Festival Lima Gunung: Tradisi Pesta Komunitas

Festival Lima Gunung XIII adalah festival kesenian tahunan yang digiati Komunitas Lima Gunung. Pada 23-24 Agustus 2015, setelah sekian tahun batal melulu, saya akhirnya bisa menyaksikan langsung riangnya warga desa merayakan kesenian. Buat saya, inilah festivus yang sebenarnya: tradisi pesta komunitas. Ia ada dan diadakan untuk komunitasnya, para penghayat kebudayaannya. Di sini, orang luar adalah tamu, bukan calon konsumen. Setiap orang diperlakukan setara, termasuk Wakil Presiden Boediono yang dibiarkan duduk lesehan di tanah berbaur bersama penonton lain pada pelaksanaan festival di tahun-tahun sebelumnya.

Komunitas Lima Gunung adalah paguyuban warga beberapa dusun yang tinggal di daerah yang dikelilingi 5 gunung di Magelang, Jawa Tengah (Merbabu, Merapi, Sumbing, Andong, dan Menoreh). Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai petani, sambil melakukan kesenian di kelompoknya masing-masing di tiap dusun. Komunitas ini diinisiasi oleh Sutanto Mendut. Ketika pertama kali saya berkenalan di rumahnya pada 2009, Pak Tanto bicara dari jam 5 sore hingga 6 pagi keesokan harinya. Tanpa henti. Pembicaraan berhenti karena saya akhirnya memberanikan diri untuk memberitahu jam saat itu. Saya hampir menangis bahagia ketika akhirnya bisa tidur.

Festival ini menolak sponsor. Sitras Anjilin, pemimpin sanggar Tutup Ngisor, mengatakan pada saya alasannya, “Ya, karena kami merasa kuat, jadi tak perlu sponsor.” Saya sungguh belajar banyak dan bahagia berada di festival ini. Sementara itu, seniman metropolitan yang wara-wiri masuk media dan festival internasional, masih saja mengeluh soal ketidakberpihakan negara—walau ini benar.

Hal lain yang penting buat saya adalah, festival ini akan menjadi perangsang bagi munculnya ide dan bentuk kesenian baru di masing-masing dusun.

Komunitas Lima Gunung, hormat dan salut saya belum putus sampai hari ini.

 

*Foto lainnya bisa dilihat di sini.

Akhirnya Benar

Masyarakat bekas jajahan seperti Indonesia kerap dilanda penyakit nginggris yang kronis. Masyarakatnya merasa belum cukup bersolek bila dalam tutur maupun tulis, istilah Inggris belum tersertakan. Tapi sayang, gaya dan daya sering kali tidak tidur dalam satu kasur.

Dan situasi seperti ini jadi dimungkinkan ada: kebimbangan yang mampir ke toko pemberi jasa layanan foto kopi; yang tidak seragam dalam penamaan diri mereka: “foto copy”, “photo copy”, maupun “photo kopi”. Di jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, secara tata bahasa Indonesia penulisan tersebut akhirnya benar: FOTO KOPI (23/7/2011).

Alergi Melayu

MAJALAH Tempo dalam edisinya yang bersampul Jokowi-Megawati memuat secarik surat pembaca bernada rasial. Bukan saja rasial, tapi surat yang ditulis oleh Ma’mun Gunawan tersebut memperlihatkan pemahaman kebangsaan yang lugu dan ahistoris. Menerakan diri sebagai Sekretaris DPD KNPI Garut, begini isi sebagian surat Ma’mun (Tempo edisi 9-15 September 2013, halaman 6):

Tarik Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Kami menemukan materi pembelajaran pada buku referensi pelajaran bahasa Indonesia terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kelas VII sekolah menengah pertama yang sangat tidak layak dibaca siswa. Materi tentang cerita pendek di halaman 220-225 tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi bahasa Melayu yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Ada beberapa kata yang tidak dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, seperti tercenung (halaman 221), ngosel (halaman 2254), dan mengingsut (halaman 225). Dari surat ini saya mencatat setidaknya dua hal yang menarik untuk disimpulkan: (1) Bahasa Indonesia dianggap bukan bahasa Melayu, dan (2) Sikap penolakan atas apa yang bukan “Indonesia”, lebih tepatnya Melayu.

Rasanya sangat aneh kalau hari ini kita masih membicarakan poin nomor satu. Tapi baiklah.

Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, begitu bunyinya. Di tengah demam bahasa Vicky Prasetyo, logika itu merupakan monumen kepandiran yang lain dalam alam bahasa kita. Kalau pada kasus Vicky itu menunjukkan inferioritas berbahasa—sekaligus cermin dari strategi berbahasa para demagog (politikus dan penipu)—maka surat pembaca ini menunjukkan kalau bahasa gagal dipahami sebagai identitas yang dibentuk melalui serangkaian peristiwa, perdebatan, dan hibriditas, yang kesemuanya berada dalam lingkup ekonomi dan politik. Bahasa kemudian dimengerti sebagai sesuatu yang terberi, steril, dan tanpa riwayat.

Entah, apakah para nasionalis macam Ma’mun tak tahu, kalau tonggak nasionalisme bahasanya ditopang oleh bukan hanya Melayu, tapi juga Cina, Arab, Jawa, Portugis, Sunda, Belanda, Latin, Kawi, Minangkabau, Sansekerta, Inggris, Tamil, Prancis, Ibrani, Austronesia, Bugis, dan sebagainya? Begitu banyaknya unsur bahasa bangsa lain, sehingga Alif Danya Munsyi pernah menulis buku 9 Dari 10 Kata Bahasa Indonesia Adalah Asing. Namun, bicara bahasa Indonesia, pada rahim bahasa Melayulah pertama-tama mesti kita tengok.

Kongres Pemuda Pertama pada 1926, dua tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda, memperdebatkan bahasa apa yang akan dipilih sebagai bahasa pemersatu sebuah wilayah kepulauan yang luas ini, yang kelak akan menjadi Republik Indonesia.  Ketika itu, dua bahasa dihadap-hadapkan untuk dipilih, yakni Jawa dengan Melayu. Muhammad Yamin, yang kelak menjadi arsitek sejarah (mitos) Indonesia, mengusulkan agar bahasa Melayu yang dipilih. Usulannya diperkuat Djamaludin yang ketika itu menjabat Sekretaris Panitia Kongres Pemuda. Persetujuan dari peserta kongres akhirnya membuat Melayu ditetapkan sebagai bahasa persatuan.

Saya tak akan meneruskan secara menyeluruh bagaimana riwayat bahasa Melayu menjadi bahasa nasional serta alasan-alasannya. Sebab, selain akan memperlihatkan pengetahuan saya yang sedikit terhadap ini, data yang ada di Internet sudah sangat melimpah ruah. Dan pengetahuan bahwa bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu adalah pengetahuan umum siswa sekolah dasar di seluruh provinsi dan kabupaten di Indonesia—termasuk Garut.

Lebih baik saya melanjutkan dengan ini: Alergi Melayu.

Sikap alergi Melayu tampak mengemuka dengan hebat dalam hampir satu dasawarsa terakhir. Dalam pengamatan saya yang terbatas, Melayu di sini merujuk sedikitnya pada dua hal, yaitu Malaysia dan musik Melayu. Musik Melayu yang dimaksud adalah musik arus utama Indonesia yang diwakili oleh kelompok musik Kangen, ST12, Wali, dan lainnya. Karena ia berbeda dengan musik Melayu yang dikenal sebelumnya, dan karena hanya menyerap sedikit unsur musik Melayu, maka kita namakan saja ia sebagai “musik pseudo-Melayu”.

Alergi terhadap Melayu Malaysia dipelopori oleh gerakan “nasionalis kagok” dengan berbagai slogannya (“NKRI Harga Mati”, dkk.) dan dagangannya (“DAMN I Love Indonesia”, “Save Our Heritage”, “Nasional-Is-Me”, dkk.), yang sikapnya dipicu terutama oleh “pencurian” kebudayaan Indonesia. Sedangkan alergi terhadap musik pseudo-Melayu diwakili salah satunya oleh kelompok musik Indonesia—tentu dengan para pengikutnya—yang bermusik dengan sistem musik Barat, yang dipicu oleh hegemoniknya aliran musik pseudo-Melayu tersebut di ranah industri musik. Kalau musik pseudo-Melayu kemudian diasosiasikan sebagai selera rendahan, kelas bawah, dan alay, maka kubu alergi Melayu Malaysia mengasosiasikan Melayu sebagai perompak dan musuh bebuyutan.

Satu yang sama: keduanya memaknai Melayu secara tunggal dan nir-konteks. Melayu tidak dilihat sebagai entitas etnis yang kompleks dan beragam, yang tersebar di berbagai wilayah. Serangan berbunyi “musik Melayu sampah” tidak berada dalam kesadaran bahwa itu akan menyenggol banyak identitas Melayu lain: Melayu Riau, Melayu Jambi, Melayu Palembang, Melayu Pontianak, Melayu Bugis, Melayu Tolaki, Melayu Bengkulu, dan lainnya.

Maka saya bisa memahami  kenapa masyarakat Melayu memprotes komentar seorang musisi yang dikutip media daring: “Ridho ‘Slank’ Malu Musik Indonesia Diracuni Melayu” (Judulnya kemudian diubah menjadi “Ridho ‘Slank’ Malu Musik Indonesia Menye-menye”). Meski mungkin yang dimaksud Ridho adalah musiknya ST12 dan kawan-kawan, tapi istilah Melayu secara otomatis merujuk pada siapa saja yang merasa diri orang Melayu.

Generalisasi pemaknaan tunggal atas Melayu kemudian menjalar ke semua kalangan. Atas efek ngantuk sehabis makan atau kebiasaan datang terlambat, seseorang akan balapan untuk menyahut, “Wah, Melayu banget!” Efek Rumah Kaca, band yang saya gemari, juga mengidap pemahaman serupa, yang tergambar dalam lagunya Lagu Cinta Melulu: “Kita memang benar-benar Melayu, suka mendayu-dayu”.

Sampai di sini, saya harus hentikan pembicaraan soal bagaimana pembingkaian Melayu dalam kepala kebanyakan masyarakat kita. Saya harus kembali ke soal utama tulisan ini: surat pembaca.

Saya tidak yakin persis, ke mana referensi Ma’mun dalam memahami Melayu: apakah Malaysia, ataukah stereotip atas sifat dan kebiasaan orang Melayu? Tapi dari pendapatnya yang lugu itu terjelaskan bahwa ia memandang budaya (bahasa) sebagai sesuatu yang lahir dari ruang hampa. Kehadiran bahasa dianggap alamiah dari sananya. Bahasa Indonesia dikesankan jatuh dari langit dan dipungut oleh mereka yang kemudian menamai diri Indonesia. Apakah ia akan segera “bertobat” jika upaya mencari orisinalitas kebangsaannya dicegat oleh kenyataan bahwa pemberian nama Indonesia justru disematkan pertama kali oleh seorang Skotlandia, James Richardson Logan, pada pertengahan abad ke-19?

Bahkan, Indonesia, bahasa yang dipakai Ma’mun untuk menulis di Tempo, setidaknya mengandung berbagai macam bahasa. Tak ada unsur tunggal dalam pembentukan sebuah budaya. Tak ada yang asli dalam budaya. Kalau pun ada, bagaimana mengukurnya, bagaimana memastikan keasliannya? Justru peradaban hari ini hanya bisa tumbuh kalau antarbudaya mau saling berbagi.

Lantas apakah hanya karena kata-kata yang dituding Ma’mun tak dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, berarti kita mesti menolak penggunaannya? Sayangnya, karena kerajinan saya, kecuali lema “ngosel”, sisanya saya temukan ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi daring) dan Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko, 2007).

Dan kalaupun bukan bahasa kita, lantas kenapa? Bukankah sejak awal bangsa ini menjadi ada karena praktik kawin-mawin silang, yang ikut melahirkan rupa kebudayaannya yang blasteran? Apa yang harus ditakuti dengan hibriditas? Apakah kebaikan atau kebesaran suatu bangsa menjadi berkurang tatkala orisinalitasnya KW super? Ataukah ini hasil pemikiran bahwasanya budaya adalah kata benda? Apakah “Indonesia” adalah kata benda?

Layaknya “Tuhan”, saya percaya, Indonesia adalah kata kerja. Definisi atasnya tidak akan pernah selesai dan tidak boleh selesai.

 


Photo by Patrick Tomasso on Unsplash

Siapa Menjamin Rasa Aman?

Siapa Menjamin Rasa Aman?
LARANGAN mengamen ini ditempel pada tembok sebuah kedai pinggir jalan di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, bernama Soto Betawi Globe (23/7). Nama FBR atau Forum Betawi Rempug tertera sebagai otoritas pemberi izin. Ketika muncul polisi swasta seperti ini, sebenarnya kepada siapa warga menggantungkan rasa aman dan nyamannya? Ketika warga dan pedagang dipungut iuran demi jaminan rasa aman, di mana negara yang seharusnya menjamin itu?

Aerobik Menulis

Kalau kau ditantang menulis tiap dua minggu sekali, apa dan bagaimana kau akan menulis?

Pertanyaan sesialan itu kini tengah saya hadapi. Dan pertanyaan ini benar-benar sialan bukan hanya karena sulit dijawab, bukan juga karena akan menambah-nambah pekerjaan, tapi juga karena kesusahan ini bikinan saya sendiri. Namun kadar kesialannya agak terikhlaskan—bukan berkurang—ketika sadar bahwa saya tidak menghadapinya sendirian.

Sebermula dari lontaran iseng saya kepada teman-teman di Remotivi. Bunyinya senafas dengan pertanyaan sialan di atas: bagaimana kalau kita menulis apa saja, dengan mutu apa saja, tiap dua minggu sekali, di blog masing-masing? Seperti tebakan saya, pada awalnya usul ini ditolak mentah-mentah. Alasan penolakannya pun hapalan: sibuk, tak ada waktu, nggak bakat menulis, nggak punya blog, malas, dan seterusnya. Sadar suara saya tak imbang, usulan ini saya tarik kembali, sembari menyimpan dendam kepada demonstran paling bengal: Muhamad Heychael.

Tak putus semangat, usulan ini saya lontarkan lagi kali kedua. Apalagi waktunya saya pas-paskan saat berlangsungnya pelatihan menulis internal yang diberikan oleh Yusi Avianto Pareanom. Tapi, cuma geming dan nyengir yang membalas.

Usaha yang ketiga sudah saya rencanakan untuk diuji-coba kembali pada rapat evaluasi bulanan. Karena terencana, maka saya punya waktu untuk melobi beberapa teman. Mulai dari yang menyusup dalam obrolan tentang pekerjaan Remotivi, sampai yang terang-terangan saya giring untuk bersetuju. Sampai hari ini saya yakin, tak satu pun dari mereka sadar siasat saya ini.

Maka tibalah hari itu. Usai rapat bulanan—yang salah duanya menyimpulkan bahwa remotivi.or.id kerap kesulitan mencari penulis dan perlunya antarkami untuk lebih sering menulis di media massa sebagai ajang publikasi—usulan itu saya ajukan lagi. Tanpa banyak debat, rasanya, usulan itu akhirnya disetujui bersama. Perjanjiannya, masing-masing dari kami akan menulis tiap dua minggu sekali di blog masing-masing, tepatnya tiap tanggal 15 dan 30 tiap bulannya. Yang melanggar, didenda Rp 100 ribu per tulisan.

Saya gembira dengan kesepakatan ini—sekaligus mengutukinya, tentu.

