolah, dan lainnya—yang rupanya berperan membangun kebanggaan bagi para siswanya. Kesadaran bahwa mereka “berbeda” dengan yang lain, dibentuk dan dikelola terus-menerus oleh budaya di PL.

Tapi akibatnya, “Kita nggak bisa bercanda dengan (siswa sekolah) yang non-homogen,” celetuk Irto. “Sering nggak nyambung,” lanjutnya. Mereka merasa hanya dengan sekolah “sejenislah” mereka bisa cocok, yakni seperti Kolese Kanisius dan Kolese Gonzaga yang juga mengkhususkan diri sebagai sekolah laki-laki, atau Tarakanita dan Santa Ursula, sekolah khusus perempuan. “Entah kenapa, padahal nggak diniatkan,” kata Irto.

Itulah mungkin sebabnya, alumni PL kerap mengalami semacam “gegar budaya” pada lingkungan barunya pasca-PL, misalnya kampus dan dunia kerja. Pada titik ini, kenyamanan dan kemapanan cara berpikir dan bertindak yang dipraktikkan menahun di PL, mesti cepat diadaptasikan. Menurut Dave, ada dua kemungkinan yang biasanya terjadi pada alumni PL di lingkungan barunya tersebut, yakni menjadi informal leader atau alien, alias dianggap aneh oleh lingkungannya.

Siswa PL sendiri biasanya kesulitan menjawab kenapa hal itu terjadi. “Yang kami lakukan adalah proses othering: bisa membedakan yang bukan kami, tapi nggak bisa menceritakan siapa kami,” jelas Dave.

Pernah, misalnya, pengalaman seorang teman mereka yang marah dipanggil “Cina” di lingkungan kampusnya. Padahal, di PL olok-olok etnisitas bahkan agama adalah hal yang dianggap lumrah. “Lo kan bukan PL, ngapain manggil gue Cina,” ingat Irto menirukan kisah salah satu temannya.

Nah, bicara soal etnisitas dan agama di PL, kedua hal ini diperlakukan dengan santai. Berbeda dengan situasi hari ini, di mana identitas agama dan etnis ditanam mati sehingga meminggirkan dialog, di PL hal tersebut diperlakukan tanpa ketegangan, bahkan menjadi bahan olokan.

Dengan mayoritas profil siswanya berasal dari keluarga kelas menengah—anak Pegawai Negeri Sipil, jenderal, petinggi Pertamina, dan pengusaha—etnis dan agama di PL sangatlah beragam. Komposisi agama cukup berimbang, sekalipun Islam dan Katolik tetap lebih dominan dibanding agama lainnya. Begitu pula dengan ragam etnis yang ada. “Kalau (etnis) Cina biasanya dari (Jakarta) Selatan, bukan Kota (Jakarta Barat). Cina Kota masuknya Kanisius,” ujar Yuka.

Keberagaman yang ada tidak pernah memicu konflik, malah justru melahirkan anekdot-anekdot jenaka. Irto ingat betul kejadian di kelas yang sering terjadi ketika adzan berkumandang dari masjid yang berada tak jauh dari PL. “Anak-anak yang Katolik teriak ‘panas, panas, panas’ sambil tutup telinga,” kenang mereka semua secara bersamaan, disusul ledakkan tawa. Sebaliknya, Dave mengenang, ketika siswa Islam dapat jatah memimpin doa pulang, maka dalam doanya ditambahkan seruan, “Buatlah Kristen-kristen ini tobat.” Jenaka dan komikal, memang.

Tapi mari kembali menyoal ketidaknyambungan siswa PL dengan siswa sekolah lain. Walau Irto mengatakan bahwa hanya dengan sekolah sejenis mereka bisa cocok, tapi seringkali hal itu justru menjadi sumber konflik atas nama prestise. Ketika itu, sekolah khusus lelaki di Jakarta bukan hanya PL. Ada Kanisius di Menteng, Jakarta Pusat, dan Gonzaga di Pejaten, Jakarta Selatan. Pada keduanyalah siswa PL kerap bersinggungan—apalagi pada era Irto dan kawan-kawan, tawuran antarsekolah marak terjadi. Dan konflik seringkali tak terelakkan.

Yuka ingat kisah kawannya yang pernah dikejar siswa Kanisus. Sama-sama menggunakan mobil, tapi “Anak Kanisius dua mobil,” ungkap Yuka. Tibalah mereka pada sebuah jalan buntu. “Mati kita!” batin mereka. Untungnya ide mereka tak ikutan buntu. Berbekal sepucuk pistol angin mainan yang sedang tren kala itu, seorang kawan dengan yakinnya turun dari mobil sambil mengarahkan moncong pistol ke arah siswa Kanisius. Kawan lain tak kekurangan akal. Ia mencegah kawannya yang “kalap” tersebut sambil terisak, “Jangan, jangan. Ingat masa depan lo!” Dikeker beceng, plus ditambah adegan dramatik, kubu Kanisius perlahan mundur, dan akhirnya kabur.
Kisah konyol seorang kawan yang lain, terjadi dengan siswa Gonzaga. Dalam keadaan setengah mabuk, kawan ini lewat di depan sekolah Gonzaga, dan meluncurlah kejahilan itu: papan nama Gonzaga dipreteli huruf-hurufnya, hingga nama “KOLESE GONZAGA” disisakan hingga hanya tertera huruf “EE” saja, beserta logonya. Dan, ya, dugaan Bung benar mengenai kejadian esok paginya: PL disambangi anak-anak Gonzaga. Ricuh.

Tapi karena kultur kolektivitas dan solidaritas yang begitu kuat, siswa tersebut kemudian dibela teman-temannya, juga para guru. Mereka mati-matian menolak mengembalikan huruf-huruf yang dipreteli temannya tersebut. Padahal, setelah ditanya, temannya itu juga tidak tahu di mana ia menyimpan “hasil jarahannya”.
Kultur kolektivitas dan solidaritas demikian, menurut Dave, tidak semata-mata disumbangkan dari situasi yang ada di PL, namun dibentuk oleh era tersebut. Baginya, bukan PL, tapi era itulah yang menebarkan energi kolektivitasnya. Pertama, media sosial belumlah ada. Karenanya, eksistensi hanya dapat digapai lewat aktivitas nyata, yaitu nongkrong. Kedua, “Kami adalah generasi terakhir yang orangtuanya tidak protektif,” terang Dave yang juga aktif sebagai pemusik cabutan di beberapa kelompok musik seperti Gribs dan simakDialog. Sehingga karenanya, mereka bisa lebih eksploratif dalam hidupnya.

Memang, banyak temannya yang datang dari keluarga kaya, tapi orangtua di era itu membiarkan anak-anaknya merasakan kesusahan. Ini beda dengan generasi yang orangtuanya hidup dalam situasi serba nyaman, seperti yang banyak kita temui sekarang, di mana mereka akan mendidik anaknya dengan kenyamanan tertentu pula. Sedangkan menurut Yuka, “Orangtua kami mengalami mengungsi di zaman perang.”
Karena itu, tak jarang, jika ada siswa yang mengadu tentang kenakalan teman-temannya di sekolah yang keterlaluan kepada orangtuanya, aduannya malah tak digubris, dianggap sesuatu yang biasa, karena belum apa-apa jika dibandingkan masa muda orangtua mereka yang keras.

Singkat kata, ada semacam semangat antikemapanan yang tumbuh subur di PL. Beberapa teman Dave, yang berasal dari keluarga kaya, memilih naik bus atau menebeng, termasuk anak dari Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Negara Lingkungan Hidup kala itu. “Yang dibenci di PL justru anak-anak yang gaul pakai duit,” nyinyir Dave.

