Satu Ketika di Bulan Mei dan Masa-masa Sesudahnya

Hari ini dan tiga belas tahun yang lampau. Keduanya sama: sejarah yang menggantungkan dirinya pada entah.

Hari itu, mata saya—harusnya Anda termasuk—merekam momentum sebuah bangsa yang penuh marah. Langit terbakar, bukan oleh matahari, tapi oleh bengis dan benci. Kota menjadi penuh gempita karena gairah ingin menghabisi orang lain. Saya, kita, merekam itu semua, mengenangnya, kemudian menyimpannya rapat-rapat. Takut. Rikuh. Enggan. Entahlah.

Saya, hari itu, memang cukup muda untuk memahami kenapa saya harus menanggung salah atas sesuatu yang tak pernah bisa saya pilih: Tionghoa. Pun terlalu dini untuk memahami kenapa hari mendadak murung dan orang-orang turun ke jalan untuk memburu kelompok warga macam saya dan keluarga.

Tapi, kemudaan itu, rasanya tidak menghalangi saya untuk sadar bahwa kebencian bisa lahir hanya karena Anda berbeda. Saya, tiga belas tahun di belakang, adalah bocah yang dipaksa menyimpan marah karena kepemilikan identitas etnis. Dan hari itu, sekali lagi, memaksa saya belajar bersahabat dengan ketakutan lebih awal.

Maka, setelah hari di mana banyak orang terbunuh dan terperkosa, adakah pembenci tubuh ini yang lebih besar dari pada saya sendiri? Suatu ketika di bulan Mei 1998 telah membentuk saya, dan mungkin jutaan warga (kebetulan) Tionghoa segenerasi, menjadi pembenci paling besar terhadap dirinya sendiri.

Keheranan meliputi benak ini. Bagaimana generasi terdahulu menghayati posisinya sebagai pribadi dan sebagai warga, setelah mengalami beragam peristiwa: pembunuhan massal 1946-1948, kerusuhan rasial 10 Mei 1963 di Cirebon, Malari 1974, kerusuhan 1980 di seputaran Jawa Tengah, atau yang sangat lampau: Oktober 1740 , Perang Jawa 1825 -1830, dan kerusuhan di Kudus 1918?

Bagaimana keadaan hari sesudah peristiwa penjarahan beberapa rumah yang tinggal satu kilometer dari rumah kita, misalnya? Apakah kita masih bicara tentang iuran sampah yang belum dibayar bulan lalu, atau masih dengan nyaman menerima pengantar air minum galon di rumah? Apakah dengan tidak membicarakannya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, semua itu usai?

Rasa-rasanya begitu: kita memilih aman dengan cara diam dan mendiamkan. Bukankah sakit untuk bicara tentang sebuah hari di mana suami Anda dibakar atau abang Anda memperkosa beberapa orang perempuan?

Film “?” garapan Hanung Bramantyo, misalnya, terlepas dari banyaknya problem artistik dan ideologis, adalah salah satu bentuk korek-mengorek luka itu. Dan sebagai masyarakat yang gemar lupa, yang menggantungkan hari esok pada rumput yang bergoyang, kita mengirim kecam kepada Hanung ketimbang mengakui ingatan tentang kebencian dan kecurigaan kita atas mereka. Kita memilih menyangkal sejarah hanya karena ia memulai pembicaraan tentang luka.

Tidak banyak orang di sekitar kita yang mengambil risiko mengulang sakit. Sigit Kurniawan, seorang teman etnis Jawa, misalnya, mengutarakan kejujurannya kepada saya pada suatu ketika: “Kalau aku mukul kamu, orang bilang aku rasis. Tapi kalau kamu pukul aku, orang teriaki aku kriminal.”

Kalau di hari depan ada generasi baru yang bertanya, “Kenapa kalian tidak bicara sehingga kami masih seperti ini?”, itu akibat orde ini – termasuk kita karena mendiam dan mengiyakan – yang menuntut kita menjadi bangsa yang pelupa dan pendiam. Termasuk pemaaf, atas peristiwa yang tidak terganti dengan sepotong kata.

Saya dan keluarga bukan beruntung, kalau hari ini nyawa masih melekat di badan. Apakah benar mereka yang mati terpanggang, kena bacok, dan diperkosa pada Mei 1998 hanya karena persoalan kurang beruntung? Semudah itukah kita mensejajarkan pembunuhan massal dengan undian mie instan: kurang beruntung.

Kebencian, apa kabarmu? Masihkah kau dikabarkan oleh mereka yang tolol? Seperti tulis Es Ito dalam ‘Surat Untuk Firman’: “Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian.”

Sudah cukup kebodohan bercokol di pejabat publik kita, kepandiran bersemayam pada televisi kita, kesewenang-wenangan pada militer kita, dan kegagalan pada sistem pendidikan kita. Sedang kita, semoga tidak bangga dan membisu atas berbagai peristiwa yang mengawal ingatan kita sebagai suatu bangsa. Kita bukan masyarakat yang mau tunduk terhadap logika yang tidak turut kita bangun, pikir saya.

Hari ini adalah hari di mana kita dipaksa memperingati sesuatu yang tidak ingin kita ingat. Hari di mana kita sekadar mengingatnya, tanpa perlu mengoreknya. Karena membicarakan masa lalu yang gelap memang bikin muram. Mengobati luka memang bikin perih. Dan kita mengindari itu, walau suatu hari nanti terpaksa menjalani operasi besar (kembali).

Petojo, 12 Mei 2011

Foto diambil dari sini.