Media Sosial dan Kemenangan Kelas Menengah

PENGHUJUNG 2015 lalu, Presiden Joko Widodo mengukir rekor baru bidang administrasi pemerintahan. Hanya dalam waktu satu malam, ia membatalkan Peraturan yang dibikin oleh menterinya sendiri Ignasius Jonan. Peraturan yang dibatalkan Jokowi itu adalah tentang larangan beroperasinya Go-Jek dan bisnis semacamnya.

Banyak orang kemudian menjunjung media sosial sebagai alat yang berhasil menekan Jokowi membatalkan peraturan itu. Memang, reaksi negatif terhadap pelarangan tersebut mendominasi pembicaraan di media sosial. Kemudian, baik Go-Jek dan CEO-nya Nadiem Makariem, melalui akun media sosial masing-masing memanfaatkan momen ini untuk mengidentifikasi keputusan pembatalan tersebut sebagai kemenangan “media sosial”, “suara rakyat”, dan “ekonomi kerakyatan”. Dengan gincu nasionalisme, tentu.

Terlepas dari pembajakan definisi ekonomi kerakyatan, ada pertanyaan menarik untuk diketengahkan dari sisi kajian media: apakah benar ini kemenangan media sosial? Bagaimana proses dan formasi yang tersedia dalam kemenangan itu? Lantas, siapa yang dimenangkan?

Telah banyak peristiwa publik mewarnai dan diwarnai di dan oleh media sosial. Elit ekonomi dan politik melakukan jual-beli pengaruh melalui ruang digital ini. Keputusan politik atau kebijakan publik sering bersandar dari sentimen yang muncul dari sini. Proses macam ini menjadi masalah ketika suara media sosial dianggap representatif untuk mewakili seluruh suara publik yang beragam.

Dalam proses tersebut, aspirasi antarkelompok yang bertarung bisa dibaca dengan melihat upaya mereka dalam menunjuk dan mendefinisikan siapa publik dan apa maunya mereka. Memang, mengutip Coleman dan Ross (2010: 3), “penamaan dan pembingkaian mengenai siapa publik adalah aktivitas utama dari demokrasi kontemporer yang termediasi”. Nah, upaya pendefinisian publik inilah yang perlu diperiksa. Karena bagaimanapun juga, publik adalah “produk dari representasi”, yang terbentuk melalui “proses mediasi yang didominasi oleh kekuatan politik, institusional, ekonomi, dan budaya” (ibid, 2010: 3).

Apalagi, kini proses komunikasi semakin termediasi (Livingstone, 2013: 25)—yang membuat media sosial menjadi semakin penting untuk dikaji. Ada kesadaran bahwa sesuatu seolah tiada bila tidak termediasi. Kesadaran digital ini kemudian menunggalkan “yang termediasi” sebagai representasi masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, mereka yang tidak masuk atau berperan minor dalam proses mediasi akan cenderung terpinggirkan.

Sayangnya studi-studi di Indonesia yang ada berhenti pada pembacaan yang merayakan kehadiran media sosial ketimbang upaya menginterogasinya. Saya berpendapat perlu ada lebih banyak bahasan yang memetakan relasi kuasa yang tercipta di dalamnya; hubungan yang kemudian berperan dalam menyeleksi substansi dan pembingkaian sebuah isu. Karena ketika media sosial dijadikan sandaran satu-satuya aspirasi publik keseluruhan, maka beberapa masalah segera mengemuka dengan terang benderang. Tulisan ini ingin menunjukkan persoalan itu, yakni tentang kemenangan kelas menengah di media sosial dan proses pembentukan kekuatan tersebut.

Memindai Media Sosial

Saya hendak memulai dengan pertama-tama memeriksa klaim-klaim yang mengonstruksi pandangan atas media sosial.

Mari berangkat dari glorifikasi orang banyak terhadap media sosial sebagai alat demokrasi yang independen, non-hierarkis, dan desentralis. Media sosial seolah dinubuatkan sebagai anti-tesis dari kebanyakan media korporasi,[1] yang di era Reformasi ini gagal memandu publik terlibat lebih aktif dan berdaulat dalam demokrasi. Benarkah demikian?

Mari kita uji dengan soal klaim independen. Kalau independensi didefinisikan sebagai kemandirian menyusun agenda sendiri dan kemampuan mengelolanya dengan konsisten dan kebal intervensi, maka kita bisa melihat bagaimana media sosial gagal menjalani peran ini. Mudah untuk menunjukkan betapa ketergantungan media sosial dari media arus utama. Agenda pembicaraan di media sosial adalah kepanjangan tangan dari agenda pembicaraan media korporasi. Apa yang dibicarakan orang di media sosial adalah apa yang diberitakan oleh media korporasi.

Memang, dalam beberapa kasus tertentu terdapat beberapa pembicaraan yang diawali di media sosial dan kemudian membesar. Tapi yang tidak bisa dinafikan adalah fakta bahwa isu tersebut hanya menjadi besar setelah diangkat media korporasi. Pun, pembicaraan bisa berbelok mendadak ketika media korporasi mengarusutamakan topik lain.

Artinya, media sosial bukan saja gagal memiliki agendanya sendiri sebab agendanya ditentukan oleh media korporasi, melainkan juga gagal dalam menjaga ritmenya sendiri. Merlyna Lim menyebut media sosial tertanam dalam sistem kontrol, kekuasaan, dan dominasi media yang lebih besar (2013). Dengan kata lain, pengguna media sosial yang seolah berkuasa itu sebenarnya lebih sering serupa dengan anak kecil yang jenis mainan dan waktu memainkannya dipilihkan dan diganti secara berkala oleh pengasuhnya.

