Vandalisme Tsamara dan Kemiskinan Imajinasi Politik

Foto tangan mengacungkan jari tengah menyembul dari rimbunnya ilalang

Saya benci dengan vandalisme politikus di ruang publik. Kebencian saya bertambah ketika vandalisme itu dilakukan justru oleh politikus yang saya harapkan punya etika politik yang baru. Itulah yang dilakukan Tsamara Amany, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang tanpa izin menempeli dinding rumah saya dengan poster kampanyenya.

Meski tidak pernah terpikat oleh gagasan-gagasannya, bukan berarti saya tak menaruh harapan sama sekali terhadap Tsamara dan politikus segenerasinya. Kemudaan dan citra pembaharu yang ia iklankan tentang dirinya membuat saya menuntut darinya sebuah etika politik yang berbeda.

Sayangnya, Tsamara gagal menunaikannya.

Poster Tsamara Amany di tembok rumah saya.

Dengan kapasitas dan latarbelakangnya, saya masih bisa “toleran” kalau Tsamara abai dalam isu perampasan tanah petani oleh negara dan korporasi. Pun saya masih bisa memaklumi sikap kritisnya yang absen terhadap memblenya kebijakan Jokowi dalam bidang HAM atau gagasan pseudo-pluralismenya yang cuma dagangan politik. Toh saya tidak bisa memaksa Tsamara menjadi kritis dalam sekali scroll timeline Twitter.

Tapi kalau vandalisme saja gagal dilihat Tsamara sebagai masalah etika politik, maka ada masalah yang lebih mendasar tentang bagaimana idealisme politik bisa dijalankan di negeri ini, bahkan oleh mereka yang mengklaim tengah meninggalkan cara lama dalam berpolitik.

(Ayolah, sis, sebagai generasi Instagram setidaknya kita punya standar estetika tertentu yang membuat kita enek sama cara politikus NKRI berkampanye di baliho. Kita jijik banget sama pilihan font, warna, layout, dan tempat nempelnya. Saya nggak tahu apakah kamu pernah seperti saya: bersumpah akan nyiksa diri dengan menonton semua episode “Indonesian Lawyers Club” tanpa di-skip, kalau saya suatu ketika melakukan apa yang para politikus itu lakukan.)

Vandalisme bukanlah sekadar polusi visual. Lebih dari itu ia adalah sebentuk invasi: pendudukan dan penundukkan. Yang diduduki adalah ruang kolektif warga. Yang ditundukkan adalah cara kita mengingat.

Pengertian vandalisme, buat saya, melampaui urusan legalitas. Ia harus dimaknai sebagai Manifestasi Yang Privat pada apa-apa Yang Publik. Manifestasi Yang Privat itu kadang berwujud reklame raksasa di perempatan jalan yang mempropagandakan citra perusahaan—dan itu legal. Di lain waktu ia berwujud corat-coret yang memuat ekspresi kebencian, pernyataan eksistensi kelompok, atau ekspresi artistik yang narsistik.

Di musim Pemilu, Manifestasi Yang Privat tampil dalam bentuk spanduk, stiker, baliho berisi wajah-wajah para politikus yang mengharapkan iba. Tiap menatap wajah mereka, tiap itu pula saya kangen sama Plato, pug saya berzodiak Pises yang terampil menyetel muka memelas ketika saya mengemil lontong sayur.

Dengan mendefinisikan vandalisme sebagai Manifestasi Yang Privat, maka tidak semua corat-coret atau “interupsi visual” di ruang publik, buat saya, merupakan bentuk vandalisme. Saya menolak bersetuju kalau grafiti sebuah komunitas bomber yang menyadarkan ketidakadilan sosial dianggap sebagai bentuk vandalisme—meski barangkali itu ilegal. Pembedanya di sini: lebih menonjolnya Manifestasi Yang Publik; lebih terakomodasinya narasi urusan bersama ketimbang akumulasi kemenangan pribadi atau kelompok.

Sama seperti spanduk sunat-tanpa-sakit, vandalisme Tsamara dan teman-temannya yang gondrong politikus adalah Manifestasi Yang Privat. Mereka bicara tentang mereka dan untuk mereka. Invasi mereka atas ruang publik sama-sama membentuk wajah kota dan cara kita mengingat kota.

Saya tak ingin identitas kota dibentuk secara dominan oleh partai politik atau merek minuman botol. Saya tak sudi kalau ingatan saya terhadap gang rumah adalah senyuman para politikus.

Buat saya, vandalisme parpol adalah sejenis pornografi. Keduanya punya ciri yang mirip: banyak dalam satu waktu (masa kampanye vs. ingatlah satu temanmu yang selalu sesumbar soal isi hardisk-nya), upaya panjang untuk memperolehnya tapi penggunaannya singkat (cukup jelas), dan mudah dilupakan (ada yang hafal wajah dan nama mereka?).

Secara lebih serius, kesamaan antara vandalisme parpol dan pornografi adalah terletak pada bagaimana keduanya sama dalam unsur eksploitasi, penyaluran syahwat, transaksional, dan bersifat jangka pendek.

Singkatnya, poster dan spanduk caleg adalah pornografi parpol. Dan poster Tsamara di tembok rumah saya adalah pornografi yang paling porno.

Lebih jauh, ada hal lain yang bisa kita pahami dari model kampanye Tsamara. Bukan sekadar vandalisme, apa yang dipertontonkan Tsamara itu memperlihatkan sesuatu yang lebih laten: hegemoniknya sistem dan budaya politik di Indonesia.

Sistem dan budaya politik itu menciptakan sebuah gelanggang yang mengoridori apa yang bisa dan tak bisa dikatakan/dilakukan; mengarahkan bagaimana politik “normalnya” dipraktikkan. Tak beranjaknya Tsamara dari metode kampanye yang primitif adalah contohnya. Alih-alih mempengaruhi sistem dan budaya politik, Tsamara malah dipengaruhi duluan, bahkan sebelum ia berada di dalam sistem (yang formal).

Sistem politik yang hegemonik ini membuat otonomi individu terlumat. Ia membatasi siapapun untuk bisa dan berani punya imajinasi politik di luar kelaziman. Hilmar Farid benar ketika mengatakan bahwa warisan paling bermasalah dari Orde Baru adalah kemiskinan imajinasi politik, sosial, dan budaya.

Kemiskinan imajinasi itu kini ada dalam standar memilih presiden: pilih yang ideal mendingan. Kemiskinan imajinasi itu kini terlihat dari absennya pertanyaan yang menggugat soal kenapa kita cuma punya dua kandidat presiden dan pemilihan keduanya tidak pernah melibatkan kita. Kemiskinan imajinasi itu hari ini terlihat dari kerdilnya pemaknaan tentang partisipasi politik: masuk TPS. 

Dalam kemiskinan imajinasi, memasang standar yang lebih tinggi buat calon presiden adalah kemewahan yang bukan saja tak boleh dimiliki, tapi juga tak boleh dibayangkan. Dalam kemiskinan imajinasi, memilih untuk tidak memilih tak pernah dipandang sebagai sebuah pernyataan politik yang layak.

Jangan lupa, selain memiskinan imajinasi, Orde Baru juga mewariskan stigma terhadap mereka yang memilih untuk tidak memilih.

 


Foto diambil dari sini.

7 thoughts on “Vandalisme Tsamara dan Kemiskinan Imajinasi Politik

  1. Meskipun tidak mengerti seutuhnya dalam satu kali baca, tapi tulisan ini mengingatkan saya bahwa anak muda pun tidak berubah dalam cara berkampanye. Makasih ya, untuk tulisannya. Nanti baca lagi ah!

  2. “Memilih untuk tidak memilih” berkesan puitis.. sementara “choose not to vote” lebih berkesan jantan..

  3. “…mudah dilupakan (ada yang hafal wajah dan nama mereka?).”

    saya bisa lebih ingat nama dan wajah bahan coli saya ketimbang setiap caleg yang poster/spanduk/balihonya merusak pemandangan sehari2 saya.
    menyamakan vandalisme parpol dengan pornografi adalah penghinaan dan penistaan terhadap pornografi; ia lebih cocok disamakan dengan sukatoro.

  4. Ini tulisan bernas betul. Memang, di musim politik, semua bentuk kegilaan dipertontonkan di muka umum. Abai terhadap etika dan lingkungan. Tidak bisa kita terima dengan akal sehat ada orang dengan sengaja memaku pohon demi menempelkan wajah jeleknya. Ruang publik dikotori padahal itu ruang bersama, tubuh bersama.

  5. Kalau saya sih sudah berkomitmen untuk tidak memilih capres, caleg, calon lurah atau siapapun yg pasang spanduk, banner, iklan dll sembarangan (sebuat saja nyampah).

    Belum jadi aja udah mengganggu kepentingan umum dg sampah visual / polusi visual. Belum lagi mereka merugikan negara, krn pasti gak bayar pajak waktu pasang spanduk dan bendera2 parpol mrka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *