Sindrom Kritik Musiman

Untitled_17
MAAFKAN atas kelancangan tulisan ini, yang bertanya di penghujung Ramadhan, di tengah persiapan kita menyiapkan pesta bagi hari kemenangan: apakah tuntutan agar televisi menjadi baik selama Ramadhan bisa tetap kita gemakan pada sebelas bulan lainnya?
Pasalnya, tiap Ramadhan, televisi mendadak mendapat perhatian lebih. Ia kemudian dicurigai, diwanti-wanti, dan dikeluhkan. Selama sebulan dalam setahun, televisi bak memanen kritik atas dirinya. Namun tulisan ini bukan untuk menambah daftar kritik itu—yang memang masih kurang banyak dan keras!—melainkan ingin mengkritik kritik terhadap televisi selama Ramadhan. Bukan ingin membela kelakuan industri televisi—termasuk pemilik dan pekerjanya, yang memang sudah sepantasnya menerima keluhan dan penyesalan dari masyarakat yang waras atas apa yang mereka tampilkan di layar kaca—tapi tulisan ini ingin mendiskusikan bahwa kritik kepada televisi yang terfokus dan serius hanya pada saat Ramadhan sebetulnya sedang mengembangkan cara berpikir yang keliru, yang malahan mendorong iklim investasi yang ramah bagi wajah bopeng televisi.
Kita tahu, selain sebagai sebuah momentum keagamaan, Ramadhan adalah juga sebuah momentum budaya dan politik. Sebagai momentum yang demikian, Ramadhan lalu menjadi arena bagi banyak pihak untuk menyatakan diri dan posisi. Maka penguasaan ruang, upaya pendefinisian, atau pengenaan atribut penanda kehadiran telah menjadi modus tahunan bagi siapa pun yang berkepentingan merebut kuasa dan simpati lewat Ramadhan. …baca lebih lanjut