Hal lain, banyak orang beranggapan bahwa media sosial lebih bersifat non-hierarkis karena adanya kesejajaran dalam memproduksi, mendistribusi, dan berinteraksi antar-aktor komunikasi. Anggapan demikian mesti ditunda sebelum memeriksa bagaimana kekuasaan (power) memainkan perannya dalam medan tersebut. Nyatanya, patronisme masih berlaku, misalnya, di mana para pesohor digital memiliki pengaruh jauh lebih besar daripada penduduk digital[2] biasa dalam melancarkan sebuah isu. Malah—walau tidak selalu—kesahihan atau tingkat kepercayaan orang terhadap sebuah informasi tergantung dari “derajat selebritas” mereka yang menyebarkan informasi. Kacaunya, ukuran ini juga sering dipakai wartawan dalam memproduksi berita.

Begitupun soal desentralisasi. Apakah Jakarta dan kota-kota besar lainnya masih mendominasi apa yang layak dibicarakan di media sosial? Seberapa besar peluang penduduk digital non-urban di luar kota besar dalam mengadvokasi isunya sendiri? Tentu, ada persoalan infrastruktur Internet yang tak merata sebagai penyebab ketimpangan peluang. Tapi perlu dicatat pula aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya masyarakat yang berada di tepian diskursus “nasional”, yang sedari lama dipinggirkan karena isunya tak pernah dianggap relevan. Sebab sejatinya struktur sosial di media sosial merupakan pantulan struktur sosial sesungguhnya.

Kelemahan-kekurangan yang ada tersebut bisa dibaca sebagai berikut. Pertama, bahwa kehadiran media sosial tidaklah otomotatis membawa perubahan, khususnya bagi kelompok masyarakat yang berada dalam lapisan terbawah dan jarang memiliki ruang untuk menyuarakan pendapatnya. Kedua, bahwa media sosial punya bias karena ia tidak pernah menjadi medium yang netral, melainkan selalu menjadi medan pertempuran antarkelompok yang saling memperebutkan makna dan kekuasaan. Ketiga, bahwa penduduk digital tidak sepenuhnya berdaulat atau bahkan tidak menyadari bahwa kesadaran dan tindakan yang mereka lakukan sebagai radiasi dari kerja media korporasi.

Memang data keras dibutuhkan untuk membuktikan sanggahan-sangahan tadi. Tapi kalau terbukti demikian, maka penting untuk memeriksa peran dan keterhubungan antar-aktor komunikasi di dalam perbincangan publik yang ada, yang umumnya didominasi oleh para elite seperti pejabat, politikus, pemilik media, wartawan, aktivis, hingga selebritas di media sosial. Soal inilah yang perlu digali lebih jauh dalam studi-studi media baru, seharusnya. Namun dalam kesempatan ini saya ingin menyederhanakan pembahasan dengan menyempitkannya pada hubungan antara pengaruh media korporasi dalam membentuk watak media sosial.

Saya punya asumsi yang mesti dibuktikan lebih lanjut, yakni bahwa media korporasi tetap merupakan aktor utama dalam menyodorkan agenda pembicaraan publik. Seberapa fundamentalisnya seseorang mengelu-elukan media sosial, kekuatan media korporasilah yang mengarusutamakan dan meminggirkan sebuah pembicaraan. Dalam etos kerja yang celakanya hanya bersandar pada logika pasar, media korporasi tentu punya pembayangan kepada siapa kerja-kerja mereka utamanya ditujukan, dan ini berujung pada pertanyaan tentang siapa yang dilayani. Dengan mengetahui hal tersebut kita bisa mendapat pemahaman lebih terang mengenai beragam sentimen yang mewarnai media sosial, termasuk pada kasus Go-Jek.

Yang Dilayani Media Korporasi

Beberapa peristiwa berikut bisa memberikan gambaran tentang siapa yang dilayani oleh media korporasi.

Kunto Adi Wibowo, mahasiswa doktoral di Wayne State University, Amerika Serikat, pada suatu waktu menyampaikan pengamatannya atas kejadian meletusnya Gunung Kelud di Kediri pada 2014. Dia berpendapat bahwa media lebih mengarusutamakan pemberitaan mengenai jasa penerbangan yang terganggu dan membatalkan perjalanan banyak orang ketimbag pemberitaan atas korban bencana, kesigapan pemerintah, atau pemantauan distribusi bantuan. Dalam konteks ini, media lebih melayani pengguna jasa penerbangan ketimbang warga di sekitaran Gunung Kelud. Pertanyaan yang dapat ditarik dari sini adalah, gangguan terhadap perjalanan udara merupakan aspirasi kelompok yang mana?

Pemberitaan buruh adalah contoh lain tentang bagaimana media lebih fokus pada aspirasi di luar subjek pemberitaan (buruh). Alih-alih memberikan ruang untuk memahami masalah dan tuntutan buruh, media lebih fokus mengangkat kemacetan dan sampah yang dihasilkan dari aksi buruh. Media juga senang bermain-main dengan bahasa yang hiperbolis sehingga tuntutan buruh menjadi sekadar bahan lelucon di media sosial. Dengan aksentuasi pada soal-soal tersebut, aspirasi kelompok manakah yang sedang disuarakan? Mengapa kemacetan yang diakibatkan konser di Gelora Bung Karno atau penutupan jalan akibat lari maraton, misalnya, punya nada pemberitaan yang berbeda? Simaklah berita yang menggambarkan kemacetan akibat konser Bon Jovi ini, diiringi dengan caption “masyarakat begitu antusias…”.

