Sindrom Kritik Musiman

Untitled_17
MAAFKAN atas kelancangan tulisan ini, yang bertanya di penghujung Ramadhan, di tengah persiapan kita menyiapkan pesta bagi hari kemenangan: apakah tuntutan agar televisi menjadi baik selama Ramadhan bisa tetap kita gemakan pada sebelas bulan lainnya?
Pasalnya, tiap Ramadhan, televisi mendadak mendapat perhatian lebih. Ia kemudian dicurigai, diwanti-wanti, dan dikeluhkan. Selama sebulan dalam setahun, televisi bak memanen kritik atas dirinya. Namun tulisan ini bukan untuk menambah daftar kritik itu—yang memang masih kurang banyak dan keras!—melainkan ingin mengkritik kritik terhadap televisi selama Ramadhan. Bukan ingin membela kelakuan industri televisi—termasuk pemilik dan pekerjanya, yang memang sudah sepantasnya menerima keluhan dan penyesalan dari masyarakat yang waras atas apa yang mereka tampilkan di layar kaca—tapi tulisan ini ingin mendiskusikan bahwa kritik kepada televisi yang terfokus dan serius hanya pada saat Ramadhan sebetulnya sedang mengembangkan cara berpikir yang keliru, yang malahan mendorong iklim investasi yang ramah bagi wajah bopeng televisi.
Kita tahu, selain sebagai sebuah momentum keagamaan, Ramadhan adalah juga sebuah momentum budaya dan politik. Sebagai momentum yang demikian, Ramadhan lalu menjadi arena bagi banyak pihak untuk menyatakan diri dan posisi. Maka penguasaan ruang, upaya pendefinisian, atau pengenaan atribut penanda kehadiran telah menjadi modus tahunan bagi siapa pun yang berkepentingan merebut kuasa dan simpati lewat Ramadhan. …baca lebih lanjut

Mewaspadai Televisi di Tahun Politik

BUKAN subtansi, tapi pencitraan. Begitulah ketika politik tampil di dalam media, terutama televisi. Medium ini akan memaksa sang komunikator untuk lebih banyak menghabiskan energi dalam hal pencitraan ketimbang substansi, cara menampilkan diri ketimbang bicara isi, juga pemilihan jargon dan warna dasi ketimbang ideologi dan argumentasi politik. Agar berhasil, upaya bersolek ini mesti dibarengi dengan banyaknya penampilan di media.
Riset yang dilakukan Institut Studi Arus Informasi (ISAI), TIFA, dan Media Development Loan Fund pada Pemilu 2004 menunjukkan bahwa frekuensi kemunculan seorang politikus di media berbanding lurus dengan jumlah perolehan suara rakyat. Begitu pula riset ISAI dan TIFA lima tahun kemudian, yakni pada Pemilu 2009. Kemenangan pasangan SBY-JK pada 2004 dan SBY-Boediono pada 2009 dilatari oleh aktivitas tampil di media dengan jumlah terbanyak. Maka bisa jadi: kemenangan politik bermula dari kemenangan menguasai media.
Media tentu sah-sah saja menjadi sarana berbagai kelompok atau partai politik mana pun untuk mengartikulasikan pesan atau sekadar menampangkan wajahnya—sejauh media mampu mengatasi prinsip independensi, imparsial, dan netralitas. Namun, setangguh apa media mampu memerankan tugas tersebut dengan sungguh serta tanpa tergoda dibeli oleh mereka yang menguasai kapital dan jaringan kekuasaan? …baca lebih lanjut

Bertanyalah pada Media yang Bergoyang

Whoever controls the media, controls the mind
– Jim Morrison –

APAKAH arti dari fakta ini: ratusan jumlah media massa yang beredar di Indonesia, tapi dimiliki hanya oleh 12 kelompok bisnis? Berlebihankah jika ini diartikan bahwa hanya 12 orang pengusaha yang mengatur arus informasi kita hari-hari ini? Hanya 12 orang, yang tidak bisa ditebak motif ekonomi dan politiknya, yang mengarahkan jenis informasi apa saja yang dianggap perlu bagi 250-an juta jiwa penduduk Indonesia.
Tren kepemilikan media yang terpusat ke beberapa orang memang menjadi tren global yang turut dianut di Indonesia. Regulasi yang lemah, alpanya negara, mesranya hubungan kepentingan politik dan bisnis, dan melemah-dilemahkannya publik menjadi faktor yang mengizinkan semua ini terjadi. Alhasil, oligarki media tengah terjadi di Indonesia. Sekelompok kecil elit menguasai dan mengarahkan opini dan pengaruhnya. …baca lebih lanjut

Kita, yang Tak Ada di Layar Televisi


Metro Malam, 26 Sept
Dok. Remotivi
Ada berita apa hari ini, Den Sastro?
 Suara itu sejak lama tidak lagi terasa mengganggu,
 tidak lagi menimbang-nimbang apa yang seharusnya terjadi,
tidak lagi meragukan apa yang telah menjadi berita.
– Sapardi Djoko Damono, dalam “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?”

KABAR APA YANG DATANG dari daerah di luar Jakarta? Dari televisi Jakarta kita tahu, kalau bukan kepedihan dan kemurungan, kabar tentang “mereka” adalah kedunguan, keberingasan, dan keterbelakangan.
Bukankah keberingasan, kalau kabar dari Makassar melulu adalah tawuran atau kriminalitas? Bukankah keterbelakangan, kalau yang dianggap sebagai sebuah diskursus publik lokal adalah berita dari Sumatera mengenai seorang ibu yang menghukum anak dengan menjemurnya? Bukankah oleh televisi kita diharuskan menjadi murung, ketika menyimak berita tentang seorang ibu di Sulawesi yang memelihara buaya sungai sebagai anaknya; dibaringkan di kasur, diberi makan, dan dimandikan?
Potongan cerita di atas cumalah sederet kecil potret mengenai daerah di luar Jakarta yang dibingkai oleh perusahaan televisi Jakarta. Berita mengenai “mereka”, dibuat semenarik mungkin—kalau perlu yang mampu bikin geleng-geleng kepala—khususnya bagi orang Jakarta. Karena tentu yang menarik mengenai “mereka” bukanlah persoalan politik, sosial, atau budayanya yang substantif, yang menyangkut kehidupan “mereka” yang terdalam. Sesuatu yang aneh, sensasional, dan bombastis, justru adalah rumusan yang cihui untuk merampas perhatian “pemirsa yang dibayangkan” oleh para pekerja televisi Jakarta. Apakah kemudian berita-berita itu relevan dan penting bagi daerah tempat sumber berita, itu tidaklah penting bagi perusahaan televisi Jakarta.
Continue reading “Kita, yang Tak Ada di Layar Televisi”

Berbahasa Satu, Bahasa Televisi: Hiburan

Para pedagang buku bekas itu tertawa. Mereka menertawakan saya yang keluar-masuk kios mencari buku Menghibur Diri Sampai Mati. Ditulis oleh Neil Postman, buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 1995 dari judul aslinya Amusing Ourselves to Death, yang terbit pada 1985. Buku yang tergolong lawas memang. Tapi pasti bukan itu alasan mereka menertawai saya.
Mungkin ini: menghibur diri sampai mati. Terasa konyol, memang. Untuk apa kita menghibur diri sampai mati, begitu mungkin pikir mereka. Bukankah kita memang suka dihibur? Bukankah kita menantikan hiburan tiap detiknya? Justru, hidup ini akan lebih baik jika semua hal yang dialami dan dikerjakan bermakna sebagai hiburan. Tapi, adakah hiburan yang bisa membikin kita mati? Adakah kita bisa dimatikan oleh sesuatu yang kita cintai? Ada. Postman mendakwakan sangkaannya ini pada televisi.
Namun isi dakwaannya ini lain dari apa yang kebanyakan orang pikirkan hari-hari ini tentang televisi. Ketika banyak dari kita memikirkan bagaimana televisi bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan, Postman justru berpikir bagaimana pendidikan bisa digunakan untuk mengatasi televisi. Ketika kita sibuk menuntut televisi untuk menyajikan hal yang penting dan serius, ia malah menyarankan agar jangan sampai hal-hal penting dan serius itu dibicarakan oleh televisi. Ketika kita meminta televisi untuk tak menyajikan sampah, Postman malah seakan berkata sebaliknya: buanglah sampah pada televisi. Karena baginya, masalahnya bukan mengenai apa yang kita tonton, melainkan bahwa kita menonton televisi. …baca lebih lanjut

Menonton Hewan di Layar Kaca

SEBUAH OPINI oleh Tri Satya Putri Naipospos di KOMPAS edisi 13 Juni lalu, “Kekerasan pada Ternak”, menunjukkan bahwa memang ada soal tentang bagaimana hewan diperlakukan di republik ini.

Naipospos menulis, dalam hal kekerasan terhadap hewan, Indonesia tak mematuhi kaidah kesejahteraan hewan internasional. Ke depan, Indonesia tetap jadi sasaran kritik dunia internasional mengenai isu penyiksaan dan perlakuan semena-mena terhadap hewan.

Televisi sebagai media yang berdaya jangkau luas dan berdaya bujuk jitu, termasuk pihak yang perlu dilibatkan dalam membangun pandangan masyarakat, terutama anak-anak, dalam perlakuannya terhadap hewan. …baca lebih lanjut