September 2009, Agenda 18, komunitas penulis muda yang turut saya giati di dalamnya, mengadakan Pelatihan Jurnalistik Dasar Angkatan ke-4. Dari berbelas peserta yang ada, hasil tulisan mereka dijadikan buku kecil untuk kenang-kenangan. Saya, yang ketika itu menjadi koordinator Agenda 18, didaulat untuk menuliskan kata pengantar di buku kecil yang dinamai Gado-gado Pondok Labu.
Sebenarnya aneh meluncurkan Kata Pengantar saya tersebut di blog ini. Tapi berhubung saya masih norak dengan blog baru ini, maka saya langgar saja keanehan tersebut. Begini:
Membaca berbelas narasi dalam buku ini, saya jadi ingat sesuatu: ”Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna”.
BUKAN TANPA SEBAB kalimat dari Pramoedya Ananta Toer tadi meluncur dari almari ingatan saya. Pasalnya tema-tema yang terhidang dalam dalam kumpulan tulisan ini berangkat dari semangat yang sama, yakni keyakinan terhadap kekuatan kata-kata. Bahwa habitus menulis perlu terus menggema dalam keseharian. Bahwa kerja kata-kata harus ditunggangi dalam laku hidup sehari-hari dalam melihat berbagai hal. Bahwa segala hal bisa dan perlu ditulis. Yang penting tulis, tulis, tulis, dan tulis. Begitu.
Misalnya saja, saya tersedak membaca ”Jamu Bebas Alkohol yang Memabukkan” karya Lidwina F. Mulyono. Bukan karena jamu atau alkohol yang membuat saya tersedak. Tapi karena Wina, panggilan akrab mahasiswi jurnalistik ini, yang dengan lancar menuliskan sebuah peristiwa remeh temeh di sekitar kita. Ia membuat sebuah keterbiasaan menjadi sebuah peristiwa penting, seakan menyediakan persoalan ke depan mata kita, bahwa itu bukan hal yang biasa atau boleh dianggap biasa. Asiknya, ia menuliskannya tanpa beban, tanpa bermaksud untuk membuat si penulis terlihat hebat dengan berkelindan dalam kata-kata.
Lagi. Lewat ”Buas Tapi Penakut”, Savitri Wisnuwardhani menyuguhkan ke hadapan kita sepotong cerita persahabatan antara Udin dengan Rimbo. Udin seorang lelaki, sedang Rimbo seekor harimau Sumatera. Mereka berdua bertemu di Kebun Binatang Ragunan. Savitri tidak sendirian, karena ada Ariane O. Putri, Priska Kalista, dan Claudius Alfa, yang juga mengangkat hewan menjadi tokoh utama tulisannya. Lagi-lagi mereka mengajak kita untuk menerima segala yang dianggap biasa menjadi tak biasa.
Mengenai sisi lain para pekerja pemadam kebakaran juga tak luput dituliskan oleh Anggono Wisnudjati, Lusia Novita Sari, Katarina Siena, dan Laurentia Rosalina. Tulisan mereka menyorot persoalan-persoalan sisi kemanusiaan dari pendekar pelawan api ini. Bahwa mereka yang terlihat perkasa ini juga bisa takut, bisa lelah, butuh nafkah cukup, dan langganan dikerjain orang jahil yang memberi kabar bohong, termasuk juga dimusuhi masyarakat yang senewen karena mereka lama tiba di lokasi kebakaran.
Tentunya ada tulisan-tulisan dengan tema lain yang bercerita soal layang-layang dan museumnya, penulisnya Yunita dan Stephani Puspitajati. Atau Melania Diny Setiawati, Gabriel Jefri, Dian Surya Adi Putri, dan Mutia Kartika yang menampilkan kehidupan di dalam sebuah pasar tradisional dan kebun binatang. Ada satpam mantan preman yang butuh perhatian, pedagang rujak ilegal di Ragunan, sampai ajakan berbelanja di pasar tradisional yang makin hari terpinggirkan oleh kekuatan kapitalistik.
Semuanya bicara mengenai keseharian, keterbiasaan. Lewat tulisan-tulisan di buku ini, kita belajar bahwa tidak semua hal yang dianggap biasa, benar-benar biasa. Bahwa kemelaratan orang, penderitaan orang, tidak boleh dianggap biasa. Bahwa cerita menarik dan berharga bukan hanya datang dari seorang tokoh terkenal, tapi juga siapapun. Bahwa orang biasa juga punya cerita, punya sejarah hidup yang luar biasa. Tulisan-tulisan dalam buku ini sekali lagi bicara soal ini: yang biasa belum tentu biasa. Dengan caranya masing-masing mereka memotret, menggugah, mempertanyakan, dan menyeret pembaca dalam masalah.
Saya iri, bahwa di antara kumpulan tulisan ini, tulisan saya tidak bisa turut meramaikan. Iri ini muncul lantaran kagum. Kagum karena mereka (mau) menulis. Itu saja: menulis. Seperti Toer lewat mulut Nyai Ontosoroh di Anak Semua Bangsa, ”Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”.
Sayang oh sayang. Buku yang merupakan kumpulan tulisan para peserta Pelatihan Dasar Jurnalistik Agenda 18 angkatan ke-4 yang diadakan September 2009 lalu di Jakarta ini pun merupakan sepenggal rasa sayang. Sayang, kalau pekerjaan menulis ini hanya menghuni folder komputer masing-masing. Terlebih karena rasa sayang antar penggiat Agenda 18. Ya karena pekerjaan menulis itu. Sebab berbagai latarbelakang tadilah, maka buku yang merupakan bunga rampai ini lahir.
Laiknya tulisan-tulisan peserta sebuah pelatihan, tentunya bukan kesempurnaan yang ditampilkan di sini. Tapi menampilkan keluguan, sebuah kegamblangan akan proses belajar. Sengaja berbagai kebolongan dibiarkan di sini, agar suatu hari buku ini mampu menerbitkan senyum di bibir para pemilik tulisan yang membacanya di berpuluh-puluh tahun ke depan. Karena kita sama-sama percaya: ”Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna”.
Kentingan, 4 Desember 2009
wah, asik nih, ke mana harus cari bukunya, Roy?
Wah, ini cuma dicetak terbatas utk kita2 aja, As.
Wah, senang mendengar cerita ini. Ya, menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Bukan pekerjaan menyebalkan di saat dikejar deadline? haha..
yang jelas, menulis itu membahagiakan roy. he2.
Ya, aku setuju, Ris. Rumahmimpi pun mengatakan demikian. Hehe..
Salut untuk semua posting2 yang menarik. visit back 14:11
Blogwalking berbagi pengalaman. datang ke temapt ku. 05:18