Kalau kau ditantang menulis tiap dua minggu sekali, apa dan bagaimana kau akan menulis?
Pertanyaan sesialan itu kini tengah saya hadapi. Dan pertanyaan ini benar-benar sialan bukan hanya karena sulit dijawab, bukan juga karena akan menambah-nambah pekerjaan, tapi juga karena kesusahan ini bikinan saya sendiri. Namun kadar kesialannya agak terikhlaskan—bukan berkurang—ketika sadar bahwa saya tidak menghadapinya sendirian.
Sebermula dari lontaran iseng saya kepada teman-teman di Remotivi. Bunyinya senafas dengan pertanyaan sialan di atas: bagaimana kalau kita menulis apa saja, dengan mutu apa saja, tiap dua minggu sekali, di blog masing-masing? Seperti tebakan saya, pada awalnya usul ini ditolak mentah-mentah. Alasan penolakannya pun hapalan: sibuk, tak ada waktu, nggak bakat menulis, nggak punya blog, malas, dan seterusnya. Sadar suara saya tak imbang, usulan ini saya tarik kembali, sembari menyimpan dendam kepada demonstran paling bengal: Muhamad Heychael.
Tak putus semangat, usulan ini saya lontarkan lagi kali kedua. Apalagi waktunya saya pas-paskan saat berlangsungnya pelatihan menulis internal yang diberikan oleh Yusi Avianto Pareanom. Tapi, cuma geming dan nyengir yang membalas.
Usaha yang ketiga sudah saya rencanakan untuk diuji-coba kembali pada rapat evaluasi bulanan. Karena terencana, maka saya punya waktu untuk melobi beberapa teman. Mulai dari yang menyusup dalam obrolan tentang pekerjaan Remotivi, sampai yang terang-terangan saya giring untuk bersetuju. Sampai hari ini saya yakin, tak satu pun dari mereka sadar siasat saya ini.
Maka tibalah hari itu. Usai rapat bulanan—yang salah duanya menyimpulkan bahwa remotivi.or.id kerap kesulitan mencari penulis dan perlunya antarkami untuk lebih sering menulis di media massa sebagai ajang publikasi—usulan itu saya ajukan lagi. Tanpa banyak debat, rasanya, usulan itu akhirnya disetujui bersama. Perjanjiannya, masing-masing dari kami akan menulis tiap dua minggu sekali di blog masing-masing, tepatnya tiap tanggal 15 dan 30 tiap bulannya. Yang melanggar, didenda Rp 100 ribu per tulisan.
Saya gembira dengan kesepakatan ini—sekaligus mengutukinya, tentu.
***
MENULIS bukan hal baru buat saya. Sejak SMA—sekitar 12 tahun lalu—saya sudah menulis untuk dibaca oleh orang banyak. Soal mutu, tolong jangan ditanyakan, karena ini hanya akan bikin siapa pun iba kepada saya. Belum lama ini saya pernah membaca tulisan-tulisan awal saya tersebut, dan saya menyangkal pernah menulis semua itu.
Singkat cerita, lamanya usia kepenulisanmu tak akan membuat menulis menjadi pekerjaan yang mudah. Saya sering mendapati diri frustrasi karena menulis satu esai yang tidak selesai-selesai. Saya juga sering merasa mengalami pelecehan ketika membaca ulang tulisan sendiri yang bulan atau tahun lalu saya terbitkan dengan penuh kebanggaan. Dan kalau percobaan bunuh diri saat buntu ide ikut dihitung, maka saya yakin tiap varian ceritanya bisa menjadi buku sendiri-sendiri dengan berbagi format: novel, buku motivasi, atau catatan harian—yang kesemuanya laris, sehingga bisa dibuat film (mengenai keberhasilan anak Petojo bersekolah di luar Petojo), diseminarkan (mengenai kisah keberhasilan mengalami muntaber di usia muda), atau dibikin kicau harian di Twitter (mengenai kemampuan mengatasi diri dari situasi sulit sehari-hari, misal: berlaku wajar di dalam kelas ketika kecipirit sementara dosen minta menghapus papan tulis, berbelok di jalan verboden tanpa merasa bersalah, atau tertawa alamiah pada lelucon bapak-bapak-formal yang tidak lucu).
Berangkat dari pengalaman-pengalaman tadi, saya jadi punya dendam pribadi yang hari ini berubah menjadi ide untuk mendaftarkan Arswendo Atmowiloto ke pengadilan atas bukunya Menulis Itu Mudah karena isinya berupa fitnah dan penipuan.
Menulis tidak pernah mudah, setidaknya bagi saya.
