Jokowi, Orang Rimba, dan Kekerasan Kultural

DENGAN MENGGUNAKAN HELIKOPTER TNI AU, Presiden Jokowi menemui Suku Anak Dalam di Sorolangun, Jambi, pada 30 Oktober 2015. Di tengah tragedi asap, menemui kelompok masyarakat adat secara langsung seperti yang dilakukan Jokowi ini adalah langkah yang positif. Gestur Jokowi ini bisa dibaca sebagai bentuk pengakuan terhadap Suku Anak Dalam sebagai warga negara yang haknya juga patut mendapat perhatian.

Setelah pertemuan itu, di depan wartawan Jokowi menyatakan keinginannya agar Orang Rimba—sebutan lain untuk Suku Anak Dalam—tidak lagi hidup nomaden. Tepat di sinilah masalahnya, karena kepedulian itu diterjemahkan dalam cara pikir yang keliru dan bias modernitas.

Buat saya, ungkapan ingin merumahkan Orang Rimba adalah bentuk kekerasan kultural. Ini adalah sebuah sikap paradigmatik yang dilatari oleh mentalitas superior terhadap bangsa atau kelompok lain. Akibatnya, pemahaman jenis ini percaya bahwa cara menempuh hidup cuma ada satu, yakni cara hidup “kami”, dan itu lebih baik dari cara hidup “kalian”, dan sudah seharusnya “kalian hidup seperti kami”.

Ketika dilakukan negara, maka ia menjadi kekerasan kultural-struktural. Ini persis seperti apa yang dilakukan pemerintah Australia (pendatang dari Eropa) terhadap suku Aborigin, kelompok pendatang yang tiba jauh lebih dulu—untuk tidak mengatakannya “suku asli”, “pribumi”, dan sebagainya.

Lantas apa yang dilakukan pemerintah Australia? Yakni dengan memisahkan anak-anak Aborigin dari orangtuanya untuk tinggal dan dididik di keluarga kulit putih. Alasannya adalah untuk memudahkan proses integrasi orang Aborigin ke kehidupan modern—selain juga alasan untuk melindungi anak. Tentu, selalu ada alasan berkesan “mulia” untuk menjustifikasi arogansi modernitas, yang ujung-ujungnya, kita tahu, sebenarnya untuk mendominasi.

Mentalitas superior kulit putih terhadap penduduk jajahannya telah merampas hak anak-anak tersebut untuk hidup bersama keluarganya. Mereka dikenal sebagai “stolen generation”, sejak istilah itu dipakai pertama kali oleh sejarawan Peter Read pada 1981. Pada 2008, pemerintah Australia meminta maaf karena kebijakan masa lalunya ini.

Negara modern yang berpondasikan perasaan superior terhadap mereka yang liyan menerbitkan kebijakan-kebijakan dengan cirinya yang anti-keberagaman. Ada kegagalan dalam memahami mereka yang berbeda. Misalnya dengan kebijakan yang memaksa mengonsumsi beras bagi masyarakat pengonsumsi sagu atau memaksa berpakaian dalam standar budaya tertentu bagi masyarakat dari latar belakang sosio-kultural berbeda.

Maka, kalau saya punya pendapat begini, ini bukan perkara romantisme. Ini juga bukan tentang heroisme budaya ala Taman Mini Indonesia Indah dan turunannya, dengan slogan-slogannya yang lugu sekaligus konyol seperti “save our heritage” atau “lestarikan budaya asli”. Saya bukan penganut paham demikian—apalagi pandangan yang mengobjektivikasi masyarakat adat dengan mengekang “keasliannya” atau “ke-eksotisan-nya” untuk tujuan dagang turisme.

Dalam konteks ini, saya percaya, perubahan adalah keniscayaan. Tiap masyarakat akan terus berubah. Tapi perubahan adalah pilihan dan konsensus. Dan tidak berubah pun bukan berarti “terbelakang”. Sebaliknya, yang harus negara lakukan adalah menjamin hak masyarakat adat, dengan memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal, termasuk kebutuhan mengekspresikan budaya sekolompok masyarakat.

Nomaden, bagi Orang Rimba, sejauh yang saya tahu, bisa dimaknai sebagai wujud ekspresi budaya. Hal ini terkait dengan melangun, yakni tradisi berpergian jauh dalam waktu lama ketika ada sanak keluarga yang meninggal. Melangun dilakukan untuk membuang sial dan mengusir kesedihan karena kematian. Waktunya tak menentu, dan ketika selesai Orang Rimba akan memilih lokasi yang baru untuk ditinggali. Hari ini, masamelangun tidak bisa lama karena semakin kecilnya wilayah mereka akibat pembukaan lahan perkebunan, selain juga adanya kekhawatiran dijarahnya tempat tinggal mereka oleh para bedebah.

Maka, yang mesti dilakukan Jokowi bukan meminta Orang Rimba hidup menetap dan berumah, tapi melindungi hak mereka dengan menjamin ruang hidupnya agar tidak terusir (dan terasapi), salah satunya, oleh perusahaan sawit.

Merumahkan Orang Rimba bisa dibaca sebagai bentuk kekerasan kultural dan pengabaian indigenous rights, karena ini bisa jadi bukan sedang memfasilitasi kebutuhan tempat tinggal, malah melainkan memisahkan mereka dengan kosmologi ruang hidupnya. Hutan dan hidup nomaden adalah cara Orang Rimba membentuk ikatannya dengan ruang hidupnya.
Merumahkan Orang Rimba adalah bentuk pemisahan dari ruang hidupnya yang melemahkan ikatan terhadapnya. Dengan lemahnya ikatan Orang Rimba atas hutan atau ruang hidupnya, maka jalan perusahaan untuk mengekspansi lahan bisnisnya akan semakin mulus, misalnya.

Catatan di berbagai tempat di dunia telah menunjukkan tentang bagaimana kolonialisme berhasil melakukan dominasi atas sumber daya alam masyarakat adat dengan pertama memprimitifkan dan kemudian dengan arahan untuk mengubah cara hidup mereka. Ini, misalnya, dialami oleh orang Dayak yang dicerabut dari kehidupan komunalnya di rumah betang (rumah besar yang ditinggali puluhan hingga ratusan orang) menuju “rumah modern” (satu rumah satu keluarga). Dengan begitu, ada yang perlahan dilenyapkan: kesadaran kolektif.

Ngomong-ngomong, ungkapan Jokowi tersebut sebenarnya tidak saja mewakili cara pemerintah dalam memandang keberadaan masyarakat adat, tapi juga mewakili kebanyakan masyarakat yang mabuk modernitas. Cara pandang itu setara dengan Trans TV lewat programnya “Primitive Runaway” beberapa tahun lalu, yang kemudian berubah menjadi “Ethnic Runaway” setelah diserbu protes. Singkat kata, ini sebuah tayangan yang memboyong selebritas ibu kota ke sebuah komunitas masyarakat adat untuk mengolok kehidupan si liyan tapi dengan kemasan filantropis.

Arogansi modernitas memang selalu punya cara untuk membuat dirinya tampak sebagai juru selamat.

Diterbitkan sebelumnya di GeoTimes, 1 November 2015

Apa Kabar Masyarakat Adat?

Ia orang Dayak Punan. Dalam sebuah diskusi informal, lelaki limapuluhan tahun itu bicara, “Kalau hutan habis, apakah saya masih disebut masyarakat adat? Apakah saya masih orang Punan?”
PERTANYAAN itu tiba-tiba menjadi besar dan rumit ketika diucapkannya menjelang perayaan Hari Masyarakat Adat Sedunia (HMAS) yang tepat dirayakan beberapa hari lalu, 9 Agustus 2010. Pun hanya berjarak seminggu dari 17 Agustus, hari kemerdekaan republik ini. Ternyata di usia 65 tahun republik ini masih ada sekelompok masyarakat yang resah pada hak yang paling asasi dalam hidupnya: tanah. …baca lebih lanjut