1998

Menjelang keruntuhan Orde Baru, sepotong “kisah” disiapkan: Jakarta dimandi api[1], juga Medan, Solo, Palembang, dan lainnya. Ribuan orang dimampuskan, perempuan Cina diperkosa, gedung-gedung dijarah dan dibakar. Lalu, negara absen. Rasa aman harus dibeli dengan menyewa jasa aparat keamanan atau preman lokal kelas teri, sedangkan yang lain berusaha membuat ilusi rasa amannya dengan bersalin identitas.

Usia saya 12 tahun ketika itu: menyaksikan penjarahan dan pembakaran di lingkungan rumah, mengungsi tiap dini hari ke kampung Betawi selama beberapa hari karena ada kelompok perusuh yang melintas, dan lewat televisi kengerian diasah sedemikian tajam, sedemikian dekat. Pada saat itu, dalam titik tertentu siapapun dipaksa berhadapan pada dua pilihan. Membunuh. Atau dibunuh.

Maka senjata tajam hasil rakitan ayah disiapkan di rumah, meski tak ada pelajaran singkat tentang cara menggunakannya atau arahan mengenai apa yang harus dilakukan. Tapi: ada insting. Pada situasi tertentu, instinglah yang membisiki seseorang untuk melakukan apa, kapan, dan bagaimana—mungkin itu yang ada di pikiran ayah.

Dan insting juga yang mungkin menuntun Prabowo Subianto mengatakan bahwa Tragedi Mei 1998 hanyalah sebentuk “pengorbanan yang sedikit”. Pun Fadli Zon, yang dengan amat menyakitkan menuduh mereka yang mengaku diperkosa pada Mei 1998 hanyalah orang-orang yang bertujuan mendapatkan green card dari pemerintah Amerika—selain penyangkalannya atas temuan-temuan Tim Gabungan Pencari Fakta.

Namun Prabowo dan Fadli keliru. Tiga hari pada Mei 1998 bukanlah sebuah pengorbanan yang sedikit, dan bukan juga sebuah pengorbanan yang mesti dibebankan kepada mereka yang tidak pernah tahu apa-apa. Satu saja nyawa yang hilang, sesungguhnya sudah teramat banyak, jenderal. Tapi Mei 1998 meminta korban lebih dari seribu nyawa, termasuk dibunuhnya empat mahasiswa Trisakti oleh tembakan peluru tajam milik tentara—meski Prabowo mengatakan tak ada tentara yang menembaki rakyat seperti revolusi di Mesir.

Ita Fatia Nadia, anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang mendampingi banyak korban perkosaan Mei 1998, menyimpan banyak cerita pilu tentang para korban. Ada cerita mengenai korban perkosaaan yang dipotong putingnya, seorang istri yang diperkosa di depan mata suaminya, seorang bapak yang dipaksa menyetubuhi puterinya sendiri, sampai dua gadis kakak beradik yang diperkosa di dalam lemari. Keduanya kemudian hamil. Yang satu menggugurkan kandungan, yang dua melahirkannya. Sang ayah yang tak tahan dengan penderitaan puterinya, menyodorkan obat pembasmi serangga, agar si puteri bisa mengakhiri hidupnya.

Sambil bergidik saya ingin katakan kepada Fadli: semua itu nyata. Mereka yang diperkosa bukanlah sebuah fakta yang mengada-ngada, apalagi politis—entah apa definisi politik dalam kepala Fadli. Tiadanya pengakuan terbuka oleh korban bukan berarti tiadanya korban—saya anjurkan Fadli mandi air terjun untuk memahami apa itu perkosaan dan keharusan korban bersaksi di depan publik. Apalagi kita semua tahu Ita Martadinata, seorang korban perkosaan, yang dibunuh menjelang keberangkatannya ke Amerika untuk bersaksi. Oleh polisi, kematian Ita disimpulkan sebagai tindak kriminal biasa.

Di negeri ini, kau tahu, menyalakan kebenaran bisa mematikan kehidupan.

Ketika ada fakta, saksi, dan mereka yang memelihara ingatan, maka hanya faktor insting yang bisa menjelaskan kenapa Prabowo dan Fadli bisa mengatakan hal demikian. Ingat, dalam situasi sulit—seperti cita-cita ingin menjadi presiden namun terbentur kasus masa lalu—insting bekerja. Bagai kucing yang mengubur beraknya, begitupun insting Prabowo dan Fadli yang bersikeras hendak mengubur Mei 1998. Ada apa di belakang sehingga dielak? Apa yang membangunkan insting Fadli untuk konsisten mengatakan “sebagai orang muda saya lebih menatap ke depan. Jangan sampai kita hanya bergulat dengan masa lalu yang tak pernah habis-habisnya”[2]?

Insting dalam memburu kekuasaan melahirkan kalap dan logika yang terkapar: teror oleh negara disimpulkan sebagai spontanitas kemarahan massa[3], seperti yang dinyatakan Fadli. Tragedi Mei 1998, yang menunjukkan peran militer, jelas adalah sebuah proyek menebar takut yang disponsori negara. Hanya negara dan perangkatnya yang bisa menghasilkan ribuan mayat dan bangkai bangunan dalam tempo sesingkat itu. Massa bukanlah pelaku, tapi alat yang dipakai oleh elit untuk pentas politik, di mana peran antagonis sudah dibiakkan sejak era kolonial sebagai bantalan: Cina.

Maka kita akan terbenam dalam kegaduhan saling curiga bila menyebut Tragedi Mei 1998 sebagai kerusuhan rasial. Etnis Cina hanyalah bom asap yang dipakai negara untuk melarikan diri. Teror oleh negara harus dibaca dalam konteks relasi vertikalis, bukan horizontalis. Kekeliruan dalam memaknai peristiwa hanya akan menyediakan kursi penonton yang empuk bagi penjahat sebenarnya. Sebab dalam Mei 1998, yang dibunuh adalah rakyat, yang dijarah adalah imajinasi tentang kebaikan, dan yang diperkosa adalah wajah kemanusiaan.

Bila Mei 1998 adalah sebuah panggung yang digelar untuk laga politik, maka 2014 adalah sebuah panggung yang lain. Ada mereka yang melompat dari satu panggung ke panggung yang lain. Ada mereka yang dituding sebagai pendukung kubu politik tertentu ketika membicarakan kisah di panggung 1998. Seolah yang politis hanyalah politikus dan partai politik. Sedangkan mempertanyakan kantung jenazah yang berisi seorang ibu yang memeluk anaknya yang sedang membawa mobil-mobilan bukanlah sikap yang politis.[4]

Dan politik menjadi sebuah kata yang semakin berjarak dan tak terjangkau.

Dimuat di Indoprogress, 18 Mei 2014.
 
[1] Istilah “mandi api” saya pinjam dari sajak Joko Pinurbo berjudul Mei.
[2] Simak rekaman Save Our Nation (Metro TV) pada menit 46:48 pada tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=XtpW-5ObbKA
[3] Dalam artikelnya di The Jakarta Post (15 Juli 1998), “Flaws of Riot Media Coverage”, Ariel Heryanto menawarkan istilah “teror”, bukan “kerusuhan”, untuk menyebut peristiwa Mei 1998, untuk menunjuk negara sebagai pihak yang bertanggungjawab.
[4] Kesaksian Ita Fatia Nadia dari pengalamannya mengidentifikasi mayat di RSCM yang ditulis dalam sebuah diskusi di Facebook.

Foto diambil dari sini.

Satu Ketika di Bulan Mei dan Masa-masa Sesudahnya

Hari ini dan tiga belas tahun yang lampau. Keduanya sama: sejarah yang menggantungkan dirinya pada entah.

Hari itu, mata saya—harusnya Anda termasuk—merekam momentum sebuah bangsa yang penuh marah. Langit terbakar, bukan oleh matahari, tapi oleh bengis dan benci. Kota menjadi penuh gempita karena gairah ingin menghabisi orang lain. Saya, kita, merekam itu semua, mengenangnya, kemudian menyimpannya rapat-rapat. Takut. Rikuh. Enggan. Entahlah.

Saya, hari itu, memang cukup muda untuk memahami kenapa saya harus menanggung salah atas sesuatu yang tak pernah bisa saya pilih: Tionghoa. Pun terlalu dini untuk memahami kenapa hari mendadak murung dan orang-orang turun ke jalan untuk memburu kelompok warga macam saya dan keluarga.

Tapi, kemudaan itu, rasanya tidak menghalangi saya untuk sadar bahwa kebencian bisa lahir hanya karena Anda berbeda. Saya, tiga belas tahun di belakang, adalah bocah yang dipaksa menyimpan marah karena kepemilikan identitas etnis. Dan hari itu, sekali lagi, memaksa saya belajar bersahabat dengan ketakutan lebih awal.

Maka, setelah hari di mana banyak orang terbunuh dan terperkosa, adakah pembenci tubuh ini yang lebih besar dari pada saya sendiri? Suatu ketika di bulan Mei 1998 telah membentuk saya, dan mungkin jutaan warga (kebetulan) Tionghoa segenerasi, menjadi pembenci paling besar terhadap dirinya sendiri.

Keheranan meliputi benak ini. Bagaimana generasi terdahulu menghayati posisinya sebagai pribadi dan sebagai warga, setelah mengalami beragam peristiwa: pembunuhan massal 1946-1948, kerusuhan rasial 10 Mei 1963 di Cirebon, Malari 1974, kerusuhan 1980 di seputaran Jawa Tengah, atau yang sangat lampau: Oktober 1740 , Perang Jawa 1825 -1830, dan kerusuhan di Kudus 1918?

Bagaimana keadaan hari sesudah peristiwa penjarahan beberapa rumah yang tinggal satu kilometer dari rumah kita, misalnya? Apakah kita masih bicara tentang iuran sampah yang belum dibayar bulan lalu, atau masih dengan nyaman menerima pengantar air minum galon di rumah? Apakah dengan tidak membicarakannya, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu, semua itu usai?

Rasa-rasanya begitu: kita memilih aman dengan cara diam dan mendiamkan. Bukankah sakit untuk bicara tentang sebuah hari di mana suami Anda dibakar atau abang Anda memperkosa beberapa orang perempuan?

Film “?” garapan Hanung Bramantyo, misalnya, terlepas dari banyaknya problem artistik dan ideologis, adalah salah satu bentuk korek-mengorek luka itu. Dan sebagai masyarakat yang gemar lupa, yang menggantungkan hari esok pada rumput yang bergoyang, kita mengirim kecam kepada Hanung ketimbang mengakui ingatan tentang kebencian dan kecurigaan kita atas mereka. Kita memilih menyangkal sejarah hanya karena ia memulai pembicaraan tentang luka.

Tidak banyak orang di sekitar kita yang mengambil risiko mengulang sakit. Sigit Kurniawan, seorang teman etnis Jawa, misalnya, mengutarakan kejujurannya kepada saya pada suatu ketika: “Kalau aku mukul kamu, orang bilang aku rasis. Tapi kalau kamu pukul aku, orang teriaki aku kriminal.”

Kalau di hari depan ada generasi baru yang bertanya, “Kenapa kalian tidak bicara sehingga kami masih seperti ini?”, itu akibat orde ini – termasuk kita karena mendiam dan mengiyakan – yang menuntut kita menjadi bangsa yang pelupa dan pendiam. Termasuk pemaaf, atas peristiwa yang tidak terganti dengan sepotong kata.

Saya dan keluarga bukan beruntung, kalau hari ini nyawa masih melekat di badan. Apakah benar mereka yang mati terpanggang, kena bacok, dan diperkosa pada Mei 1998 hanya karena persoalan kurang beruntung? Semudah itukah kita mensejajarkan pembunuhan massal dengan undian mie instan: kurang beruntung.

Kebencian, apa kabarmu? Masihkah kau dikabarkan oleh mereka yang tolol? Seperti tulis Es Ito dalam ‘Surat Untuk Firman’: “Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian.”

Sudah cukup kebodohan bercokol di pejabat publik kita, kepandiran bersemayam pada televisi kita, kesewenang-wenangan pada militer kita, dan kegagalan pada sistem pendidikan kita. Sedang kita, semoga tidak bangga dan membisu atas berbagai peristiwa yang mengawal ingatan kita sebagai suatu bangsa. Kita bukan masyarakat yang mau tunduk terhadap logika yang tidak turut kita bangun, pikir saya.

Hari ini adalah hari di mana kita dipaksa memperingati sesuatu yang tidak ingin kita ingat. Hari di mana kita sekadar mengingatnya, tanpa perlu mengoreknya. Karena membicarakan masa lalu yang gelap memang bikin muram. Mengobati luka memang bikin perih. Dan kita mengindari itu, walau suatu hari nanti terpaksa menjalani operasi besar (kembali).

Petojo, 12 Mei 2011

Foto diambil dari sini.