***

PADA sebuah lift di bekas kampus tempatnya mengajar, Yuka mendadak berkeringat dingin. Pasalnya, baru saja seorang tua masuk ke dalam lift yang ia tumpangi. Tinggi pria itu kira-kira 175 sentimeter. Kulitnya coklat. Kepala depannya botak, tapi rambut kriwil-kriwil agak gondrong menjejak di belakang. Tatapannya setajam belati. Ditatap olehnya bagai ditombak. Ia adalah Purwanto, seorang guru killer di PL.

Di kalangan siswa PL, Purwanto disebut PW. Kepada bekas gurunya tersebut, rasa takut Yuka belum minggat, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Bertemu Purwanto secara tiba-tiba membuat Yuka seakan lupa bahwa ia adalah seorang dosen. “Jakun rasanya pindah,” celotehnya mengenang sambil cekikikan.

Purwanto adalah teror. Yuka menggambarkan, cara Purwanto berjalan sangat pelan, seperti tidak menjejak, dengan tangan di belakang. Suaranya lambat tapi menggelegar. Salah satu jurusnya adalah “kopling”, yakni sebuah istilah dari para siswa PL pada zaman itu atas tindakannya: memarahi seseorang sambil menjambak dan menarik-dorong kepala orang itu.

Pernah suatu ketika seorang kawan bernama Bobby tidur seharian di kelas. Ia duduk di kursi deret belakang. Jam pelajaran berikut adalah giliran Purwanto mengajar. Bobby sudah dibangunkan, tapi ia setia pulas. Dengan santai Purwanto menghampiri Bobby, duduk di atas meja, di samping kepala Bobby, dan meluncurlah suaranya, lembut, tapi dingin dan mencekam seisi kelas, “Bobby… Bobby…” Lanjutnya, kini setengah bernyanyi, “Bangun… bangun… hari sudah siang.” Bobby akhirnya terbangun, dan terkejut luar biasa tatkala sadar bahwa Purwanto sedang duduk di mejanya. “Bagus… Ngantuk, Mas?” tanya Purwanto. Dan ritual itu pun tunai sudah: kopling.

Yuka menceritakan kembali ceritanya ini dengan terbahak sejadi-jadinya. Begitu pula Sesek, Irto, Dave, dan Benny yang menyimaknya. Tetapi pada hari itu, bukan tawa yang terbit, tapi gidik. Takut menyapa seisi kelas.

Bukan hanya guru yang ditakuti yang bisa dikenang. Mereka ingat ada beberapa guru yang langganan dikerjai: seorang guru perempuan tua yang dijuluki Nenek Lampir. Tiap ia masuk kelas, para siswa spontan bersorak menirukan tawa nenek lampir, “Hihihi… hihihi.” Tapi tak sampai setengah tahun, “Anak-anak bosan sendiri,” Dave berseloroh.

Ada juga guru yang dikenal berbau badan, hingga para siswa menyemprotkan pewangi ruangan terlebih dahulu setiap kali guru itu mau masuk kelas—bahkan kadang di depan gurunya! Ada lagi guru yang berbau mulut, sehingga para siswa ketika didekati bergurau dengan enteng, “Mundur, Pak. Mundur, Pak. Jangan dekat-dekat.” Mereka sungguh kurang ajar: siswa yang duduk di barisan depan biasanya memakai sapu tangan secara terang-terangan di depan guru. Dan untuk menjahili kawan, cerita Yuka, biasanya ada yang sesumbar kepada guru tersebut, “Pak, si anu nakal, minta dinasehati.”

Lalu bagaimana dengan guru baru? Pasti dikerjai, terutama guru muda. Kalau guru tersebut bisa bertahan lama, berarti sudah teruji. Karena, “Ada yang cuma (mampu bertahan) tiga minggu,” kata Irto. Bentuk kejahilannya bermacam-macam. Dari diabaikannya guru itu dengan para siswanya duduk menghadap ke belakang, main tak jongkok di kelas, menaruh petasan di meja guru, sampai ada yang masak nasi goreng di dalam kelas!

