Surat Terbuka Buat Rekanrekan Gitaris


Sebuah surat tanggapan bagi seorang gitaris muda yang jenuh bermain gitar klasik

Halo Fariz yg bingung..

Ga usah bingung…kamu ga sendiri kok.
Saya pun, seorang yang seharusnya lebih serius mendalami musik (karena kuliah musik), juga mengalami hal tersebut. Bahkan mungkin jauh lebih hebat. Kegelisahan ini bukan barang baru buat saya. Sudah terjadi kurang lebih sejak 2 tahun lalu. Bagi saya, musik gitar klasik yang selama ini saya geluti terkesan kering dan hampa. Tak ada gairah, tak ada kehidupan.

Sudah lama saya ingin membagikan kegelisahan ini pada teman2, terutama tmn2 di KPGKI. Tapi urung. Takut ada yg tersinggung, marah, atau menuduh saya gila. Belum lagi, milis ini yang lalu lintasnya ramai dan banyak postingan yang tidak terlalu perlu (sehingga menjadi penuh).

Bukan ingin merasa eksklusif dgn keberadaan KPGKI yang dulu. Yg masih sepi dan dihuni beberapa gitaris saja, yang kebetulan saya kenal dgn tatap muka. Waktu itu, dgn kekecilan dan kesederhanaan, KPGKI sebagai komunitas gitar klasik, yg mungkin satu2nya di Indonesia, amat hangat dalam diskusi2 singkat atau sapaan antar anggota.

Sekarang, dgn lalulintas seramai ini, saya jadi bingung mau berkomentar apa. Jengah. Namun kejengahan ini justru dibarengi dengan rasa haru karena komunitas ini bertambah besar, yg tentunya membawa pengaruh positif bagi perkembangan permainan gitar tunggal (untuk tidak menyebut gitar klasik) di Indonesia.

Tapi sudahlah, tak perlu membahas KPGKI terlalu jauh, karena pokok permasalahan Fariz bukan di situ. Masalahnya, GITAR TAK LAGI MEMPESONA bagi Fariz. Betul?

Kalau ini masalahnya, saya pun demikian.. Tapi ‘kecemasan’ saya di sini bukan pada gitarnya sebagai objek, tapi kehidupan pergitarannya sendiri. Yg di dalamnya ada gitaris2 (gaya hidup berkesenian, filosofi, mentalitas) dan aktivitasnya (mengajar, konser, diskusi, dll).

Begini permasalahannya, saya melihat ‘kebosanan’ atau ‘keengganan’ saya pada bidang yang saya geluti ini, sebagai sebuah perlawanan terhadap kemapanan. Katakanlah sebuah kegelisahan yang timbul karena semakin menyadari bahwa saya diNINABOBOKAN KENYAMANAN.

Tanpa disadari, mungkin kita bisa berbangga dan berangkuh ria menamai diri seniman ataupun manusia berbudaya dgn hanya menenteng gitar, berdiskusi hangat soal Segovia, Barrios, Bach, atau siapa pun. Tapi bagi saya, itu tak menjawab sedikit pun keterpanggilan seseorang menjadi seniman. Ada sebuah makna dan misi lebih mendalam untuk menjawab panggilan seni dalam diri masing2 orang. Dan inilah yang membuat saya gentar menatap masa depan dunia musik klasik. Pendek kata, saya tidak (mungkin belum) menemukan pemaknaan macam itu di sini. Dan hanya berhenti, yang mungkin menjawab masalah ini. (tapi belum saya lakukan, karena keraguan yang amat besar)

Bagi saya, hidup berkesenian harus produktif menjawab, bahkan menjadi solusi, kekinian permasalahan pada realitas kehidupan. Tak hanya hidup dalam wacana-wacana atau ide semata. Kesenian harus punya dampak positif yg nyata terhadap bangsa, dalam hal ini masyarakat. Dalam kegiatan kesenian lain, misalnya sastra, banyak sekali karya yang mengangkat masalah kemiskinan dalam temanya, masalah keterpurukan sosial, masalah budaya korupsi. Bukan itu saja, tak segan mereka mengangkat isu kesetaraan jender, hak-hak anak, maupun filsafat perkelaminan. Tukang jual koran saja bisa dijadikan puisi atau lagu (dalam lagu Iwan Fals ‘Sore Tugu Pancoran’).

Kita bisa juga berkaca dari para pemahat. Sekitar 3 minggu lalu saya berkunjung ke TIM. Ada pameran seni pahat karya Djoni Basri di sana. Ada karya2nya yang menyentil masalah nyata yang ada. Ada sebuah patung dari styreofoam berwujud seorang wanita muda yang berpakaian layaknya wanita normal (celana jins, kaos), namun mengenakan jilbab. Pada karya yang berjudul ‘AURAT’ ini ditulis begini: Terjebak dalam dilema, tarik ulur paradigma. Kadang malu, kadang bergaya.

Ada lagi karya lain yang berjudul ‘TELEVISION TO BE TELEPOISON’ dengan tulisan: Dari layar kaca, resap racun tak berasa. Karya ini berbentuk seorang ibu yang memaksa anaknya yang sedang asik menonton TV untuk meninggalkannya. Dan seterusnya. dan seterusnya…

Di karya tari pun demikian. Sebuah karya lahir karena hasil pergulatan dan permenungan panjang seorang seniman yang mewakili kehidupan pada zamannya hidup. Intinya, kesenian selain menyumbang nilai estetik, tentunya ingin menyumbang nilai peradaban bagi masyarakatnya. Nilai peradaban ini ada yang sebatas wacana (untuk merekonstruksi kekeliruan cara berpikir masyarakat pada umumnya), menyumbang ide nyata (menawarkan sistem pada pemerintahan, institusi pendidikan, mengkampanyekan masalah lingkungan lewat karyanya), sampai memperkaya kazanah berkesenian dalam perjalanan hidup suatu bangsa.

Pada logika macam ini, wacana ini saya batasi dgn hanya mengambil sampel ‘Kehidupan Musik Klasik di Indonesia’. Jadi tidak terbatas pada gitar semata, dan juga dalam teritori Indonesia saja, mungkin hanya Jakarta dan sekitarnya.

Nah, cita2 ideal yang saya temukan dalam bidang seni yang lain (sastra, teater, rupa, tari, musik non klasik teritori Indonesia, dll), yg sudah saya utarakan di atas, tidak saya temukan dalam kehidupan berkesenian dalam musik klasik.
Saya jadi memarahi diri,”Untuk apa aku latihan gitar 5 jam sehari kalau di luar sana masih ada yang belum makan siang?”, “Apa dgn teknik apoyando bisa membuat bangsa ini bebas dari buta huruf?”, “Siapa saja yang berubah menjadi lebih baik setelah melihat sebuah konser klasik masuk dalam liputan sebuah Koran terkenal?”, dan seterusnya, dan seterusnya.
Lalu pada pertanyaan eksistensial, “Apa aku diciptakan hanya untuk menghibur diri sendiri melalui musik klasik?”, “Sampai kapan musik milik Bach yang sudah mati 400 tahun lalu dimainkan oleh banyak musisi dgn gaya yg selalu mirip dan wajib dimainkan?”, “Mengapa ada pianis ternama yang suka terlihat mengantuk ketika menonton konser orang lain? Tak menikmatinyakah?”, “Mengapa dgn kegilaan dgn musik klasik, tidak menyentuh para pendengar seperti lazimnya musik pop/jazz?”, dan seterusnya, dan seterusnya…

Lagi, mengapa musisi klasik selalu menjelma menjadi guru musik yang mencetak guru musik klasik lagi? Dan seterusnya, dan seterusnya. Ibarat sebuah produk yang diperjualbelikan terus menerus tanpa ada yang mengkonsumsi barang tersebut.

Lalu, apa dengan karir di musik klasik, dengan sendirinya sudah menjadi seniman. Apa dasar filosofisnya? Mampu berargumen sehatkah? Banyakkah musisi klasik (juga profesi kesenian lainnya) yg mampu menjawab pertanyaan eksistensi kesenimanannya sendiri?
Kalau kita tak mampu menjelaskan mengapa kita bermusik, mengapa kita main musik layaknya kerasukan!? Belum lagi sikap fanatik beberapa musisi yang hanya mau memainkan/menikmati jenis musik dari genrenya saja. Ada lagi kekakuan lain yang membuat musisi menutup mata untuk tak belajar dari kegiatan kesenian lain seperti sastra, tari, dan lainnya.

Bagi saya, proses berkesenian amat panjang, tak akan selesai, dan tak perlu selesai! Tugas seorang seniman adalah mencari, ketika dia selesai mencari, maka ia selesai sebagai seniman. Namun apa yang saya dapat, adalah sebaliknya. Proses ini yang tidak dilewati. Ada saja kita lihat musisi yang miskin filosofi hidup, tak berbuat apapun dalam lingkup sosial masyarakat, tapi mapan dan dikagumi!

Dalam hal ini, saya ingin membandingkan dgn teman saya y
g seorang desainer grafis. Karyanya bagus, yang memakai jasa dia juga banyak. Tapi apa dia memakai karyanya/keahliannya untuk kepentingan masyarakat luas? Saya teringat dgn artikel di Kompas hari Sabtu, 17 Nov 2007, pada rubrik Sosok. Di sana tergambarkan sosok seorang desainer grafis muda yang berbicara ttg bahasa kemanusiaan. Dia banyak ‘bersuara’ kepada pemerintah lewat desain2nya.

Apakah para musisi klasik sudah mempunyai konsep menyeluruh mengenai hal ini? Saya tak mampu menjawabnya, karena saya memang tidak berada dalam kapasitas untuk menjawab. Saya hanya seorang anak muda yang terus menerus gelisah dan dihantui pertanyaan tentang dunia berkesenian yang saya gauli sekarang…

Tanpa bermaksud menggeneralisir, karena ada saja musisi klasik di Indonesia serupa dgn gambaran ideal saya, namun hal macam ini yg terus mengganggu aktivitas saya untuk bertekun dalam musik klasik. Sampai2, identitas ini terus2 dipertanyakan bahkan dipersalahkan oleh diri sendiri.

Salam,
Roy Thaniago
Seseorang penggelisah, yang berharap bisa terus bermain musik dgn tenang dan berarti bagi kemanusiaan…

“Hidup yang tak pernah direfleksikan, adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani…”
– Socrates –

2 thoughts on “Surat Terbuka Buat Rekanrekan Gitaris

  1. berattt bahasan loe. dalem..roy, menurut gue..menjawab semua kegelisahan loe, loe bisa belajar apa pun, menjadi apa pun, selama lo bisa menginspirasi orang untuk melakukan hal-hal yang (mungkin) gak bisa atau belum bisa lo kerjakan. bukan berarti kita yang kerjain itu semua..dengan lo serius menjadi gitaris klasik, yang di setiap konser lo disertakan tulisan2 apik lo ttg isu2 sosial yang membutuhkan perhatian.. atau lu bisa nulis artikel apa pun.. intinya adalah kita ga akan bisa melakukan semuanya untuk mencapai titik ideal kehidupan kita, tapi kita bisa menginspirasikan orang lain untuk membantu kita mewujudkannya..buatlah ranting2.. dan elo adalah akarnya.. :)cheers..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *