Pempek

Ujung hidung saya menangkap bau yang sudah dihapalnya belasan tahun. Dialah yang membujuk kaki saya untuk turun ke lantai bawah.

BENAR saja! Apa yang diindra si hidung, ternyata sama persis dengan apa yang ditangkap mata saya: pempek. Bau dari penganan khas Palembang ini selalu mengganggu konsentrasi saya. Tak terkecuali hari ini. Ibu saya yang Palembang memang pandai menggoda lidah siapa saja dengan pempeknya.

Suara gemericik dari letupan-letupan kecil minyak goreng selalu melengkapi perziarahan kuliner saya dengan pempek. Artinya, hanya pempek panas, yang baru diangkat dari kualilah, yang menjadi mangsa saya. Sehingga saya berusaha duduk tak jauh dari dapur, tempat di mana dengan ajaibnya makanan perangsang lidah ini diolah.

Pempek asli Palembang biasanya dibuat dalam berbagai bentuk: panjang, isi telor, keriting, gepeng, dan bulat. Pada bentuk yang terakhir inilah Ibu saya paling sering membuatnya. ”Biar gak repot”, ujarnya.

Cairan encer bewarna coklat kehitaman, selalu menjadi teman setia saat melumat pempek. Cuka pempek, begitu biasa disebut. Namun sudah jadi kebiasaan saya untuk selalu memulai ritual melahap pempek tanpa cuka. Dengan begitu, lidah saya mampu melacak apa yang kurang dari pempek hari ini.

Rasa ikan tenggirinya amat pas. Tidak terlalu tajam, tapi juga tidak tenggelam karena adonan terigu. Ketika digigit, gress!, tingkat kekenyalannya amat sempurna. Lebih lembut dari bakso ikan, tapi sedikit lebih kenyal dari telur puyuh. Gigi depan saya merasa amat merdeka ketika panasnya pempek sebesar bola pingpong menari-nari dengan bebasnya. Seketika itu juga aroma bawang putih-bawang merah meruap masuk ke langit-langit mulut saya dan menyusup cepat ke kerongkongan. Takaran garam dan santan juga terasa amat pas. Sempurna.

Kontur pempek yang sedikit bergelombang, dan karenanya mencipta lekukan garing, adalah favorit saya. Karenanya, pempek-pempek yang menempati sebuah kotak plastik transparan buram warna putih keabu-abuan dengan ukuran panjang dan lebar kurang lebih 30 cm x 15 cm itu, sering saya gelindingkan satu per satu, sekedar untuk melihat konturnya. Pempek paling bopeng yang lebih sering saya mangsa. Ada kriuknya.

Sebuah mangkok plastik transparan buram berwarna biru saya keluarkan dari lemari piring. Di satu sisi tertulis sepotong merk: Supermie. Sebuah botol beling bekas sirup berisi cuka pempek sudah siap sedia sejak tadi. Sebuah stiker kumel yang sudah compang-camping di salah satu sisi botol memperkenalkan diri kalau ini bekas botol sirup ABC rasa leci. Di permukaan teratas cairan hitam kecoklatan ini mengapung segumpal ampas dan biji cabai. Sedang sisanya yang lain mengendap di dasar botol. Tenggelam.

Setelah asik mengunyah pempek tanpa cuka, saya membiarkan cuka pempek ikut bergulat bersama di dalam mulut. Pempek serasa lumer di lidah ketika disantap bersama cuka. Panas dan pedasnya cuka memberi tamparan tersendiri buat lidah. Sesekali satu sendok cuka menyusul ke mulut ketika pempek sedang terkunyah. Lewat celah-celah gigi saya yang tidak rapat, cairan campuran gula jawa, cabai, cuka, garam ini menyelinap ke sana ke mari menguasai mulut. Sehingga sesudahnya, lidah saya serasa diduduki dua perempuan tambun selama berjam-jam: panas.