Kebrengsekan yang Saleh, Kesalehan yang Brengsek

DI JALAN Juanda, Jakarta Pusat, pernah berdiri dua toko buku: Kolf dan van Dorp. Konon, Chairil Anwar dan Asrul Sani sering melancong ke sana. Suatu hari tampak buku Nietzsche terpajang di rak. “Wah, itu buku mutlak harus dibaca!” seru Chairil kepada Asrul. Niat nakal pun terbit. Melihat Chairil bercelana komprang dengan dua saku lebar, Asrul menyuruhnya mencuri, sementara ia mengawasi si penjaga toko.
Mereka berhasil keluar dari toko mengantongi buku curian. “Deg-degan setengah mati,” kenang Asrul. Namun terkejutlah mereka, ternyata mereka salah mengambil Injil, bukan buku Nietzsche, yang memang sama-sama nangkring di rak buku agama. Asrul dan Chairil pulang dengan dongkol.
Pasangan sahabat penyair dan dramawan ini mungkin tak menyangka puluhan tahun kemudian seorang pemuda terinspirasi ulah mereka. Namanya Ahmad, 32 tahun, yang minta profesinya ditulis sebagai tukang tanya. …baca lebih lanjut

Berbahasa Satu, Bahasa Televisi: Hiburan

Para pedagang buku bekas itu tertawa. Mereka menertawakan saya yang keluar-masuk kios mencari buku Menghibur Diri Sampai Mati. Ditulis oleh Neil Postman, buku itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia pada 1995 dari judul aslinya Amusing Ourselves to Death, yang terbit pada 1985. Buku yang tergolong lawas memang. Tapi pasti bukan itu alasan mereka menertawai saya.
Mungkin ini: menghibur diri sampai mati. Terasa konyol, memang. Untuk apa kita menghibur diri sampai mati, begitu mungkin pikir mereka. Bukankah kita memang suka dihibur? Bukankah kita menantikan hiburan tiap detiknya? Justru, hidup ini akan lebih baik jika semua hal yang dialami dan dikerjakan bermakna sebagai hiburan. Tapi, adakah hiburan yang bisa membikin kita mati? Adakah kita bisa dimatikan oleh sesuatu yang kita cintai? Ada. Postman mendakwakan sangkaannya ini pada televisi.
Namun isi dakwaannya ini lain dari apa yang kebanyakan orang pikirkan hari-hari ini tentang televisi. Ketika banyak dari kita memikirkan bagaimana televisi bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan, Postman justru berpikir bagaimana pendidikan bisa digunakan untuk mengatasi televisi. Ketika kita sibuk menuntut televisi untuk menyajikan hal yang penting dan serius, ia malah menyarankan agar jangan sampai hal-hal penting dan serius itu dibicarakan oleh televisi. Ketika kita meminta televisi untuk tak menyajikan sampah, Postman malah seakan berkata sebaliknya: buanglah sampah pada televisi. Karena baginya, masalahnya bukan mengenai apa yang kita tonton, melainkan bahwa kita menonton televisi. …baca lebih lanjut