Contoh lain adalah ketika musim mudik lebaran tiba. Salah satu rutinitas media pada umumnya adalah dengan memberitakan kerepotan warga kelas menengah Jakarta yang ditinggal mudik pekerja rumah tangga (PRT) berikut tips-tips mengatasinya. Coba bandingkan dengan jumlah berita yang mendiskusikan mengenai hak libur PRT atau pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR), misalnya. Akhirnya, pertanyaan di atas perlu dimunculkan kembali: aspirasi kelompok manakah yang dilayani media?

Hambatan jasa penerbangan, ketertiban jalanan Jakarta, menertawakan aspirasi buruh, antusiasme menonton konser, hingga beban pikiran kala ditinggal PRT mudik tentu adalah aspirasi kelas menengah. Pertanyaan yang sama dapat dirumuskan ketika terjadi pelarangan Go-Jek untuk beroperasi, aspirasi siapa yang terganggu? Kita semua paham bahwa isu tersebut merepresentasikan kelompok masyarakat yang bisa mengakses layanan Go-Jek, yaitu para pengguna ponsel pintar, mereka yang daya mobilitas personalnya tinggi, serta para pengguna transportasi publik yang selalu punya kemampuan ekonomi untuk mengambil pilihan lain ketika transportasi publik yang murah seperti kereta dan Metromini tidak berfungsi.

Dalam memberitakan pelarangan Go-Jek, terlihat dengan jelas bahwa media lagi-lagi sedang melayani aspirasi kelas menengah perkotaan. Media memberikan dukungan moral kepada Go-Jek secara positif. Mulai dari pemberitaan yang mengantagoniskan Jonan dengan meminta pendapat Ridwan Kamil, mengutip Jokowi yang mengatakan “jangan mematikan inovasi”, sampai berita “Kabar Gembira! Menhub Jonan Cabut Larangan…”. Pertanyaannya: kabar gembira buat siapa? Kabar gembira ini aspirasi siapa?

Secara kontras, mari bandingkan dengan pemberitaan Detik.com mengenai aksi mogok awak Metromini yang terjadi pada saat yang bersamaan. Kalau pelarangan Go-Jek dibingkai pada kekhawatiran terampasnya kenyamanan, maka pemberitaan mogoknya supir Metromini dianggap angin lalu, yang seolah tidak mengganggu aspirasi siapapun: “Bagaimana Hari Anda dengan Metromini Mogok Pagi Hingga Siang Ini, Terganggu?”, “Metromini di Blok M Mogok, Penumpang Tidak Peduli”, “Penumpang Cuek Operator Metromini Mogok Massal: Nggak Ngaruh!”, hingga pemberitaan bernada nyinyir lewat “Mungkin Ikuti #Savegojek, Supir Metromini Gelar #SaveMetromini di Blok M”.

Tentu mogoknya Metromini tidak mengganggu aspirasi kelas menengah yang punya pilihan mengakses beragam moda transportasi. Tapi ini jelas menganggu kelompok masyarakat yang punya pilihan terbatas. Namun, seolah tak menghiraukan aspirasi publik yang beragam, Detik.com menunggalkan representasi suara publik dengan hanya mengandalkan sumbernya dari survei Twitter atau pendapat warga yang bisa mengakses layanan ojek daring, yang tentunya berpendapat bahwa mogoknya Metromini tidak berpengaruh terhadap hidup mereka. Pengelolaan Metromini memang bermasalah dan penuh dibenahi. Tapi mogoknya mereka tidak bisa dibilang tidak berpengaruh pada siapapun!

Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam beberapa peristiwa, media korporasi dan wartawan kerap mewakili aspirasi kelas menengah. Mereka gagal menjadi institusi dan profesi yang mewakili dan menyerap aspirasi yang beragam dari berbagai kelompok dan jenis kepentingan. Padahal, mengutip Kovach (2007), loyalitas wartawan adalah kepada warga, bukan semata kepada warga kelas menengah.

Bila kritik pada media tradisional kerap dialamatkan pada kegagalannya merepresentasikan “yang lain”, maka dalam konteks budaya digital, media malah melangkah lebih teruk: pengabaian, menganggap “yang lain” tidak ada. Memang media korporasi memiliki keterbatasan yang tidak memungkinkannya mampu melayani aspirasi segala kelompok. Namun keterbatasan yang dipilih tersebut bisa dilihat sebagai manifestasi keberpihakan media.

Itulah mengapa saya berpendapat, bahwa kerja media korporasi semacam itulah yang membentuk watak media sosial dan penduduknya. Dukungan publik yang masif terhadap Prita Mulyasari (#KoinPrita) dan lesunya dukungan pada kasus Lapindo—sebagaimana ilustrasi yang dicatat oleh Lim (2013)—misalnya, bukan saja memperlihatkan kedua contoh tersebut sebagai ekspresi penduduk digital mendefinisikan “sesamanya” (seorang ibu dipidana karena mengeluhkan layanan rumah sakit berbayar adalah aspirasi yang bisa dialami kelas menengah perkotaan manapun) dan “bukan sesamanya” (petani di perdesaan yang lingkungannya ditenggelamkan lumpur bukan ancaman nyata dan rutin yang menghantui kelas menengah perkotaan), tapi juga sebagai hasil dari kerja media korporasi yang memberi aksentuasi kepada “yang kami” dan menganaktirikan yang “bukan kami”. Situs Change.org, sebagai contoh yang lain, juga menyediakan data yang kaya untuk melihat sentimen dukungan penduduk digital kepada apa yang didefinisikan sebagai “kami” dan “bukan kami” atau isu “kami” dan “mereka”.

Begitu berpengaruhnya media korporasi dalam mengoridori pembicaraan dan sentimen di media sosial, karena itu sebenarnya terlalu dini untuk melemparkan sinisme semata kepada kelas menengah—kelas yang kesadaran politiknya dijinakkan selama tiga dekade berkuasanya Orde Baru. Luputnya melihat media korporasi sebagai aktor utama, membuat kita sering dan akan terus gagal melihat persoalan ini secara struktural. Pengabaian masalah struktural inilah yang kemudian melahirkan kelas menengah yang juga abai pada persoalan struktural pula. Ini tercermin dalam ekspresi pembelaan fanatik terhadap Go-Jek, namun luput mempersoalkan kelalaian pemerintah dalam memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan transportasi publik, seperti amanat UU No. 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Jadi, kemenangan siapakah pelarangan Go-Jek?***

Diterbitkan di IndoPROGRESS, 4 Januari 2016
———-
[1] Meniru gerakan di barat dalam mengkritik media, dalam tulisan ini saya akan memakai istilah “media korporasi” untuk menggantikan “media massa” atau “media arus utama” sebagai cara untuk mencirikannya dengan tepat dengan asosiasi peyoratif: media yang dibiayai dan dikontrol oleh perusahaan dan pemiliknya
[2] Penggunaan istilah “penduduk digital” dipakai di sini untuk memberikan kualitas demografis ketimbang kualitas politis seperti yang melekat dalam istilah “warga digital” atau “netizen”—yang mana pemakaian istilah ini perlu diperiksa dan disoal.

Kepustakaan:

Coleman, Stephen & Ross, Karen. 2010. The Media and The Public: “Them” and “Us” in Media Discourse. Wiley-Blackel.
Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom. 2006. 9 Elemen Jurnalisme. Pantau: Jakarta.
Lim, Merlyna. 2013. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia.
Journal of Contemporary Asia, 2013 Vol. 43, No. 4, 636–657.
Livingstone, Sonia. 2013. The Participation Paradigm in Audience Research. The Communication Review, 16:1-2, 21-30.

Ojek menyalip, Go-Jek menyelip

Di Jakarta, ada pepatah yang tidak akan pernah menjadi klasik: tanyalah alamat kepada tukang ojek.

Oke, oke, itu memang bukan pepatah. Kalimatnya tak indah. Ngarangnya pun barusan. Toh, saya hanya ingin katakan: betapa banyaknya tukang ojek di Jakarta. Jarang ada simpang yang bersih dari ojek, begitu pun mulut gang, seputar stasiun dan terminal, rumah sakit, dekat halte Traja,[1] pasar, titik favorit penumpang turun dari bis/angkot, depan kompleks perumahan, dan seterusnya. Pendeknya, tukang ojek ada di mana-mana. Teror? Justru tidak. Mereka setidaknya bisa difungsikan sebagai GPS berjalan (Global Positioning System): tempat menanyakan alamat. Di beberapa tempat, mereka malah menjadi mitra warga untuk turut menjaga keamanan lingkungan atau mengurai lalu lintas yang kusut. Ketimbang tukang ojek, saya malah lebih takut kalau polisi ada di mana-mana.

Premis di atas berbunyi: tukang ojek ada di mana-mana. Tapi sebelum Nadiem Makarim, pemuda yang belum 28 tahun, pernahkah terlintas premis lain: meminta tukang ojek beli pizza via Twitter? Lewat Go-Jek, Nadiem memastikan premis tadi bukan cuma bualan.

Go-Jek adalah perusahaan layanan transportasi ojek sepeda motor yang mulai beroperasi sejak Februari 2011. Pada prinsipnya ia layaknya ojek pada umumnya yang dengan kelincahannya bisa membawa penumpang menembus kemacetan lalu lintas Jakarta dengan cepat. Namun bedanya, jasa Go-Jek bisa dipesan melalui telepon. “Bisa juga via Facebook dan Twitter, asal cantumkan nomor telepon,” jelas Kusnadi Mansyur atau Nana, Operating Manager Go-Jek, saat ditemui pada medio April di kantornya di daerah Mayestik, Jakarta Selatan.

Pada situsnya, www.go-jek.com, tertulis bahwa layanan ojek ini bukan hanya mengantar penumpang, tapi juga layanan kurir antar-jemput barang hingga berbelanja kebutuhan pelanggan seperti di supermarket dan restoran. “Setiap ojek dibekali kartu Flazz sebesar Rp 200 ribu,” ujar Jurist Tan, Chief Operating Officer (COO) Go-Jek, dalam wawancara pada suatu siang di mal Pacific Place, Jakarta Selatan. Dengan segala inovasi tadi, Go-Jek menganggap dirinya sebagai generasi baru ojek Jakarta.

Soal tarif, Jurist menjelaskan, ditentukan berdasarkan perhitungan algoritma yang sistemnya dibuat setelah melakukan survei ke lebih dari 100 ojek di Jakarta di pangkalan ramai maupun sepi. “Dari sana ditarik garis tengahnya,” paparnya. Tarif termurah saat ini sebesar Rp 10 ribu, yang jaraknya tidak lebih dari 1 kilometer. Untuk yang jauh, tarifnya tentu semakin mahal, seperti pernah ada pelanggan yang minta diantar ke bandara Cengkareng. “Yang lebih gila lagi dari Mangga Dua ke Puncak,” kenang Nana, “kebetulan supirnya tinggal dekat-dekat Bogor.” Tarifnya Rp 220 ribu.

Suatu kali saya memakai jasa Go-Jek. Operator di ujung telepon menyebut Rp 25 ribu untuk ongkos dari daerah Petojo ke Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Setelah menyetujui tarif, telepon ditutup, kemudian sebuah SMS mendarat di ponsel. Isinya mengenai nama supir ojek, rute, tarif, dan lamanya waktu penjemputan. Dari 15 menit waktu yang dijanjikan, supir Go-Jek baru tiba 45 menit kemudian. Namanya Rudi, ternyata kami bertetangga beda RT. “Maap, Bos. Tadi nanggung saya lagi ngurus…,” ekor kalimatnya termakan suara jalanan. Rudi sudah dua kali mendapat pelanggan dari Go-Jek. “Yang pertama bule… Hahaha…,” kenangnya geli.

Rudi biasa mangkal di jalan Majapahit, Harmoni, Jakarta Pusat. Sepeda motornya seperti milik kebanyakan supir ojek yang ada. Perbedaannya ada pada perlengkapan khas Go-Jek yang berwarna hijau: helm dan jaket. Sedangkan saya mengenakan helm biasa. “Bau stroberi kan?” tanyanya memastikan standar layanan Go-Jek yang menyediakan parfum bagi para supir untuk melenyapkan bau apek di helm yang kerap menjadi ciri khas para tukang ojek.

Rudi berkisah, pada awalnya ia heran dengan konsep yang ditawarkan Go-Jek ini. Tapi setelah menjalaninya, ia merasakan keuntungan tambahan. Teman-temannya sesama tukang ojek juga ditawari tapi menolak. “Sekarang baru pada nyesel,” ucapnya penuh kemenangan.

Soal sistem kerjasama, tukang ojek mitra Go-Jek tidak mendapat gaji layaknya pegawai pada suatu perusahaan. Yang ada ialah prosentase bagi hasil pada tiap transaksi yang dilakukan via Go-Jek dengan tukang ojek mendapatkan bagian lebih besar.

“Mereka itu bukan karyawan kita, mereka partner, cuma kolaborasi aja,” jelas Jurist. Karena itu, di luar Go-Jek mereka tetap dapat bekerja seperti biasa: menunggu di pangkalan dan membawa penumpang secara pribadi. Mereka pun bisa menolak pesanan yang datang dari call center Go-Jek. “Hubungan tukang ojek dengan kami itu sangat bebas. Mereka tidak terikat apapun,” Jurist menekankan.

Maka jelaslah mengapa sistem kerjasama antara Go-Jek dengan tukang ojek ini menjadi menarik. Selain karena meningkatkan pelayanan tukang ojek–bisa dipesan via telepon, dibekali aksesoris, dan menyediakan jasa lain–Go-Jek juga menambah penghasilan tukang ojek, tanpa mengambil jatah ojek pada umumnya. “Yang kami lakukan adalah, mengambil lebih banyak orang yang tidak ada di dekat pangkalan,” ujar Jurist. Sementara bagi orang yang semula enggan naik ojek karena, seperti kata Jurist, “belum ada supir yang bisa dipercaya,” Go-Jek menjamin kepercayaan itu.

Untuk mendengar pendapat pengemudi Go-Jek soal sistem yang ada, saya menemui beberapa di antaranya yang berpangkalan di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Aziz asal Ujung Pandang misalnya, yang sudah mengojek di Jakarta sejak 1989, mengatakan ada keuntungan dengan bergabung bersama Go-Jek, yaitu dapat tambahan penumpang. Ia tertarik dengan konsep kerjasamanya yang tidak mengganggu pekerjaan utamanya. Dari Go-Jek, Aziz sudah mendapat 3 penumpang. Senada dengan itu, Ahmad, yang ngojek sejak 1997, mengatakan ide Go-Jek bernilai positif bagi tukang ojek, meski ia baru satu kali mendapat penumpang dari Go-Jek. “Setiap kali dipanggil lagi di jalan nganter orang,” katanya.

BERJEBAHNYA tukang ojek di Jakarta adalah hasil perkawinan dua ledakan besar: gagalnya sistem transportasi dan banyaknya jumlah pengangguran. Mudahnya layanan kredit sepeda motor mungkin dapat dianggap sebagai ledakan yang ketiga. Konon, generasi awal menjamurnya keberadaan ojek motor dipicu oleh ditetapkannya larangan becak beroperasi di Jakarta pada era 1990-an. Ketika itu masa Visit Indonesia Year 1991. Republik ini menganggap becak tidak sejalan dengan pencitraan Jakarta sebagai kota modern yang cepat dan menggilas.

Mundur ke belakang, pada 1987, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang bersumber dari data Kantor Kepolisian Republik Indonesia, jumlah total kendaraan di Indonesia ada sebanyak 7.981.480 unit. Ini meliputi mobil penumpang (1.170.103), bis (303.378), truk (953.694), dan sepeda motor (5.554.305). Dua dekade setelahnya, pada 2009, jumlah mobil naik sampai sepuluh kali lipat menjadi 10.364.125 unit. Dan untuk motor berjumlah 52.433.132 unit dari 70-an juta total kendaraan yang ada. Ini berarti, 74% dari kendaraan yang ada di Indonesia merupakan sepeda motor!

Sepeda motor adalah siasat. Bagaimanapun, bagi sebagian besar penduduk, sepeda motor adalah jawaban (sementara) atas gagalnya sistem transportasi yang ada. Harganya yang murah, kemampuannya yang efektif dan efisien, perawatannya yang rendah biaya, serta menjamurnya pembayaran kredit, adalah sejumput alasan kenapa banyak orang (terpaksa) terpikat pada kendaraan satu ini.

Bagaimana dengan mobil pribadi? Soal mahal itu sudah pasti. Tapi Marco Kusumawijaya, seorang arsitek dan pengamat perkotaan, menilai bahwa mobil, selain membangun keterasingan antar warga kota, juga sangat tidak efisien dalam praktiknya. “Mobil pribadi di Jakarta memakai 85% ruang jalan, tapi hanya mengangkut 9,7% perjalanan,” tulisnya.[2] Pendek kata, mobil bukanlah jawaban untuk mayoritas warga.

Buat warga Jakarta, rasanya macet di ibukota yang bedebah sudah menjadi alasan yang sangat-sangat cukup untuk menggunakan sepeda motor. Tapi bolehlah memperpanjang daftar dosa kota ini untuk menambah kuat alasan: kereta yang jadwalnya seturut mood masinis, permainan “Saya Sudah Ditodong, Kamu?” di Metromini, laju bus Patas yang seram bagai wahana arung jeram; kebawelan supir Mikrolet agar penumpang duduk lebih dari 4 dan 6 orang di tiap baris kursi, sampai Traja yang kinerjanya suka-suka. Ya, deretan barusan sangat cukup ‘kan untuk menjawab kenapa sepeda motor di Jakarta berjumlah 8 juta unit, hampir melampaui jumlah penduduknya yang ‘cuma’ 8,5 juta jiwa?[3]

Di sisi lain, ibukota ini juga dihadapkan pada persoalan minimnya lapangan pekerjaan. Rumitnya mekanisme pada sektor formal yang berwatak birokratif, dan rendahnya tingkat keterampilan semakin menutup peluang kerja yang ada. Gayung bersambut dengan adanya situasi masyarakat yang membutuhkan jasa transportasi cepat dan mudahnya kepemilikan sepeda motor melalui kredit. Kemudian, semua latar tadi mendesakkan hadirnya sebuah kondisi yang tersiasati.

Kehadiran ojek di Jakarta, jelas adalah bentuk siasat itu. Siasat untuk mengatasi nafkah sehari-hari bagi pelakunya, dan siasat untuk menghindari kutukan jalanan Jakarta bagi penggunanya. Apalagi, menyitir Najid, dosen Perencanaan Transportasi Fakultas Teknik Universitas Tarumanegara, ojek sangat pas dengan karakteristik warga Jakarta yang lebih senang melakukan perjalanan sendiri daripada berkelompok.[4]

Dalam dinamikanya, ojek sepeda motor kemudian mewarnai tingkah kota. Kehadirannya turut membentuk narasi kota dan melahirkan banyak peristiwa. Jenaka maupun pahit. Menyentuh maupun mengesalkan.

Ada kisah tukang ojek di Cianjur, Jawa Barat, yang sepeda motornya dilarikan penumpang yang pura-pura buta.[5] Ada juga cerita pemuda yang mengalami kecelakaan karena tukang ojek yang ditumpanginya sedang mabuk. Cerita tukang ojek yang tak sengaja diludahi supir truk atau yang kakinya bersandal tergilas roda bajaj, adalah sesuatu yang saya alami sendiri ketika memakai jasa ojek.

Namun yang paling menggelikan sekaligus mengherankan adalah cerita seorang kawan yang memercayai ojek langganannya untuk mentransfer uang dalam jumlah besar,[6] atau tukang ojek yang terperdaya oleh modus kriminal absurd dalam merampas sepeda motor–sang penumpang perempuan menggoda tukang ojek untuk menghisap payudaranya, yang sebelumnya sudah diolesi obat bius.[7]

Pada 2011, walau belum ada data yang pasti, jumlah tukang ojek yang beredar di Jakarta diperkirakan berjumlah puluhan ribu. Bila diandaikan ada 10 ribu pengojek saja, dan tiap pengojek menanggung hidup 3 orang (1 istri dan 2 anak), berarti ada 40 ribu nyawa bergantung pada alat produksi satu ini.

Memang, melubernya tukang ojek dengan cepat bukan tanpa masalah. Legalitas, standar keamanan, tindak kejahatan dari pengojek maupun pengguna, sampai disiplin berkendara adalah beberapa dari masalah yang kerap menempel pada aktivitas tukang ojek. Lantas, di mana posisi pemerintah dalam hal ini? Jangankan berposisi, saya pikir, mengambil sikap pun tidak.

Hal ini terlihat jelas dari ambiguitas yang ditampilkan pemerintah, seperti yang terbaca pada berita berikut: “Ojek sepeda motor bukan kendaraan umum. Keberadaan ojek justru dianggap mengganggu dan menyebabkan kemacetan. Karena itulah, pemerintah daerah mengimbau warga untuk tidak naik ojek. Demikian disampaikan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Usar Pristono di Jakarta.”[8]

Tetapi di sisi lain malah dipelihara: “Sebanyak 3000 tukang ojek sepeda motor di Jakarta diberi pelatihan berkendara aman, serta pembekalan Undang-Undang Lalu Lintas Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. ‘Mereka akan kami bekali dengan pengetahuan undang-undang lalu lintas terbaru, seputar tertib di jalan raya dan tingginya risiko apabila melanggar lalu lintas,’ kata AKBP Kanton Pinem, Kasubdit Dikyasa Polda Metro Jaya, Selasa (25/1)”.[9]

Dari hal tadi terbaca sesuatu: keengganan pemerintah untuk menentukan sikap karena pilihan melarang maupun membolehkan sama-sama bukan pilihan yang populer. Pelarangan beroperasinya ojek dapat berujung pada serangan publik mulai dari tuntutan lapangan kerja alternatif, tidak pro-rakyat kecil, sampai argumen 40 ribu nyawa bergantung pada profesi ini. Sama halnya dengan pelegalan tukang ojek, karena siap-siap saja menampung kemarahan pekerja di bidang transportasi lain (angkot, bis, taksi, bajaj) yang beroperasi dengan resmi. Maka, pemerintah kita, yang kita gaji dari pajak, memilih bersikap ngambang, melayang, ngeflai.[10] Asik, ‘kan?

INOVASI yang diserap dari situasi kota, yang lantas dipertemukan dengan ide bisnis sosial, rupanya lumayan menghembuskan angin segar dari Jakarta yang pengap—dan juga sakit—ini. Begitulah kira-kira yang tertangkap dari semangat Go-Jek.

Dengan cerdik, Go-Jek meletakkan posisinya dalam spektrum serba kacau yang sudah dibahas di atas tadi. Kemengambangan sikap pemerintah terhadap tukang ojek, kebutuhan yang tinggi dari warga Jakarta dalam menggunakan jasa ojek, serta diimbangi dengan keinginan mengevolusi (kalau boleh dikatakan demikian) profesi tukang ojek, adalah latar yang disulap Go-Jek menjadi sebuah nilai yang baru. Maka itu, pada situsnya tertera: Gojek adalah bisnis sosial yang bermitra dengan kelompok ojek terpercaya untuk memberikan berbagai layanan praktis bagi warga Jakarta yang ingin menghindari macet.

Adalah Nadiem Makarim, orang muda yang membangun inovasi berojek lewat perusahaan yang didirikannya, PT Go-Jek Indonesia. Konsep Go-Jek dibangun dengan bersandar pada pengalaman pribadinya dengan tukang ojek. Rutinitasnya menggunakan ojek membuatnya lebih mengenal dekat para tukang ojek. “Supir ojek sangat ramah dan aman. Kebanyakan [mereka sudah] berkeluarga dan sangat terpercaya,” kisahnya melalui surat elektroniknya kepada saya. Dari kedekatan itu ia melihat, “Bahwa mayoritas dari waktu mereka sebenarnya hanya menunggu pelanggan di pangkalannya.”

Nadiem adalah CEO dan Founder di Go-Jek. Untuk membantunya, ia menunjuk kawannya Michelangelo Moran dan Brian Cu. Masing-masing sebagai Branding Director dan Finance Director. Di luar Go-Jek, mereka punya aktivitas masing-masing yang berlainan. Nadiem berada di Amerika, menempuh studi magister di Harvard Business School, dengan fokus pada Kewirausahaan dan Bisnis Sosial. Michelangelo bekerja sebagai desainer perusahaan dan disc jockey. Sedang Brian, warga negara Filipina, bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Tak ketinggalan Jurist Tan, sang COO, yang adalah seorang periset ekonomi kemiskinan.

Kadang saya bertanya-tanya, kenapa ide berdampak sosial ini malah datang dari mereka yang seringkali terabaikan dalam diskursus-diskursus gerakan sosial di Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang berjarak—secara geografis, dan mungkin juga sosio-kultural—yang sering dipersepsikan tak acuh terhadap kondisi sosial masyarakat. Lantas, kemana mereka yang tidak berjarak, yang mengklaim diri berbuat sesuatu berdampak sosial—walau diam-diam menikmati rupiah dan status sosial lewat modus-modus hipokrit?

Nadiem sederhana saja. Walau sejak SMA berada di luar Indonesia, ia terbiasa dididik dalam tradisi keluarga yang berproyeksi terhadap tanah air—walau saya pun muak dengan cekokan model nasionalisme sempit seperti praktik yang kini marak. Dengan ringan ia mengatakan, “Generasi saya terekspos dengan berbagai macam model bisnis di negara lain yang unik tapi sukses. Jadi menurut saya, orang muda yang agak nekat lebih cocok untuk memulai usaha seperti ini.”

Buatnya, banyak sekali inovasi yang perlu dilakukan di republik ini. Ia menilai, dengan segala karut-marut sistem transportasi di Jakarta, misalnya, pemerintah harusnya membuat terobosan dengan melakukan jauh lebih banyak terhadap ojek. Menurutnya, ojek adalah sarana transportasi yang akan terus berkembang, karenanya patut diperlakukan seperti sarana formal lainnya. Hal ini pun turut diperkuat Jurist, “Masih banyak ruang untuk memperbaiki tingkat servis di negara ini.”

Sebenarnya, ide memberdayakan ojek sebagai angkutan publik yang lebih profesional juga dilakukan oleh kelompok lain di luar Go-Jek. Artinya, inisiatif warga meramu situasi transportasi kota menjadi suatu nilai baru bukan cuma dimiliki Go-Jek sendirian. Ada Limo Bike yang menyediakan jasa ojek premium (kalangan menengah atas), ada Ojek Bintaro Blogspot yang mengkoordinir ojek-ojek Bintaro melalui blog, dan Taxi Bikedi Bandung, dengan pelayanan jasa yang mirip dengan Go-Jek.[11]

Namun ada poin brilian yang—sejauh saya tahu—hanya dimiliki Go-Jek: aspek bisnis sosial. Memposisikan ojek sebagai mitra, bukan karyawan, adalah ide yang sungguh orisinil dan karenanya patut diapresiasi. Nadiem menulis dalam surelnya: “Filsafat G0-Jek adalah membangun bisnis konvensional dengan dampak sosial. Ide kemitraan bertumpu dari filsafat tersebut. Dengan struktur kemitraan ini, pengemudikami merasa mereka benar-benar bagian dari organisasi ini, bukan hanya pekerja. Kita sukses, mereka sukses.”

Tentu, semua pasti berharap, konsep berbagi nilai ekonomi ini semoga bukan mulut manis semata seperti kicau pemain sektor industri pada umumnya, yang menggunakan konsep-konsep sosial di luar dirinya untuk mengelabui publik. Entah itu lewat divisi tanggungjawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility) atau menunggangi isu-isu seksi seperti pendidikan, lingkungan, sampai bantuan bencana alam.

Go-Jek harus setia pada konsep bisnis sosial ini, sambil menyiapkan ruang bagi kemungkinan interupsi di masa depan yang datang baik dari pemerintah, kompetitor, maupun masyarakat. Pemerintah, misalnya, sewaktu-waktu bisa saja bersikap urakan dengan tiba-tiba melarang formalisasi ojek yang digagas warganya. Atau kompetitor bisnis, yang menggunakan cara-cara tertentu demi melibas ceruk pasar yang diwadahi Go-Jek.

Dalam wawancaranya, Jurist secara sadar memang membuka ruang adaptasi untuk pengembangan ke depan, misalnya dengan memberikan jaminan asuransi kepada ojek mitranya. Juga Nadiem, yang melalui analisisnya tentang ojek, berharap Go-Jek dapat bekerjasama dengan pemerintah dalam membantu peningkatan sarana transportasi umum seperti Traja, yakni menopang operasi Traja dengan memanfaatkan Go-Jek sebagai kendaraan pengumpan.

SEBUAH rumah mungil menyempil dalam kumpulan bangunan yang berdiri berdempetan. Tanpa plang, tanpa kesan sebuah kantor, namun dari sinilah 200-an pengojek di Jakarta dikoordinasikan. Go-Jek menyewa rumah ini sebagai kantor, di mana aktivitas rapat, call center, dan pelatihan pengojek dilakukan.

Di sini, tiap setengah jam telepon berdering. “Dulu mah sehari paling dua [telepon],“ ujar Nana, Manajer Operasi Go-Jek, mengingat masa-masa awal Go-Jek beroperasi. Sekarang, minimal ada 25 telepon per harinya. Sebenarnya Go-Jek belum secara khusus mengurusi bidang pemasaran dan promosi. “Semua yang terjadi pada Go-Jek sampai titik ini, itu karena teknologi, karena media sosial,” ungkap Jurist.

Go-Jek beroperasi setiap hari Senin – Jumat, dari pukul 06.00 – 21.00 WIB, dan Sabtu dari pukul 11.00 – 21.00 WIB. Dalam aktivitasnya sehari-hari, kantor yang berlokasi di bilangan Mayestik, Jakarta Selatan ini, dihuni oleh empat orang pekerja saja. Nana sebagai manajer dibantu oleh satu orang penyelialapangan dan dua operator telepon yang bekerja bergiliran.

Kurir adalah jenis layanan yang paling banyak dipesan para pelanggan Go-Jek. Walau ada juga pelanggan yang memilih layanan pembelian barang di supermarket atau restoran. Yang dipesan kebanyakan orang adalah barang dan makanan keperluan sehari-hari seperti kopi dan bakso. Sampai pernah ada yang minta diantarkan kembang hidup.

Aktivitas seputar Go-Jek kerap mengundang kelucuan. Misalnya ada pengojek yang tidak berani naik ke lantai 30 sebuah gedung untuk mengantarkan barang. Ada pelanggan yang pernah meminta mengantarkan laptopnya yang tertinggal ke bandara. Ada juga yang keliru: membelikan susu orang dewasa, padahal yang diminta adalah susu bayi.

Mengikuti sepak terjangnya, dengan segala capaian dan semangat berinovasi yang ada kini, Go-Jek terlihat potensial untuk berkembang lebih besar dan berdampak positif secara ekonomi dan sosial. Nadiem memproyeksikan usahanya seperti begini: Tujuan besar kami adalah untuk memulai industri baru di Indonesia, yang mempelopori perubahan sektor transportasi informal.

Ia percaya, inovasi bisa dilakukan tanpa perlu menunggu pemerintah. Apalagi untuk Jakarta, yang selalu saja punya alasan untuk diragukansektor publiknya mampu cukup cepat direformasi. Maka itu, pendapat Marco Kusumawijaya kembali saya kutip: Mungkin “swastanisasi” harus diterima, tetapi bukan sebagai jawaban “akhir sejarah”—seperti sering dibualkan para konservatif baru—melainkan langkah sementara, dengan tindakan koreksi serius, misalnya dalam hal pengendalian melalui partisipasi pemakainya.[12]

Ojek adalah kreativitas tersendiri di kala pemerintah kehabisan akal. Ojek adalah cara warga bertahan menyiasati hidup, di kala pemerintah tak mampu memberikan solusi. Maka, ojek tidak pantas dimatikan, karena tak satu pun memberinya kehidupan, termasuk pemerintah. Dan dalam kesementaraan ini, biarlah kepercayaan ini dititipkan kepada mereka yang berinisiatif bagi kotanya.***

Tulisan ini dimuat pertama kali di KarbonJournal.org pada 2011