Televisi dan Keseharian Orang Inggris

Web
Ilustrasi oleh Ellena Ekarahendy

Khalayak dipengaruhi banyak hal dalam keseharian mereka, sementara kita terlalu sering berkhayal tentang bagaimana mereka mengonsumsi media.

STUDI KHALAYAK MUNGKIN masih merupakan wilayah gelap dalam kajian media di Indonesia. Alih-alih diamati dan dipahami, para pembaca, pendengar, dan penonton media justru kerap didekati dengan asumsi-asumi yang sering kelewat sembrono. Pekerja media, pejabat, komentator isu sosial, hingga peneliti media terlalu sering berkhayal tentang bagaimana khalayak mengonsumsi media.
Satu-satunya survei atas khalayak paling besar dan paling konsisten di Indonesia dilakukan oleh lembagarating AC Nielsen. Di hadapan rating, khalayak hanyalah angka; komoditas yang dijajakan dari satu perusahaan ke perusahaan lain agar mau beriklan di media. Sementara survei penonton yang digerakkan industri terpaku pada apa yang ditonton, maka buku berikut menelisik tentangbagaimana orang menonton.
TV Living: Television, Culture, and Everyday Life (1999) karya David Gauntlet dan Annette Hill memberi gambaran tentang pengalaman warga Inggris berinteraksi dengan televisi dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini menunjukkan bagaimana pengalaman menonton televisi, pada saat yang bersamaan, membentuk dan dibentuk (oleh) rutinitas, sejarah individu, dan teknologi.
Buku ini mencontohkan bagaimana, misalnya, seseorang menentukan waktu jalan-jalan seturut jadwal serial drama di televisi yang ia gemari. Pada orang lain, jadwal kerjalah yang kemudian menentukan apa dan bagaimana ia menonton televisi. Bukan saja hidup individu, tapi pola menonton juga ditentukan oleh hidup orang lain, terutama yang tinggal serumah. Selera atau jadwal menonton anggota keluarga lain punya peran dalam penentuan apa yang ditonton. Menonton televisi di Inggris, seperti budaya di Indonesia, lebih sering menjadi praktik komunal ketimbang individu.
Continue reading “Televisi dan Keseharian Orang Inggris”

QZ8501, KPI, dan Revolusi Mental

MEMAMERKAN JENAZAH korban kecelakaan Air Asia QZ8501 secara close up dan terang benderang oleh TV One adalah bentuk kebiadaban media. Percayalah, itu bukan kebiadaban yang pertama. Ia juga tidak akan menjadi yang terakhir kalau tidak ada suatu mekanisme yang menjamin stasiun TV tak akan atau takut mengulanginya.
Pemberitaan model begitu kontan mengundang cacian dari banyak orang, termasuk juga menjadi perhatian banyak media internasional. Reaksi tersebut tentu sangat bisa dipahami. Sebab, menampilkan jenazah dalam situasi dan dengan cara sedemikian merupakan sebuah serangan terhadap kemanusiaan. Di luar itu, beribu kritik juga dialamatkan kepada model wawancara media yang tidak empatik dan pemberitaan bombastis-melodramatis yang diproduksi sejumlah stasiun TV dan media online.
Continue reading “QZ8501, KPI, dan Revolusi Mental”

Sindrom Kritik Musiman

Untitled_17
MAAFKAN atas kelancangan tulisan ini, yang bertanya di penghujung Ramadhan, di tengah persiapan kita menyiapkan pesta bagi hari kemenangan: apakah tuntutan agar televisi menjadi baik selama Ramadhan bisa tetap kita gemakan pada sebelas bulan lainnya?
Pasalnya, tiap Ramadhan, televisi mendadak mendapat perhatian lebih. Ia kemudian dicurigai, diwanti-wanti, dan dikeluhkan. Selama sebulan dalam setahun, televisi bak memanen kritik atas dirinya. Namun tulisan ini bukan untuk menambah daftar kritik itu—yang memang masih kurang banyak dan keras!—melainkan ingin mengkritik kritik terhadap televisi selama Ramadhan. Bukan ingin membela kelakuan industri televisi—termasuk pemilik dan pekerjanya, yang memang sudah sepantasnya menerima keluhan dan penyesalan dari masyarakat yang waras atas apa yang mereka tampilkan di layar kaca—tapi tulisan ini ingin mendiskusikan bahwa kritik kepada televisi yang terfokus dan serius hanya pada saat Ramadhan sebetulnya sedang mengembangkan cara berpikir yang keliru, yang malahan mendorong iklim investasi yang ramah bagi wajah bopeng televisi.
Kita tahu, selain sebagai sebuah momentum keagamaan, Ramadhan adalah juga sebuah momentum budaya dan politik. Sebagai momentum yang demikian, Ramadhan lalu menjadi arena bagi banyak pihak untuk menyatakan diri dan posisi. Maka penguasaan ruang, upaya pendefinisian, atau pengenaan atribut penanda kehadiran telah menjadi modus tahunan bagi siapa pun yang berkepentingan merebut kuasa dan simpati lewat Ramadhan. …baca lebih lanjut

Berbahasa Satu, Bahasa Televisi: Hiburan

Para pedagang buku bekas itu tertawa. Mereka menertawakan saya yang keluar-masuk kios mencari buku Menghibur Diri Sampai Mati. Ditulis oleh Neil Postman, buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 1995 dari judul aslinya Amusing Ourselves to Death, yang terbit pada 1985. Buku yang tergolong lawas memang. Tapi pasti bukan itu alasan mereka menertawai saya.
Mungkin ini: menghibur diri sampai mati. Terasa konyol, memang. Untuk apa kita menghibur diri sampai mati, begitu mungkin pikir mereka. Bukankah kita memang suka dihibur? Bukankah kita menantikan hiburan tiap detiknya? Justru, hidup ini akan lebih baik jika semua hal yang dialami dan dikerjakan bermakna sebagai hiburan. Tapi, adakah hiburan yang bisa membikin kita mati? Adakah kita bisa dimatikan oleh sesuatu yang kita cintai? Ada. Postman mendakwakan sangkaannya ini pada televisi.
Namun isi dakwaannya ini lain dari apa yang kebanyakan orang pikirkan hari-hari ini tentang televisi. Ketika banyak dari kita memikirkan bagaimana televisi bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan, Postman justru berpikir bagaimana pendidikan bisa digunakan untuk mengatasi televisi. Ketika kita sibuk menuntut televisi untuk menyajikan hal yang penting dan serius, ia malah menyarankan agar jangan sampai hal-hal penting dan serius itu dibicarakan oleh televisi. Ketika kita meminta televisi untuk tak menyajikan sampah, Postman malah seakan berkata sebaliknya: buanglah sampah pada televisi. Karena baginya, masalahnya bukan mengenai apa yang kita tonton, melainkan bahwa kita menonton televisi. …baca lebih lanjut