Surat Seorang Sahabat

Ketika di satu pagi yang biasa mendarat pesan pendek dari seorang teman di Bandung, Syarief Maulana, saya dilanda canggung. Bukan apa-apa, isi pesannya memang pendek dan sederhana, tapi permintaannya tidak sependek dan sesederhana isinya.
“MAU nulis untuk merayakan ultah KlabKlassik?”, begitu kira-kira isi pesannya. Saya senang sekali diberi kesempatan untuk menulis yang kedua kali bagi sebuah komunitas yang selalu membuat saya iri dengan semangatnya. Dengan masih mengantuk saya iyakan saja permintaannya. Namun kegirangan saya tak berlangsung lama setelah disergap tanya: dalam kapasitas apa saya menulis?

Pasalnya, melihat deretan nama kontributor yang lain – Royke B. Koapaha, Jubing Kristianto, Iswargia R. Sudarno, Royke Ng, dan Bilawa A. Respati – saya merasa perlu menghadirkan keraguan atas permintaan Syarief. Apa tulisan saya, yang bukan siapa-siapa ini, perlu hadir untuk meramaikan isi buku dalam rangka menyambut hari jadi KlabKlassik yang ketiga ini? Saya merasa tidak memiliki alasan untuk dipilih KlabKlassik dalam menyumbang tulisan. Saya bukan orang Bandung, cuma sekali ikut kegiatan KlabKlassik (itu pun pulang dulan), dan bukan musikus ternama seperti beberapa nama di atas.

Tapi karena sudah janji, mau tak mau saya beranikan diri untuk bercuap-cuap lewat tulisan ini. Biarlah lewat tulisan ini saya hadir bukan sebagai apa-apa, kecuali sebagai sahabat. Sahabat KlabKlassik.

Sebagai sahabat, saya merasa perlu mundur sejenak ke belakang, melihat bagaimana penyemaian hubungan persahabatan ini terjadi. Kadang, dalam konteks ini, sering terjadi romantisasi yang berbunga-bunga, sekaligus bersedan-sedan. Mencoba merangkai nostalgia yang jauh dari obyektivitas, namun sarat dengan kejujuran subyektivitas.

Mengenang Perjumpaan

Waktu itu Juli 2008, kontak pertama saya dengan KlabKlassik berlangsung. Classical Guitar Fiesta menjadi pintu masuk awal romantisasi ini terjadi. Saya, yang kebetulan main gitar, menjajal gawe-an anak-anak Bandung ini. Di hari audisi, teman-teman KlabKlassik sangat hangat menjamu saya dengan keramahan khas orang Sunda. Lengkap dengan gayanya Royke Ng yang santun dan sungkan, Christian yang rajin nyengir, dan Syarief yang tiba-tiba saja menjadi akrab seperti kita sudah berkawan lama. (Atau karena dia sok akrab, ya? Hehe..).

Di audisi itu pula saya langsung terpikat dengan semangat barudak-barudak Bandung tersebut. Kota boleh sepi dari hingar bingar musik klasik, tapi nyali dan semangat mereka harus selalu ramai. Kira-kira pesan itu yang terbaca oleh saya dari tampilan mereka. Baru, setelah melihat permainan beberapa peserta yang ikut audisi, saya berkecil hati. Ternyata di Bandung banyak sekali gitaris bagus!

Awal yang manis itu tidak saya sia-siakan untuk terus menjalin relasi. Relasi yang memang sangat karib. Tulus. Saya masih sempat mesem-mesem sendiri kala mengingat kejadian ketika seorang penggiat KlabKlassik (maaf, saya lupa namanya) yang mati-matian (saya ulangi sekali lagi: mati-matian!) ingin membuat saya nyaman dengan meminjamkan ponsel dan menelpon ke sana-sini terkait dengan transportasi saya untuk pulang ke Jakarta. Kejadian ini berlangsung ketika hari-H pelaksanaan konser Classical Guitar Fiesta berlangsung.

Bagi saya, kebaikan itu bukan sekedar hubungan antar panitia dengan peserta, tapi lebih dari itu. Ada bentuk relasi yang jujur dan tulus. Relasi yang menghargai, menghormati, dan menyaudarakan tiap tamu yang singgah di markas mereka. Manisnya, relasi ini tidak usai bersamaan dengan usainya kegiatan, tapi terus menyambung dalam kesibukkan kami masing-masing, keberjarakan kami masing-masing, Bandung-Jakarta.

Saya punya bukti bahwa relasi persahabatan ini benar-benar manis. Di Juli 2008, pada resital gitar Hery Budiawan berjudul Second Stage, saya terkejut melihat beberapa teman KlabKlassik ada di sana. Mereka rela datang ke Jakarta demi mendukung Hery yang notabene anak Jakarta. Yang tak habis pikir, mereka rela menempuh waktu lebih dari 2 jam untuk menyaksikan acara yang tak sampai 1½ jam. Buat saya ini cukup konyol, tapi konyol yang manis. Manis sekali.

Catatan Sahabat

Dalam persahabatan, ada kalanya saya perlu membuat catatan-catatan khusus mengenai seseorang. Begitu pun catatan mengenai persahabatan dengan teman-teman KlabKlassik. Catatan ini bukan untuk disetujui, bukan juga untuk ditolak. Tapi untuk didengar saja. Anggaplah semacam ungkapan kasih antar dua sahabat yang tanpa sekat, sehingga kesungkanan pun menjadi lenyap.

Di pengantar editorial memoar ini, Syarief dengan amat reflektif sudah menyadari akan perjalanan KlabKlassik. Eksistensi. Kata ini seakan menjadi momok bagi banyak komunitas. Banyak komunitas sibuk bicara mengenai usia kelompok mereka. Maka seringkali, perayaan kehidupan sebuah komunitas hanya dihargai sebatas umur, sebatas angka. Tapi apalah artinya bila hanya berkutat dalam ranah eksistensial? Bukankah para selebritas yang bergenit di layar televisi juga sibuk pada lahan yang satu ini: ingin tetap ada! Namun, apakah keberadaan selebritis tersebut mampu memberi makna pada kehidupan masyarakat luas lebih dari sekedar seremonial pemujaan yang berimbas pada penafian akal sehat?

Saya tidak bermaksud menyetarakan KlabKlassik dengan selebritis. Analogi selebritis yang sibuk pada perayaan eksistensialnya hanyalah gerbang berpikir untuk mengatakan bahwa KlabKlassik harus membentangkan mimpi-mimpi lain dari sekedar umur panjang. Artinya, keluarlah dari konsep sekedar ‘ada’, dan masuk pada konsep untuk ‘mengada’.

Saya pribadi merasakan fenomena menjamurnya komunitas-komunitas dari berbagai latar belakang sejak masa Reformasi ini sebagai sesuatu yang sangat meresahkan, sekaligus menjenuhkan. Lihat saja klub-klub motor yang lebih banyak gayanya dari pada karyanya, kelompok-kelompok penulis yang bahkan jarang menulis, kelompok-kelompok agama fundamentalis yang mudah menuhankan diri mereka, sampai kelompok pecinta alam yang pada kenyataannya malah merusak alam. Banyak pribadi di dalamnya membutuhkan sebuah kelompok yang terlembaga untuk menunjukkan identitasnya semata, eksistensinya semata. Pribadi-pribadi yang rapuh mudah sekali larut dalam pemberhalaan terhadap kelompok-kelompok mereka sendiri. Keberadaan menjadi sesuatu hal yang patut dipertahankan, kalau perlu direbut. Namun, apakah keberadaan kelompok mereka memberi makna pada kehidupan masyarakat adalah urusan dengan persetan. Yang penting gua ada!, begitu ungkapnya.

Wacana di atas kemudian menggiring pada satu wacana lain tentang ranah berkarya sebuah komunitas. Banyak komunitas, setelah larut dalam (sekedar) ke-ada-an mereka, kemudian larut lagi pada titik pijak yang serba terpagari. Saya menyebutnya ‘kesempitan sektoral’. Artinya, banyak kelompok yang hanya dipusingkan urusan domestiknya semata. Mereka hanya membaca kelompok mereka secara tekstual, bukan kontekstual.

Biar lebih mudah perlu contoh: lihat bagaimana agama berlomba untuk mengembangkan kelompoknya semata atau urusan domestiknya semata ketimbang memakai dirinya sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu, katakanlah perdamaian dunia. Atau lihat bagaimana sebuah kelompok pecinta musik keroncong hanya berkutat terus menerus selama bertahun-tahun dalam judul yang sama: melestarikan musik keroncong. Lalu, kalau memang sudah lestari memang mau apa?
Contoh di atas membantu saya untuk mengatakan bahwa sebuah kelompok yang baik, harus berani keluar dari kesempitan sektoral mereka sendiri. Kelompok atau komunitas haruslah dipandang sebagai alat atau sarana untuk mencapai sesuatu, bukan sebagai tujuan. Karena akan menjadi bahaya dan kontraproduktif ketika menjadikan kelompok atau komunitas sebagai tujuan itu sendiri.

Bukan tanpa sebab hal di atas saya tuliskan. Musababnya, kalimat yang ditulis di Sejarah Klab inilah yang memprovokasi saya: “Maka tujuan kehadiran kami sebatas menyuguhkan probabilitas pada masyarakat: musik klasik belum mati”. Bagi saya, mewacanakan ‘musik klasik belum mati’ haruslah dimengerti sebagai sebuah cara untuk mengapai tujuan-tujuan lain yang lebih kontekstual bagi masyarakat, jadi bukan merupakan tujuan itu sendiri.

Kalau kini usia KlabKlassik sudah menginjak angka tiga tahun, itu adalah hal yang patut disyukuri sesyukur-syukurnya. Saya yang punya beberapa pengalaman dalam membangun komunitas pun menyadari tentang sulitnya mengawal keutuhan sebuah komunitas. Oleh karena itu, biarlah teman-teman KlabKlassik sejenak bersukacita merayakan hari jadinya, sebagai sebuah simbol untuk memerdekakan diri dari rutinitas yang mencekam. Karena percayalah, kalian pantas untuk sebuah perayaan, yang pada hakikatnya adalah sebuah kemenangan.

Selamat hari jadi! Selamat (lebih dari sekedar) merayakan angka-angka…

**Tulisan untuk menyambut ulangtahun KlabKlassik, sebuah komunitas pecinta musik Klasik di Bandung. Tulisan ini dimuat dalam buku memoar mereka dalam rangka merayakan hari jadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *