Hery Budiawan dalam Second Stage

BANYAK seniman-seniman besar yang bahan dasar ciptaannya berasal dari realita di sekitarnya. Realita temuannya – atau bikinannya – tersebut direkonstruksi sedemikian rupa demi melayani ide sang kreator. Dan memang benar, buah dari pohon ide tersebut setidaknya mengandung refleksi atau cermin representatif – terlepas dari berhasil atau tidaknya – atas realita-realita yang diolahnya menjadi karya seni.

Dalam karya sastra, misalnya, kita bisa memahami maksud di atas dengan menyelami karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Banyak novelnya yang mengambil konteks realita sosial. Misalkan Tetralogi Pulau Buru-nya – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah – yang merekonstruksi keadaan pergerakan nasional Indonesia yang masih dalam tahap embrio. Sastrawan lain kita tahu ada nama Nawal El Saadawi dari Mesir, Leo Tolstoi dari Rusia, atau Remy Sylado dari tanahair yang terpikat untuk membaui karya-karyanya dengan realita. Bahkan, Seno Gumira Ajidarma dengan lantangnya menyerukan perlawanan terhadap pembungkaman atas fakta-fakta kebenaran dengan kumpulan artikelnya yang dibukukan, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Lewat kredo Seno ini kita mahfum, bahwa terkadang karya seni melampaui batas-batas penyampaian pesan secara‘normal’. Karya seni mampu menjadi media alternatif ketika lewat media ‘normal’, pesan-pesan berguguran menjadi kehampaan yang tak terpakai – namun saya tidak bilang karya seni itu ‘abnormal’. …baca lebih lanjut

Berfantasi Lewat Gitar

Judul : Becak Fantasy

Karya : Jubing Kristianto

Produksi :Indo Music

Tahun : 2007


MUNGKIN gitar adalah alatmusik yang paling akrab dan populer bagi masyarakat Indonesia. Dan selama ini, mungkin pula masyarakat kita hanya mengenal gitar sebagai instrumen pengiring atau pembawa melodi. Padahal ada kemagisan luarbiasa dari instrumen berbodi sintal dengan keenam senarnya ini. Asal sang pemain tahu bagaimana membujuknya berbicara layaknya sebuah band bahkan orkestra.

Jubing Kristianto adalah salah satu gitaris yang dengan tekun dan cerdas berhasil membujuk gitar untuk berbicara banyak. Lewat albumnya, Becak Fantasy, Jubing memperlihatkan bahwa steoreotip gitar sebagai instrumen kacangan diputarbalik menjadi instrumen yang pantas bersaing merebutkan kursi primadona di atas panggung konser, bersanding dengan instrumen yang sudah mapan seperti piano dan biola. …baca lebih lanjut

Pesona Thibault Cauvin

Di sudut salah satu ruangan di Bimasena Club puluhan kepala menyimak dengan santai sepenggal musik berirama swing. Dengan kekayaan imitasi suara berbagai instrumen laiknya sebuah band combo, siapa nyana musik tersebut hanya dilakukan oleh sebuah gitar saja.

OLEH Thibault Cauvin, hal di atas menjadi mungkin. Kejeniusannya dalam bermusik, mampu membujuk sebuah gitar untuk berbunyi layaknya sekelompok band jazz yang sedang manggung di sebuah kafe. Ada imitasi suara perkusif snare drum yang ditebah brushstick, bunyi kontrabas yang dengan setianya mengawal lagu hingga rampung, atau rentetan melodi khas gitar jazz akustik. Sesekali alur melodi berpindah ke senar bass, lalu pindah lagi ke treble. Seperti menyaksikan sebuah jam session! Belum lagi giliran efek perkusi yang ditimbulkan dengan teknik strumming, menambah kesempurnaan bermusik lewat permainan gitar tunggal. Belum cukup dengan itu, pada bagian yang lebih mirip semacam variasi tema atau improvisasi, Cauvin merambah melodi sampai ke ujung fret gitar, bahkan lebih. Seperti harus membuat leher gitar dua kali lipat lebih panjang untuk melayani kebutuhan bermusik Cauvin.

Penggalan tema dari lagu ‘Take the A Train’ milik Billie Strayhorn itu tak hentihentinya merogoh kekaguman dari para penonton yang hadir. Seakan gitar Cauvin ingin memberi kabar sukacita kepada khalayak luas: “Inilah jiwa gitar sesungguhnya!”.

Lagu di atas adalah salah satu dari 3 bagian lagu milik komposer Prancis, Roland Dyens, yang dibawakan Thibault Cauvin pada konser tanggal 4 Desember 2007. Dalam penutupan rangkaian The Guitar Maestros second concert series ini, penampilan Thibault yang pada kali kedua di Jakarta ini patut mendapat apresiasi lebih. Sejak penampilannya pada bulan Maret tahun ini, publik penggemar gitar klasik tak sabar untuk menantikan Cauvin kembali memperlihatkan kemagisan sebuah instrumen yang hanya terdiri dari 6 senar, tapi mampu bermain layaknya sebuah orkes kecil.

Namun amat disayangkan, repertoar yang dibawakan Cauvin kali ini, seluruhnya persis dengan apa yang dia bawakan kali lalu. Walau begitu, publik tak berani menghakiminya karena toh sajian yang dibawakan tetap memberi angin segar pada dunia musik di tanah air, khususnya permainan gitar tunggal.

Melengkapi bagian lain dari karya Roland Dyens di atas, berturutturut yakni ‘A Night in Tunisia’ (Dizzy Gillespie) dan ‘Felicidade’ (Antonio Carlos Jobim). Ketiga lagu tersebut (termasuk ‘Take the A Train’) diambil tema-nya dan diaransir ulang oleh Dyens menjadi sebuah permainan gitar tunggal yang apik dan amat mengagumkan. Gubahan ini oleh Dyens diberi tajuk ‘3 Standards De Jazz Arrangements’.

Melalui karya Dyens ini, Cauvin seakan ingin membahasakan arti sebuah gitar yang lain dari biasanya. Kalau selama ini gitar dikotomi antara klasik dengan non klasik, atau elektrik dengan akustik, lewat konsernya, permainannya lebih cocok diistilahkan dengan seni permainan gitar tunggal. Sebuah seni bermusik yang tidak dilihat dari karya yang dibawakan, melainkan cara memainkannya. Sekumpulan reproduksi suara macammacam instrumen yang dinyanyikan oleh hanya sebuah gitar.

Sepertinya anggapan ini benar. Terlalu konvensional dan sedikit keliru bila tetap mengenal dengan istilah gitar klasik. Rasarasanya, seni bermusik yang katanya disebut gitar klasik tersebut, tidak hanya membawakan repertoar dari zaman klasik saja. Ada repertoar jazz seperti karya Dyens ini, ada lagu pop yang digitartunggalkan, atau kalau mau lebih teliti, instrumen gitar juga membawakan repertoar dari kelima jaman musik Eropa – renaisans, barok, klasik, romantik, dan modern. Dan nantinya, tentu akan ada istilah gitar barok, gitar romantik, gitar jazz, dan seterusnya, hingga gitar keroncong.

Selain karya Carlo Domeniconi yang berjudul ‘Koyunbaba’ dibawakan sebagai penutup, repertoar barok ‘4 Sonatas’ dari Domenico Scarlatti juga dibawakan sebagai menu pertama sebelum karya Dyens tadi. Pada ‘Koyunbaba’, ekspresi musik dari Cauvin amat luar biasa. Walau penonton terganggu dengan tuning gitar yang tidak stabil – beberapa kali di tengah permainan Cauvin menyetel tuning gitar tanpa merusak metrum musik – namun usaha sang interpreter Cauvin untuk menyajikan musikalitas berbeda dari kebanyakan gitaris patut diberi poin plus. Berbeda dengan interpretasi ‘Koyunbaba’ pada konser Cauvin 9 bulan lalu, kali ini ciri khas milik sendiri menggemuruh dalam permainannya. Seperti efek gema yang terdengar pada bagian mosso dan aksen sinkup pada bagian presto.

Karya ayahnya, Philippe Cauvin, ‘Rocktypicovin’, didaulatnya sebagai encore pada malam itu. Dengan suasana gedung di Darmawangsa yang romantis – walau tidak memenuhi syarat sebuah pagelaran musik – pihak penyelenggara tampaknya tahu betul bagaimana menyajikan sebuah pertunjukkan musik klasik yang biasanya tegang dan kaku, menjadi lebih hangat dan bersahabat. Namun sayang, konser yang bertujuan untuk memotivasi para gitaris muda Indonesia ini lebih banyak didominasi oleh orang tua. Sebuah pekerjaanrumah yang harus dipikirkan oleh penyelenggara lain kali.

Thibault Cauvin, di usianya yang masih amat muda (23 tahun), dengan kematangan musikalitasnya, pantas mendeklarasikan diri sebagai gitaris papan atas dunia. Seorang gitaris masa depan telah lahir