(Dan kepada penulis-motivator yang judul buku dan seminarnya berbau “mudahnya menulis” atau “cara mudah menerbitkan buku best-seller”, padahal buku mereka cuma itu-itu dan begitu-begitu saja, saya ingin kirim ancaman: colok dubur sendiri atau dicolokin?).
Memang, ada kalanya saya bisa menulis sangat enak, ringan, cepat, dengan hasil akhir yang bikin saya senang. Tapi menulis dalam kemewahan semacam itu rasanya tidak cukup banyak saya alami. Kegiatan menulis lebih sering berkunjung dalam rupa siksaan. Bahkan Goenawan Mohamad dalam wawancaranya dengan Alfred Ginting yang dimuat Playboy Indonesia pada April 2007 mengaku, “Kadang-kadang saya mengutuk, kenapa ini saya lakukan terus-menerus.” Yang Goenawan kutuk adalah rutinitasnya menulis untuk kolom Catatan Pinggir di Tempo seminggu sekali sejak 1976.
***
DALAM urusan mangkir dari menulis, saya jagonya bikin alasan. Saya sering berlindung di balik alasan sibuk, sedang tidak mood, tidak bisa konsentrasi karena gaduhnya petasan, sampai alasan-alasan transendental seperti “jangan menulis dengan perut kosong”, “ide masterpiece akan datang pada detik-detik terakhir” , atau “tidak baik menulis pada Senin Pon bagi seorang Aquarius”. Alasan-alasan tersebut biasanya kehilangan kelancarannya ketika mendapati banyak penulis yang bisa menulis bagus dalam kondisi sulit, miskin, terancam, gembira, sibuk, main-main, takut, atau iseng. “Tak ada kondisi yang ideal untuk menulis,” ujar FX Rudy Gunawan suatu kali dalam pelatihan menulis yang diselenggarakan Agenda 18.
Maka ketika ada peluang untuk mendisiplinkan diri menulis—seperti kesepakatan dengan teman-teman Remotivi—saya merasa hal itu harus diambil. Kalau AS Laksana pernah berpendapat bahwa menulis bagus adalah masalah kebiasaan, maka menulis itu sendiri adalah masalah kedisiplinan. Dan merawat etos menulis, selain dengan membaca, adalah dengan cara berkumpul bersama teman-teman yang punya minat besar pada kepenulisan, papar Yusi Avianto Pareanom dalam wawancaranya dengan Anwar Holid.
Nah, cara “pemaksaan” macam ini rasanya lebih mungkin berhasil pada orang seperti saya, yang disiplin dan etos menulisnya melulu hanya berupa niat. Apalagi, teman-teman senasib-seperjuangan ini saya kenal baik dengan kekejamannya yang luhur dan tingkat radikalisasinya yang elok. Mereka akan jadi sekutu belajar yang tepat dan tabah.
Selain kepada teman-teman Remotivi—Roselina Lie, Yovantra Arief, Indah Wulandari, Suci Wulan Ningsih, Nurvina Alifa, dan Muhamad Heychael—metode menulis ini juga saya tawarkan ke teman-teman Agenda 18 pada minggu lalu seusai diskusi buku. Kebanyakan menyambut dengan antusias—walau ragu dan khawatir tetap tak ketinggalan dibawa-bawa. Dengan menempuh aturan yang sama, kami menyepakati denda atas pelanggarannya sebesar Rp 50 ribu. Angka dendanya lebih kecil dari yang ditetapkan geng Remotivi, tapi gabungan denda keduanya sudah lebih dari cukup untuk menakut-nakuti seorang dengan pendapatan kempis dan tak menentu seperti saya.
Tantangan menulis tiap dua minggu sekali di blog sendiri ini saya namai sebagai “Aerobik Menulis”. Saya belum menemukan jawaban kenapa sebutan itu yang tiba-tiba mampir di kepala ketika tulisan ini baru setengah kelar. Mungkin karena aerobik selain punya arti sebagai latihan rutin untuk kekuatan dan kelenturan tubuh, juga berarti sebagai kebutuhan oksigen bagi kehidupan, gerak, dan pertumbuhannya. Tapi kenapa “aerobik”? Bukankah pilihan lain juga melimpah? Tidakkah terkesan terlalu tergesa dalam menetapkan nama ini? Apa sebenarnya motif penamaan ini?
Wis ah, malas menjawabnya.
Sekarang lebih baik memikirkan bagaimana caranya menutup tulisan ini dengan paragraf yang ciamik sekaligus mampu menjawab pertanyaan di awal tulisan.
*Kalimat pembukaan menyontek gaya menulis Yusi Avianto Pareanom dalam cerpen “Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai” yang termaktub dalam buku Rumah Kopi Singa Tertawa (Banana, 2011).
**Foto diambil dari sini.