Sepenggal karya musik dari Johann Sebastian Bach (1685-1750) menyeruak dalam gulita. Bunyi dari biola solo itu menyapa penonton yang hanyut dalam redupnya penerangan di ruangan. Kalau bunyi punya tangan, penonton mungkin sedang dibelai. Untuk sekedar menyapa.
SAYUP-SAYUP gulita diusir oleh nyala lampu yang dinyalakan perlahan dengan amat lembut. Terlihatlah sosok lelaki tua brewokan memanggul biolanya. Ia berdiri di belakang penyangga partitur (music stand/score stand) yang diselimuti kain hitam panjang yang dibalut warna hijau yang jatuh vertikal di bentangan kain. Mirip kasula yang dikenakan seorang pastur ketika memimpin ibadat.
Kemudian tingkah seorang penari yang dibungkus kain putih berkerangka dua bilah stik (semacam tongkat) bergerak dari sisi kanan panggung. Dengan amat misterius, penari yang belum menampakkan diri ini – karena masih bersembunyi di balik kain yang menyerupai kerudung raksasa, laksana pasukan karvaleri – berdiam di satu titik, di sisi kiri panggung. Dari lintasannya yang horizontal, dia meninggalkan jejak berupa kain merah yang teramat panjang. Mata penonton pun dibuat be rjalan menyapu seisi panggung, untuk menikmati sajian visual yang disuguhi.
Bach di Bali. Dalam konser tematis macam itulah adegan yang digurat di atas terjadi. Dua seniman beda usia, kultur, dan bidang seni mengguyub diri dalam sebuah pementasan musik dan tari di Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat 29 Agustus 2008.
Yang tua, Amerika, dan biolis adalah Robert Brown. Sedang yang muda, Indonesia (Bali), dan penari adalah Nyoman Sura. Mereka menikahkan banyak hal: kultur, bidang seni, dan pencapaia n estetis masing-masing. Bila yang bule menjajaki kultur Eropa (Bach), rangkaian bunyi (musik), dan ranah interpretatif auditif dalam kualitas estetik tertentu, sedang yang sawo mata ng menjajaki kultur Bali, komposisi gerak (tari), dan ranah i nterpretatif gerak berdasarkan bunyi.
Karena konser kali ini lebih kuat dalam hal konseptual, biarlah yang nampak secara tekstual boleh sedikit diabaikan. Karena kalau tidak, wilayah konseptual yang sudah direnungi dua seniman tadi menjadi kabur maknanya, sehingga menjadi percumalah pagelaran mereka. Dengan kata lain, kita tinggalkan kualitas buruk permainan biola Robert Brown, tapi coba melihatnya dengan sudut yang lebih adil: secara konseptual.
Karena, Partita in D-minor for Solo Violin yang dibawakan Brown memang jauh dari baik. Brown yang lulusan Manhatten School of Music ini membawakan Bach dengan tidak artikulatif, minim dinamik (walau musik Barok belum mengenal rentang dinamik yang selebar sekarang, namun usaha yang ditampilkan Brown amat kering), fals, dan produksi suara yang terlalu tipis untuk ukuran musik Barok.
Maka, mari abaikan itu, dan lebih baik bermain dalam tawaran konseptual yang disuguhkan mereka berdua. Bach di Bali adalah imajinasi fiktif belaka yang dikembangkan oleh Brown menjadi sebuah narasi. Imajinasi ini menurut tafsir saya adalah wujud rasa cinta Brown pada Bali yang selama 17 tahun ia kunjungi secara teratur, hingga tinggal menetap sejak tiga tahun lalu.
Narasi fiktif ini berkisah tentang Bach yang pergi ke Bali mengikuti rombongan penari dan pemusik Bali yang baru pulang dari Eropa. Di Bali, Bach akhirnya memilih menetap karena jatuh cinta pada seorang ratu. Inilah dasar yang melengkapi tafsir saya ter hadap imajinasi Brown. Dan memang, sebagai penikmat, orang selalu berusaha mencari-cari relevansi idiomatik antara sang kreator dan kreasinya. Ya, Brown memang menulis dirinya sendiri, sepertinya.
Cukup menarik bila kita mau sedikit nakal dalam berfantasi. Inilah fantasi dari Brown terhadap Bach. Seakan Brown memberi pertanyaan yang hendak dijawabinya sendiri: Bagaimana respon suatu masyarakat non Eropa terhadap Bach? Apa yang akan terjadi dalam suatu lingkungan yang membesarkan seorang komponis terbesar sepanjang abad ini?
Terlepas dari sinkron atau tidaknya interpretasi Nyoman Sura terhadap musik Bach, setidaknya lewat Sura kita sama-sama menyaksikan sebuah respon budaya Bali terhadap musik Bach yang diterjemahkan dalam karya tari. Bila di tempat asalnya Jerman muncul karya-karya tari berirama Allamande atau Gavotte, sebagai respon terhadap jaman, lewat Sura responnya sungguh unik, menggabungkan semangat seni kontemporer dengan berdiri pada tradisi Bali yang terjaga dalam orisinalitasnya.
Sura, dalam komposisi tari yang ia ciptakan setelah mendengarkan musiknya sejak setahun lalu, banyak memakai elemen properti seperti selendang panjang, kain, topeng, dan sebidang gambar menyerupai bentuk kipas dari kayu yang mirip rumah wayang (dipakai sebagai semacam latar). Benda ini kemudian dibakar pada pangkal tengahnya, dan mengeluarkan asap menyerupai dupa.
Kemudian di akhir pertunjukkan mereka berdua memberikan kesempatan penonton untuk bertanya. Dalam kesempatan inilah saya tahu bahwa gerak dan properti yang tersaji diberi makna oleh Sura. Sayangnya, sangat klise. Kain merah sebagai simbol keberanian, putih kesucian, dan 3 karakter topeng yang ada mewakili Yang di Atas (Sura tidak menyebut Tuhan, Allah, maupun Dewa), dan sepasang pria-wanita yang berkasih-asmara. Sedang hal-hal lain yang terekam secara simbolik sepeti bentangan kain yang membentuk segitiga dan (serupa) ‘rumah wayang’ yang dibakar menjadi dupa tidak dirinci dalam penjelasannya.
Usaha mereka berdua tampaknya sangat pas dalam pemetaan sebagai warga dunia yang tidak dibatasi sekat-sekat apapun. Lajunya arus informasi dan lebarnya sayap wacana dialogis kebudayaan membentangkan banyak sekali kemungkinan untuk diolah dan dipertanyakan. Wacana-wacana macam ini yang mungkin dapat membantu proses inkulturasi bertumbuh dengan amat lapang. Sehingga kemudian melahirkan banyak sekali produk-produk kesenian baru yang diakibatkan persilangan dua kutub yang selama ini dikotomi.
Asal jangan kaget, kalau suatu hari berlibur ke Bali, entah ke pantai atau pura, kita dicegat seseorang berbadan tinggi, berbadan agak gemuk, dan ombak rambutnya yang digulung-gulung. Pria ini hanya ingin mengenalkan panggilan barunya: Bli Bach. Matur Suksma.
“minim dinamik (walau musik Barok belum mengenal rentang dinamik yang selebar sekarang”anda baca lg buku sejarah musik jilid2..disitu anda bisa dapatkan bahwa musik barok bukannya minim dinamik, melainkan kemampuan instrumen yg terbatas.contohnya : penggunaan trill pd jaman barok selalu dimulai dari nada tinggi. beda halnya dengan musik romantik yg kemampuan instrumennya lebih berkembang, sehingga mampu memainkan trill dari nada rendah.menurut praktis saya, masa kok Bach nggak bermusikalitas tinggi.bego lu!!ko amin
Terima kasih buat komentar Anda, teman. Anda cukup jeli juga ya. Namun sayang, Anda hanya membaca secara tekstual, dan itu adalah kekeliruan dalam menafsirkan teks. Bacalah secara kontekstual.Dan lagi, Anda tampaknya bangga sekali dengan hanya membaca 1 buku sejarah musik dan serta merta merasa mengerti betul.Perlu saya jelaskan, bahwa bukan musik jaman Barok atau musik Bach yg saya tuliskan, tapi gaya bermain di jaman itu yg belum mengenal rentang dinamik yg selebar sekarang. Dalam zaman itu, bahkan ukuran dinamika belum sepresisi jaman sekarang. Di jaman itu, tanda dinamik seperti ppp, fff, mp, atau mf belum dieksplorasi dgn amat presisi. Dan ini bukan berarti menandakan musikalitas mereka buruk. Faktor kemampuan instrumen yg Anda kemukakan adalah salah satu sebabnya.Selamat berpikir lagi,dan berani berkomentar dengan menyertakan nama lengkap. Bukan pengecut seperti ini.Trims.
kritikannya cerdas