Tapi dengan guru, Yuka punya pengalaman yang membuatnya terharu. Adalah Aloysius A. Tolok, nama guru itu, yang mengajar beberapa mata pelajaran seperti Hitung Dagang, Aljabar, Falak, Goneometri, Stereometri, dan Hitung Keuangan. Pada mata pelajaran Tolok, semua siswa paceklik nilai bagus. Termasuk Yuka, yang nilai tertingginya hanya lima.

“Pernah suatu hari nilai gue lima setengah,” kata Yuka. Tolok tak lantas diam. Ia bergegas mencari Yuka. Sekolah ia kelilingi. Ia sambangi kelas-kelas, kantin, taman, dan lainnya. Tolok mencari Yuka hanya untuk bilang bahwa sebenarnya Yuka bisa dapat nilai lebih baik kalau belajar. “Gue terenyuh waktu itu,” ujar Yuka mengingatnya.
PL memang punya tempat khusus di hidup Yuka. “Gue nggak mungkin bisa menemukan hidup gue yang sekarang kalau nggak ngelewatin masa-masa gue di PL,” ujarnya. Pun Irto. Buatnya, masa-masa di PL adalah “Tahun-tahun yang membentuk gue sekarang ini.” Di PL, mereka belajar bagaimana caranya memilih dan bersikap terhadap banyak hal. Dan dengan mengenangnya, mereka bahagia. Yuka mengenangkan salah satunya.

Menjelang kelulusan, seperti biasa, para siswa sibuk memikirkan universitas tujuan masing-masing. Tapi tidak bagi Yuka. “Yang ada di pikiran gue cuma main band dan mabuk,” ingatnya.

Guru Tolok menanyainya, “Lo mau sekolah di mana?”
”Nggak tahu, bos,” jawab Yuka sekenanya.

Tolok kemudian menyarankan Yuka untuk mendaftar di jurusan Seni Rupa di ITB. Yuka  heran, sekaligus ragu, karena seniornya, angkatan 1991, tak ada yang tembus.
“Memang gue bisa?”

Tolok hanya menjawab santai, “Nggak tahu. Tapi gue punya feeling (kalau) lo bisa.” Maka mendaftarlah Yuka sesuai saran Tolok.

Hari pengumuman yang dinantikan itu akhirnya tiba. Kala itu, pengumuman hanya ada di harian Pikiran Rakyat dan lewat pengiriman surat ke rumah bagi yang diterima. Tak disangka, Yuka lolos. Namanya tertera di pengumuman tersebut.

Dua hari sesudahnya, Yuka datang ke PL. Di tempat yang akan segera ia tinggalkan itu, Tolok menemuinya. Guru tersebut merangkul dan menyelamatinya. Kali ini Yuka menangis.***

Diterbitkan di Majalah Bung! edisi 3

Kebrengsekan yang Saleh, Kesalehan yang Brengsek

DI JALAN Juanda, Jakarta Pusat, pernah berdiri dua toko buku: Kolf dan van Dorp. Konon, Chairil Anwar dan Asrul Sani sering melancong ke sana. Suatu hari tampak buku Nietzsche terpajang di rak. “Wah, itu buku mutlak harus dibaca!” seru Chairil kepada Asrul. Niat nakal pun terbit. Melihat Chairil bercelana komprang dengan dua saku lebar, Asrul menyuruhnya mencuri, sementara ia mengawasi si penjaga toko.
Mereka berhasil keluar dari toko mengantongi buku curian. “Deg-degan setengah mati,” kenang Asrul. Namun terkejutlah mereka, ternyata mereka salah mengambil Injil, bukan buku Nietzsche, yang memang sama-sama nangkring di rak buku agama. Asrul dan Chairil pulang dengan dongkol.
Pasangan sahabat penyair dan dramawan ini mungkin tak menyangka puluhan tahun kemudian seorang pemuda terinspirasi ulah mereka. Namanya Ahmad, 32 tahun, yang minta profesinya ditulis sebagai tukang tanya. …baca lebih lanjut