Mentor Saya: Ignatius Haryanto

Seperti saya, kau barangkali juga punya satu atau lebih orang yang berperan dalam pertumbuhanmu, baik secara karir, intelektual, spiritual, dan lainnya. Orang-orang seperti ini biasanya berada di luar sistem yang resmi. Hubunganmu dengannya bersifat informal. Mereka tidak mendapat insentif ekonomi dengan membantumu, meski mereka selalu menjadi tempat untuk kau mintai pendapat, kau dengar pengalamannya, kau masuki jaringan sosialnya, kau teladani jalan hidupnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kau anggap sebagai mentor. 

Saya punya beberapa mentor yang berbeda di tiap periode hidup, dan saya berhutang kepada mereka semua. Ignatius Haryanto adalah salah satunya. Kalau saya menulis tentangnya sekarang, bukan saja karena saya ingin kau tahu tentangnya, tapi juga agar ia tahu betapa berarti perannya dalam kehidupan saya.

Saya memanggilnya Mas Hari, atau kadang Mas Kum-Kum, meniru teman-teman seangkatannya yang memanggilnya demikian. Kum-Kum adalah serial anime Jepang pertama yang ditayangkan di Indonesia pada era 1970-an melalui TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Mas Hari selalu antusias bertanya ke anak muda yang baru belajar mengenai panggilan bekennya itu, “Tahu Kum-Kum, nggak?”. Tentu saja tidak ada yang mengangguk. Kadang ia berlagak pilon, lupa bahwa ia datang dari zaman ketika Barry Prima masih menjadi idola remaja.

Saya pertama kali kenal dengannya di sebuah pelatihan jurnalistik pada 2005. Waktu itu saya masih mahasiswa, yang sedang produktif-produktifnya menulis, meski tulisan-tulisan tersebut masuk kategori jelek saja belum pantas. Sejak itu kami menjadi dekat. Kami jadi sering bertemu di berbagai kegiatan yang berhubungan dengan anak muda dan dunia tulis-menulis. Ia memang orang yang gampang disukai oleh anak-anak muda. Di sekelilingnya pasti ada anak muda yang tanpa sungkan bergurau dengannya. Saya malah rutin menghina dirinya. Ampun, om.

Ignatius Haryanto yang kau tahu barangkali adalah seorang penulis yang berfokus pada isu jurnalisme. Kau mengenalnya, atau mungkin familiar dengan namanya, karena ia memang seorang penulis yang rajin menerbitkan artikel populer di media. Sebelum bertemu dengannya secara fisik, saya sudah bertemu dengan tulisan-tulisannya di koran, meski hal ini saya baru sadari kemudian. Tapi, bukan pikiran-pikirannya yang mempengaruhi saya, melainkan laku hidupnya. Ia saya anggap sebagai mentor pertama-tama karena jalan hidupnya memberikan saya gambaran alternatif tentang cara menempuh hidup.

Saya dibesarkan di dalam keluarga pedagang. Kedua orangtua saya tidak pergi ke universitas. Karena orangtua saya punya usaha biro iklan, sejak kecil saya dikelilingi banyak surat kabar dari berbagai daerah di Indonesia. Minat saya pada isu sosial dan politik tumbuh dari kebiasaan membaca dan mengkliping koran—sesuatu yang saya sadari belakangan. Tapi secara sosiologis, hidup saya tidak pernah berpapasan dengan mereka yang hidup dari menulis atau kerja intelektual. Lingkungan sosial saya adalah lingkungan pedagang, pemilik bengkel, bandar bajaj, karyawan kantor, dan preman pasar. Kau mungkin iba dengan pikiran saya ketika itu: bahwa para intelektual itu cuma ada di buku sejarah—yang lebih menyerupai dongeng—dan saya tidak pernah tahu ada orang dari “kalangan” saya yang menjadi intelektual. Senyata-nyatanya Soe Hok Gie, buat saya waktu itu, ia tetap fiksi.

Mas Hari adalah sosok intelektual pertama yang saya kenal secara nyata. Melaluinya, saya bukan saja menjadi tahu bahwa ada dunia lain di luar lingkungan sosial saya, tapi bahwa ada “orang seperti saya” yang bisa memilih hidup dengan cara demikian. Kami memang berbagi banyak kesamaan, mulai dari identitas etnis, agama (waktu itu saya religius), dan rambut (waktu itu saya gondrong dan, percaya deh, potongannya lebih amboi dari Mas Kum-Kum). Kalau kau ada di sebuah dunia yang tidak lazim untuk orang sepertimu, kau tahu, kau selalu butuh mimpi dan aspirasimu mendapat validasi, salah satunya adalah dengan menyaksikan secara langsung orang yang serupa denganmu berhasil menjalani mimpinya.

Namun Mas Hari berperan lebih jauh dari sekadar sebagai role model. Ia membantu mengetuk dan membukakan pintu bagi saya untuk masuk ke dunianya. Satu per satu temannya, yang selama ini pikiran atau namanya saya baca di media, dikenalkan kepada saya. Mas Hari bahkan beberapa langkah lebih ampuh ketimbang Yellow Pages. Kalau buku besar kuning ini cuma memberimu informasi kontak, Mas Hari menghubungi kontak tersebut untuk dirimu, mengatur janji pertemuan, dan memberi pengantar yang pas tentang dirimu sehingga kontak tersebut punya minat atasmu. Latar belakangnya sebagai mantan wartawan dan karirnya yang dibangun di dalam dunia riset dan aktivisme, membuat jaringannya luas dan beragam. Tak terhitung berapa nama yang ia sambungkan dengan saya, dan banyak dari koneksi itu yang kelak menentukan jalan hidup saya.

Selain membukakan pintu, Mas Hari juga membagikan “panggungnya”. Banyak kali saya diajak tandem dengannya untuk mengisi pelatihan menulis. Atau ia merekomendasikan nama saya untuk pekerjaan, kolaborasi, atau apapun yang kebutuhannya memerlukan peran orang seperti saya. Selain mendapat honor dan membuka jaringan, hal ini juga memberikan saya ekosistem untuk bisa bertahan di dunia yang saya jalani ini.

Tidak banyak orang yang sudi membagi panggungnya, dan Mas Hari adalah pengecualian. Karena itu, tak heran hingga berbelas-belas tahun kemudian, hidup kami selalu beririsan. Ketika pada 2010 saya mendirikan sebuah lembaga penelitian media, Remotivi, Mas Hari tentulah orang pertama yang ada di pikiran saya untuk ditodong bantuan. Ia menjawabnya bukan saja dengan kesediaannya menemani kami belajar, tapi juga memberikan ruangan di kantornya ketika itu, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, untuk kami tempati.

Di dunia akademik, sidik jari Mas Hari atas saya juga berbekas. Ia menuliskan surat rekomendasi yang saya pakai untuk studi master di Swedia. Ketika saya kembali ke Indonesia, ia menginformasikan adanya lowongan dosen di kampus tempat dia mengajar. Sebagai dosen senior, ia selalu menyediakan dirinya untuk saya berkonsultasi mengenai materi ajar, menghadapi mahasiswa, dan yang tersulit, menyiasati cuaca akademik di Indonesia yang sering mendung.

Besok di Geneva saya akan menempuh salah satu fase penting dalam studi doktoral saya: sidang pra-disertasi (semacam sidang proposal di Indonesia). Ketika sedang menyiapkan presentasi dan jawaban–jawaban untuk dua profesor pembimbing, sebuah pertanyaaan tiba-tiba menyergap: apa yang telah berperan membawa saya ke titik ini? Dan saya tidak bisa berpikir lain selain peran mentor-mentor saya, yang mana Mas Hari adalah salah satunya.

Mentorship punya peran penting dalam kebudayaan manusia. Fungsinya sangat vital dalam membikin pengetahuan, kebijaksanaan, dan jaringan sosial terwarisi dari generasi ke generasi. Namun peran mentor sering tidak dikenali. Valuasi sosial kita luput memberikan penghargaan yang layak atas peran mentor yang informal. Kita memiliki hari guru di Indonesia, tapi tidak ada yang namanya hari mentor (saya baru tahu ternyata ada perayaan Hari Mentor Internasional tiap 17 Januari!). Sebabnya mungkin karena keberadaan mentor yang cair dan beroperasi di luar sistem. Mungkin juga karena peran mentor biasanya menggugat sistem, atau ia justru menjadi ada karena sistem telah gagal memenuhi kebutuhan kita untuk bertumbuh.

Barangkali memang mentorship sebaiknya tidak perlu dikenali oleh sistem valuasi sosial kita yang kapitalistik itu. Tempatnya yang selalu berada di tepi justru membuat peran mentorship khas dan tidak tergantikan—seperti halnya peran Mas Hari dalam hidup profesional saya.

Hari ini, 23 Maret, Mas Hari berulang tahun. Sepanjang mengenalnya, saya belum pernah memberinya kado ulang tahun. Karena itu kali ini saya ingin menghadiahkannya dengan sesuatu yang dulu sekali ia berikan kepada saya: menulis.

Selamat ulang tahun, Mas Har. Tetap menyerah, jangan semangat. 🫣

 

__
Photo by john Applese on Unsplash