Hery Budiawan dalam Second Stage

BANYAK seniman-seniman besar yang bahan dasar ciptaannya berasal dari realita di sekitarnya. Realita temuannya – atau bikinannya – tersebut direkonstruksi sedemikian rupa demi melayani ide sang kreator. Dan memang benar, buah dari pohon ide tersebut setidaknya mengandung refleksi atau cermin representatif – terlepas dari berhasil atau tidaknya – atas realita-realita yang diolahnya menjadi karya seni.

Dalam karya sastra, misalnya, kita bisa memahami maksud di atas dengan menyelami karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Banyak novelnya yang mengambil konteks realita sosial. Misalkan Tetralogi Pulau Buru-nya – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah – yang merekonstruksi keadaan pergerakan nasional Indonesia yang masih dalam tahap embrio. Sastrawan lain kita tahu ada nama Nawal El Saadawi dari Mesir, Leo Tolstoi dari Rusia, atau Remy Sylado dari tanahair yang terpikat untuk membaui karya-karyanya dengan realita. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma dengan lantangnya menyerukan perlawanan terhadap pembungkaman atas fakta-fakta kebenaran dengan kumpulan artikelnya yang dibukukan, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Lewat kredo Seno ini kita mahfum, bahwa terkadang karya seni melampaui batas-batas penyampaian pesan secara‘normal’. Karya seni mampu menjadi media alternatif ketika lewat media ‘normal’, pesan-pesan berguguran menjadi kehampaan yang tak terpakai – namun saya tidak bilang karya seni itu ‘abnormal’. …baca lebih lanjut