“Maaf ya, saya pakai sepatu”, ujarnya meminta izin di rumahnya sendiri. “Lah kok gitu, Bang?”, tanya saya keheranan.
BEGITULAH pembicaraan kami dibuka ketika saya main ke rumah Rizaldi Siagian di Cinere, Jakarta Selatan, 19 Maret 2010. Ini kali ketiga saya bertamu ke rumahnya, setelah pertemuan pertama dibukakan jalan oleh Ignatius Haryanto, guru dan karib menulis saya, ketika lebaran dua tahun lalu.
Rizaldi Siagian. Ia sosok yang sama. Sosok yang berbaring ketika saya membesuknya di RS Puri Cinere kira-kira dua bulan lalu, dua hari sebelum operasi besar terhadap jantungnya dilakukan. Ia selalu bersemangat dan lantang. Seakan tidak pernah menyimpan kata ‘istirahat’ di dalam matanya.
“Awalnya di Yogya”, ceritanya tentang serangan jantungnya berawal, “…tapi saya coba lawan dengan meditasi dan zikir”.
Tapi toh, ia harus mengalah: pulang ke Jakarta dan langsung menuju rumah sakit setelah mencoba bertahan di rumah. Di rumah sakit, jantungya dibikin bekerja kembali dengan mengambil urat syaraf dari kakinya. Urat itu dipakai untuk memompa kerja jantung seperti sediakala. Entah bagaimana persisnya. Saya bodoh dalam biologi. Sialnya, saya pun pelupa. Lupa dengan penjelasannya. …baca lebih lanjut