MEREBAKNYA RUMOR SERBUAN tenaga kerja asing asal Cina di Indonesia menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Rumor ini, dalam ingatan saya, sebenarnya sudah berhembus hampir setahun terakhir. Namun baru akhir-akhir inilah pemerintah menanggapinya. Bahkan tanggapan itu disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi, baik melalui akun media sosialnya maupun dalam beberapa kesempatan lainnya. Karena rumor ini, Jokowi sampai perlu memerintahkan jajarannya untuk mengevaluasi media daring yang memproduksi berita bohong. Gestur Jokowi tersebut bisa dibaca bahwa rumor “cinanisasi” sudah dianggap serius dan mengancam wibawa pemerintah dan legitimasi kekuasaan.
Memang, dilihat dari percakapan di media sosial, banyak orang mengalamatkan kekecewaan dan kemarahan terhadap Jokowi sebagai presiden. Jokowi dianggap membiarkan ekonomi Cina mendominasi Indonesia dan tidak melindungi tenaga kerja dalam negeri yang butuh lapangan kerja. Selain itu, percakapan di media sosial juga memperlihatkan adanya sentimen yang mengarah bukan saja kepada Cina sebagai negara, tapi juga Cina sebagai sebuah kelompok etnis.
Sentimen anti-Cina di Indonesia, bagaimanapun, adalah sesuatu yang menyejarah. Imajinasi kolektif sebagai bangsa dan kedaulatan negara Indonesia ada dan dibangun di atas pondasi sentimen tersebut. Tanpa adanya sentimen anti-Cina, pemerintah kolonial Belanda dan Orde Baru, misalnya, tidak akan bertahan selama itu atau setidaknya mengalami kesusahan dalam mempertahankan kekuasaannya. Karena itu Ariel Heryanto (2008) berpendapat bahwa hilangnya sentimen anti-Cina berpotensi mengancam status-quo kekuasaan Orde Baru “yang dibentuk sejak masa kolonial dalam kerangka diskriminasi sumber daya manusia berdasarkan ras”. Artinya, sentimen anti-Cina adalah sarana untuk mengelola kekuasaan.
Tentu, selain anti-Cina, Orde Baru terutama mendirikan dan mengelola kekuasaannya di atas sentimen anti-komunis. Anti-komunis adalah sumber legitimasi terpenting bagi kekuasaan Orde Baru. Apa yang sama dari keduanya–dan juga sentimen-sentimen lainnya (misalnya “makar”, “negara Islam”, “separatis”, dan sebagainya)–adalah upaya mengontrol populasi dengan cara mendefinisikan musuh bersama, sebuah teknologi kekuasaan yang Foucault sebut sebagai “biopolitik”. Biopolitik dipahami sebagai cara negara modern untuk mempolitisir kehidupan sebuah populasi dan menciptakan kondisi mental secara kolektif bahwa masyarakat sedang berkonflik dengan mereka “yang non-kami”. Tuanya riwayat musuh bersama itulah yang membuat rumor cinanisasi berkembang biak begitu cepat. Ia datang tiba-tiba, diyakini kebenarannya, dan menyebar dengan mudah seolah tiada perlawanan berbentuk keraguan terhadap isi rumor.
Pemilu 2014 adalah kali pertama sejak runtuhnya Orde Baru di mana sentimen anti-Cina dibangkitkan kembali secara frontal dalam panggung politik nasional. Tuduhan atas Jokowi sebagai keturunan Cina (juga komunis) terbukti jitu dalam menggerogoti suara dukungan buatnya. Strategi politik yang sama juga diulang terhadap Gubernur Ahok, yang bukan saja karena Ahok sendiri beretnis Cina, tapi juga karena dihembuskannya rumor bahwa ada kepentingan bisnis para konglomerat Cina yang berdiri di belakang Ahok. Yang menarik dari semua sentimen anti-Cina tersebut adalah, kalau dulu proses “menunjuk musuh” dilakukan oleh negara, maka kini proses tersebut dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Dan ini persis seperti apa yang dipahami Foucault bahwa kekuasaan itu tidak terpusat, tapi menyebar; tidak dimiliki, tapi anonim. Kekuasaan itu ada di mana-mana dan datang dari mana-mana, tertanam dalam diskursus dan pengetahuan suatu rezim.
Karena itu saya tertarik mendiskusikan rumor cinanisasi bukan dalam kerangka menunjukkan versi mana yang benar: pemerintah atau oposannya. Melainkan pada proses merebut dan mempertahankan kekuasaan di atas pondasi sentimen anti-Cina tersebut. Lihat, misalnya, pemberitaan di RCTI pada 19 Desember 2016 yang bernada menyerang pemerintahan Jokowi. Dalam program “Seputar Indonesia” itu, redaksi RCTI bahkan memasang judul “Para Penyusup Negara” yang menggambarkan Indonesia dilanda kegawatan secara menyeluruh meski hanya berdasarkan satu kasus di Bogor. Dengan judul ini, horizon pengetahuan penonton dibingkai bahwa keberadaan tenaga kerja asing asal Cina meneror kedaulatan negara, dan itu “bukan dongeng sebelum tidur, ini adalah persoalan nyata di Indonesia”.
Menyematkan kata “serbuan” meski tak ditunjang data, redaksi RCTI kemudian membangun narasi yang mempertentangkan “kami” dan “non-kami” dengan mengambil posisi berpihak kepada “anak negeri yang berjuang mencari pekerjaan untuk menyambung hidup” di hadapan “tenaga kerja Cina yang mudah masuk mencari penghidupan”. Tak cukup membingkai kasus ini dalam koridor “kedaulatan bangsa” dan perampasan lapangan pekerjaan, RCTI juga menyoal ancaman penyakit dari bibit tanaman milik pekerja asal Cina tersebut. Narasi sedemikian bukan saja sedang mendefinsikan musuh bersama, tapi penonton diyakinkan bahwa kehadiran mereka membawa niat jahat karena membawa bibit berpenyakit.
Pendek kata, di atas narasi yang menciptakan imajinasi atas musuh tersebut, pemerintah dibingkai sedang bersekutu dengan pihak asing. Pemerintah lantas membantah adanya serbuan tenaga kerja tersebut dengan menyajikan data jumlah pekerja Cina di Indonesia. Tapi yang menarik, alih-alih menghadirkan narasi alternatif, pemerintah malah memainkan narasi yang sama. Dari posisi tertuduh sekutu asing, pemerintah lalu bermanuver melalui narasi ”berada di sisi rakyat” yang juga “anti-asing”.
Simak misalnya aksi Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang direkam dan disebar di media sosial oleh akun resmi kementeriannya. Hanif ditunjukkan sedang menemui pekerja asal Cina, dan ditonjolkan adegan membentak meski tidak jelas apa alasan dan tujuannya. Yang jelas inspeksi dan bentakan tersebut bisa dibaca sebagai pertunjukan kekuasaan demi melancarkan narasi “pemerintah bersama rakyat sedang melawan musuh”. Sementara itu, narasi anti-asing dihembuskan oleh Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang mengatakan bahwa rumor cinanisasi sengaja dihembuskan pihak asing untuk mengadu domba bangsa. Kedua narasi tersebut tidak beranjak dari narasi yang dilancarkan para penggugat pemerintah, alih-alih keduanya setia membangun kedaulatan dirinya di atas narasi “musuh bersama”.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya berpendapat bahwa memahami cara kerja kekuasaan semacam ini menjadi penting untuk tidak larut dalam membuat kesimpulan yang justru malah memperkuat posisi otoritas. Luputnya melihat sentimen anti-Cina sebagai sarana mengelola kekuasaan hanya akan membenamkan kita semua dalam mitos-mitos tentang konflik rasial sebagai konflik horizontal dan sesuatu yang terberi.
Diskursus cinanisasi memperlihatkan bahwa menciptakan musuh bersama adalah penting untuk dilakukan baik oleh pihak yang ingin mempertahankan kekuasaan maupun yang ingin merongrong kekuasaan. Musuh bersama itu dari zaman Belanda sampai Jokowi masih sama: Cina.
Dimuat di Tirto.id, 31 Desember 2016, dengan judul “Mempertahankan dan Merongrong Kekuasaan dengan Isu Anti-Cina”.
Sangat menyebalkan memang kultur dan nuansa negeri ini tak pernah beranjak dari itu-itu saja. Terlebih jika berbicara mengenai spektrum kekuasaan, rasa-rasanya semua dihalalkan, padahal konskekuensinya sangat besar, yaitu krisis multidimensi dan kekisruhan berbau SARA. Kita hanya berharap semoga masyarakat bisa lebih cerdas menikmati sajian politik dari para politikus.