***

MENULIS bukan hal baru buat saya. Sejak SMA—sekitar 12 tahun lalu—saya sudah menulis untuk dibaca oleh orang banyak. Soal mutu, tolong jangan ditanyakan, karena ini hanya akan bikin siapa pun iba kepada saya. Belum lama ini saya pernah membaca tulisan-tulisan awal saya tersebut, dan saya menyangkal pernah menulis semua itu.

Singkat cerita, lamanya usia kepenulisanmu tak akan membuat menulis menjadi pekerjaan yang mudah. Saya sering mendapati diri frustrasi karena menulis satu esai yang tidak selesai-selesai. Saya juga sering merasa mengalami pelecehan ketika membaca ulang tulisan sendiri yang bulan atau tahun lalu saya terbitkan dengan penuh kebanggaan. Dan kalau percobaan bunuh diri saat buntu ide ikut dihitung, maka saya yakin tiap varian ceritanya bisa menjadi buku sendiri-sendiri dengan berbagi format: novel, buku motivasi, atau catatan harian—yang kesemuanya laris, sehingga bisa dibuat film (mengenai keberhasilan anak Petojo bersekolah di luar Petojo), diseminarkan (mengenai kisah keberhasilan mengalami muntaber di usia muda), atau dibikin kicau harian di Twitter (mengenai kemampuan mengatasi diri dari situasi sulit sehari-hari, misal: berlaku wajar di dalam kelas ketika kecipirit sementara dosen minta menghapus papan tulis, berbelok di jalan verboden tanpa merasa bersalah, atau tertawa alamiah pada lelucon bapak-bapak-formal yang tidak lucu).

Berangkat dari pengalaman-pengalaman tadi, saya jadi punya dendam pribadi yang hari ini berubah menjadi ide untuk mendaftarkan Arswendo Atmowiloto ke pengadilan atas bukunya Menulis Itu Mudah karena isinya berupa fitnah dan penipuan.

Menulis tidak pernah mudah, setidaknya bagi saya.

(Dan kepada penulis-motivator yang judul buku dan seminarnya berbau “mudahnya menulis” atau “cara mudah menerbitkan buku best-seller”, padahal buku mereka cuma itu-itu dan begitu-begitu saja, saya ingin kirim ancaman: colok dubur sendiri atau dicolokin?).

Memang, ada kalanya saya bisa menulis sangat enak, ringan, cepat, dengan hasil akhir yang bikin saya senang. Tapi menulis dalam kemewahan semacam itu rasanya tidak cukup banyak saya alami. Kegiatan menulis lebih sering berkunjung dalam rupa siksaan. Bahkan Goenawan Mohamad dalam wawancaranya dengan Alfred Ginting yang dimuat Playboy Indonesia pada April 2007 mengaku, “Kadang-kadang saya mengutuk, kenapa ini saya lakukan terus-menerus.” Yang Goenawan kutuk adalah rutinitasnya menulis untuk kolom Catatan Pinggir di Tempo seminggu sekali sejak 1976.

***

DALAM urusan mangkir dari menulis, saya jagonya bikin alasan. Saya sering berlindung di balik alasan sibuk, sedang tidak mood, tidak bisa konsentrasi karena gaduhnya petasan, sampai alasan-alasan transendental seperti “jangan menulis dengan perut kosong”, “ide masterpiece akan datang pada detik-detik terakhir” , atau “tidak baik menulis pada Senin Pon bagi seorang Aquarius”. Alasan-alasan tersebut biasanya kehilangan kelancarannya ketika mendapati banyak penulis yang bisa menulis bagus dalam kondisi sulit, miskin, terancam, gembira, sibuk, main-main, takut, atau iseng. “Tak ada kondisi yang ideal untuk menulis,” ujar FX Rudy Gunawan suatu kali dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan Agenda 18.

Maka ketika ada peluang untuk mendisiplinkan diri menulis—seperti kesepakatan dengan teman-teman Remotivi—saya merasa hal itu harus diambil. Kalau AS Laksana pernah berpendapat bahwa menulis bagus adalah masalah kebiasaan, maka menulis itu sendiri adalah masalah kedisiplinan. Dan merawat etos menulis, selain dengan membaca, adalah dengan cara berkumpul bersama teman-teman yang punya minat besar pada kepenulisan, papar Yusi Avianto Pareanom dalam wawancaranya dengan Anwar Holid.

Nah, cara “pemaksaan” macam ini rasanya lebih mungkin berhasil pada orang seperti saya, yang disiplin dan etos menulisnya melulu hanya berupa niat. Apalagi, teman-teman senasib-seperjuangan ini saya kenal baik dengan kekejamannya yang luhur dan tingkat radikalisasinya yang elok. Mereka akan jadi sekutu belajar yang tepat dan tabah.

Selain kepada teman-teman Remotivi—Roselina LieYovantra AriefIndah WulandariSuci Wulan Ningsih, Nurvina Alifa, dan Muhamad Heychael—metode menulis ini juga saya tawarkan ke teman-teman Agenda 18 pada minggu lalu seusai diskusi buku. Kebanyakan menyambut dengan antusias—walau ragu dan khawatir tetap tak ketinggalan dibawa-bawa. Dengan menempuh aturan yang sama, kami menyepakati denda atas pelanggarannya sebesar Rp 50 ribu. Angka dendanya lebih kecil dari yang ditetapkan geng Remotivi, tapi gabungan denda keduanya sudah lebih dari cukup untuk menakut-nakuti seorang dengan pendapatan kempis dan tak menentu seperti saya.

Tantangan menulis tiap dua minggu sekali di blog sendiri ini saya namai sebagai “Aerobik Menulis”. Saya belum menemukan jawaban kenapa sebutan itu yang tiba-tiba mampir di kepala ketika tulisan ini baru setengah kelar. Mungkin karena aerobik selain punya arti sebagai latihan rutin untuk kekuatan dan kelenturan tubuh, juga berarti sebagai kebutuhan oksigen bagi kehidupan, gerak, dan pertumbuhannya. Tapi kenapa “aerobik”? Bukankah pilihan lain juga melimpah? Tidakkah terkesan terlalu tergesa dalam menetapkan nama ini? Apa sebenarnya motif penamaan ini?

Wis ah, malas menjawabnya.

Sekarang lebih baik memikirkan bagaimana caranya menutup tulisan ini dengan paragraf yang ciamik sekaligus mampu menjawab pertanyaan di awal tulisan.

 

*Kalimat pembukaan menyontek gaya menulis Yusi Avianto Pareanom dalam cerpen “Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai” yang termaktub dalam buku Rumah Kopi Singa Tertawa (Banana, 2011).

**Foto diambil dari sini.

 

Satu Ketika di Bulan Mei dan Masa-masa Sesudahnya

Hari ini dan tiga belas tahun yang lampau. Keduanya sama: sejarah yang menggantungkan dirinya pada entah.

Hari itu, mata saya—harusnya Anda termasuk—merekam momentum sebuah bangsa yang penuh marah. Langit terbakar, bukan oleh matahari, tapi oleh bengis dan benci. Kota menjadi penuh gempita karena gairah ingin menghabisi orang lain. Saya, kita, merekam itu semua, mengenangnya, kemudian menyimpannya rapat-rapat. Takut. Rikuh. Enggan. Entahlah.

Saya, hari itu, memang cukup muda untuk memahami kenapa saya harus menanggung salah atas sesuatu yang tak pernah bisa saya pilih: Tionghoa. Pun terlalu dini untuk memahami kenapa hari mendadak murung dan orang-orang turun ke jalan untuk memburu kelompok warga macam saya dan keluarga.

Tapi, kemudaan itu, rasanya tidak menghalangi saya untuk sadar bahwa kebencian bisa lahir hanya karena Anda berbeda. Saya, tiga belas tahun di belakang, adalah bocah yang dipaksa menyimpan marah karena kepemilikan identitas etnis. Dan hari itu, sekali lagi, memaksa saya belajar bersahabat dengan ketakutan lebih awal.

Maka, setelah hari di mana banyak orang terbunuh dan terperkosa, adakah pembenci tubuh ini yang lebih besar dari pada saya sendiri? Suatu ketika di bulan Mei 1998 telah membentuk saya, dan mungkin jutaan warga (kebetulan) Tionghoa segenerasi, menjadi pembenci paling besar terhadap dirinya sendiri.

Keheranan meliputi benak ini. Bagaimana generasi terdahulu menghayati posisinya sebagai pribadi dan sebagai warga, setelah mengalami beragam peristiwa: pembunuhan massal 1946-1948, kerusuhan rasial 10 Mei 1963 di Cirebon, Malari 1974, kerusuhan 1980 di seputaran Jawa Tengah, atau yang sangat lampau: Oktober 1740 , Perang Jawa 1825 -1830, dan kerusuhan di Kudus 1918?

Bagaimana keadaan hari sesudah peristiwa penjarahan beberapa rumah yang tinggal satu kilometer dari rumah kita, misalnya? Apakah kita masih bicara tentang iuran sampah yang belum dibayar bulan lalu, atau masih dengan nyaman menerima pengantar air minum galon di rumah? Apakah dengan tidak membicarakannya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, semua itu usai?

Rasa-rasanya begitu: kita memilih aman dengan cara diam dan mendiamkan. Bukankah sakit untuk bicara tentang sebuah hari di mana suami Anda dibakar atau abang Anda memperkosa beberapa orang perempuan?

Film “?” garapan Hanung Bramantyo, misalnya, terlepas dari banyaknya problem artistik dan ideologis, adalah salah satu bentuk korek-mengorek luka itu. Dan sebagai masyarakat yang gemar lupa, yang menggantungkan hari esok pada rumput yang bergoyang, kita mengirim kecam kepada Hanung ketimbang mengakui ingatan tentang kebencian dan kecurigaan kita atas mereka. Kita memilih menyangkal sejarah hanya karena ia memulai pembicaraan tentang luka.

Tidak banyak orang di sekitar kita yang mengambil risiko mengulang sakit. Sigit Kurniawan, seorang teman etnis Jawa, misalnya, mengutarakan kejujurannya kepada saya pada suatu ketika: “Kalau aku mukul kamu, orang bilang aku rasis. Tapi kalau kamu pukul aku, orang teriaki aku kriminal.”

Kalau di hari depan ada generasi baru yang bertanya, “Kenapa kalian tidak bicara sehingga kami masih seperti ini?”, itu akibat orde ini – termasuk kita karena mendiam dan mengiyakan – yang menuntut kita menjadi bangsa yang pelupa dan pendiam. Termasuk pemaaf, atas peristiwa yang tidak terganti dengan sepotong kata.

Saya dan keluarga bukan beruntung, kalau hari ini nyawa masih melekat di badan. Apakah benar mereka yang mati terpanggang, kena bacok, dan diperkosa pada Mei 1998 hanya karena persoalan kurang beruntung? Semudah itukah kita mensejajarkan pembunuhan massal dengan undian mie instan: kurang beruntung.

Kebencian, apa kabarmu? Masihkah kau dikabarkan oleh mereka yang tolol? Seperti tulis Es Ito dalam ‘Surat Untuk Firman’: “Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian.”

Sudah cukup kebodohan bercokol di pejabat publik kita, kepandiran bersemayam pada televisi kita, kesewenang-wenangan pada militer kita, dan kegagalan pada sistem pendidikan kita. Sedang kita, semoga tidak bangga dan membisu atas berbagai peristiwa yang mengawal ingatan kita sebagai suatu bangsa. Kita bukan masyarakat yang mau tunduk terhadap logika yang tidak turut kita bangun, pikir saya.

Hari ini adalah hari di mana kita dipaksa memperingati sesuatu yang tidak ingin kita ingat. Hari di mana kita sekadar mengingatnya, tanpa perlu mengoreknya. Karena membicarakan masa lalu yang gelap memang bikin muram. Mengobati luka memang bikin perih. Dan kita mengindari itu, walau suatu hari nanti terpaksa menjalani operasi besar (kembali).

Petojo, 12 Mei 2011

Foto diambil dari sini.