Teater Koma, sebagai salah satu kelompok teater di Indonesia yang punya umur panjang ini, berulah lagi. Kali ini ulahnya dikasih judul ‘Sie Jin Kwie’. Pentas yang digelar di Graha Bhakti Budaya pada 5-21 Februari 2010 ini menjadi produksi ke-119 dalam usia 33 tahun Teater Koma.
LAKON Sie Jien Kwie, yang mengambil latar di Cina ketika pemerintahan Dinasti Tang (618-907), memang menjadi pilihan cerita yang menggembirakan di tengah berlangsungnya euforia perayaan ‘kembalinya’ masyarakat Cina di Indonesia. Bahwa terhitung sejak tahun 2000, di mana pemerintah mencabut Inpres 14/1967 tentang pelarangan hal-hal yang berbau Cina, kelompok etnis masyarakat ini kembali patut turut dicatat dalam sejarah sebagai salah satu elemen yang membentuk Indonesia sebagai sebuah bangsa. Rupanya Teater Koma pun turut ingin mencatatnya, sekaligus terlibat dalam perayaan ini. Dan tahun ini tepat 1 dekade, di mana pemaknaan perayaan ini menjadi makin mesra. Makin manis. Akankah lakonnya pun turut manis?
Mungkin iya. Banyak penonton yang riang, dan semua media meliput dengan girang, seolah tidak ada yang perlu dipersoalkan. Kenyataannya, tidaklah harus demikian. Pujian yang berlebihan, hanya melahirkan seniman yang mapan. Padahal, seniman harus terus gelisah, harus terus mencari. Ketika ia berhenti mencari, ia sudah selesai sebagai seniman.
Bukan mencari-cari penyakit kalau tulisan ini mengambil sikap berbeda dibanding ulasan-ulasan lain yang bergenit eluan tentang pementasan Sie Jin Kwie. Pasalnya, di samping banyak hal positif (konsistensi berteater, manajemen kelompok, regenerasi, kemampuan mengembangkan penonton, dan produktivitas), demikianlah yang ada: pementasan ini memperlihatkan Teater Koma yang kehabisan energi artistik. Inilah pementasan Teater Koma yang usang dan tampak kelelahan.
Sie Jin Kwie Sebagai Sejarah
Menyaksikan Sie Jin Kwie berarti membaca sejarah. Khususnya sejarah bangsa Cina di jaman kerajaan. Sie Jin Kwie adalah seorang jendral perang paling terkenal dari Dinasti Tang. Kisah tentangnya sudah menjadi cerita klasik di Tiongkok, bahkan lebih sering dipahami sebagai mitos akibat dipopulerkan lewat cerita fiksi yang didramatisir.
Sie Jin Kwie dalam dialek Mandarin dilafal Xue Ren Gui. Di Indonesia, yang banyak dihuni pengucap berlidah Hokkian, ia dikenal sebagai Sie Jin Kwie. Pada awalnya di Tiongkok, kisah ini ditulis oleh Tio Keng Jian, dan kemudian disunting oleh Lo Koan Chung.
Adalah penerbit Kho Tjeng Bie yang punya andil dalam mengenalkannya ke masyarakat Indonesia. Dan Siauw Tik Kwie, yang punya nama lain Ki Oto Swastika, karena usahanya dalam menyebarkan filsafat Ki Ageng Suryo Mentaram, semakin mempopulerkannya sebagai komik dengan judul Sie Djin Koei yang dimuat secara bersambung di majalah Star Weekly pada 1950-an. Pun di era 1990-an, Markus Aceng Setiawan kembali mengangkat kisah Sie Jin Kwie untuk masyarakat Indonesia. Oleh N. Riantiarno, sutradara Sie Jin Kwie, cerita ini ditulis ulang untuk kemudian ia sutradarai.
Pementasan lakon Sie Jin Kwie yang digelar Teater Koma kali ini, adalah salah satu bagian dari trilogi yang kedua bagian lainnya akan dipentaskan pada tahun-tahun pementasan berikutnya. Lakon berdurasi sekitar 4 jam ini, mengisahkan Sie Jin Kwie (Rangga Riantiarno), seorang pemuda dari keluarga miskin yang akhirnya termashyur menjadi panglima perang dari Dinasti Tang.
Dinasti Tang yang dikaisari oleh Lisibin (Prijo S. Winardi) ini ditantang perang oleh Kerajaan Kolekok, yang merupakan salah satu daerah kekuasaan Dinasti Tang. Tantangan perang ini dipimpin oleh Jendral Kaesobun (Paulus Simangunsong), yang setelah sebelumnya melakukan kudeta dari Raja Kolekok (Budi Suryadi). Dalam ancaman perang ini, Sie Jin Kwie hadir sebagai pahlawan penyelamat dalam mimpi Lisibin, sang kaisar. Maka, segala cara Lisibin tempuh untuk bisa bertemu dengan Sie Jin Kwie. Dari sinilah lika-liku perjalanan Sie Jin Kwie memasuki istana menjadi pokok cerita yang disajikan.
Usang dan Lelah
Lakon ini, oleh Teater Koma, disajikan dengan alur yang amat lambat dan bertele-tele. Ada kesan ingin menampilkan semua bagian cerita secara lengkap, sehingga sungkan membuang adegan-adegan yang tidak perlu. Namun pilihan ini rupanya menampakkan sajian lakon yang terengah-engah. Banyak adegan yang hanya memanjangkan durasi, tapi tidak menambah esensi cerita. Pun bila dimaksudkan untuk memperkaya cerita, strategi bertuturnya lebih banyak yang tidak berhasil.
Misalnya saja, keterengahan itu tampak dari pilihan plot yang dibawakan dalam alur maju yang sangat kronologis. Penguasaan akan cerita baru hadir ketika Sie Jin Kwie, sang tokoh utama, masuk panggung. Namun, Sie Jin Kwie justru baru masuk belakangan setelah penonton diombang-ambingkan pada penceritaan awal yang bertele-tele. Strategi bertutur ini sebenarnya bisa lebih luwes kalau saja mencoba dalam alur maju mundur, juga mengetengahkan Sie Jin Kwie lebih personal dan ditempatkan lebih awal pada mula-mula cerita.
Tawaran bertutur di atas timbul karena dalam lakon ini terdapat dua peristiwa yang berjalan (seakan) bersamaan: kisah kehidupan istana Dinasti Tang dengan tetek bengeknya ditambah mimpi Lisibin, dan kisah hidup Sie Jin Kwie sejak kelahirannya menuju dewasa hingga kemudian bersinggungan dengan spektrum kisah Dinasti Tang. Jadi, seperti ada dua garis yang otonom lantas bertemu pada satu titik karena beberapa alasan, salah satunya mungkin takdir. Masalahnya, peristiwa bertemunya dua garis ini, dalam lakon Sie Jin Kwie, terjadi terlalu larut.
Sebenarnya ada usaha untuk mengantisipasi masalah bercerita atau bertutur tadi. Salah satunya adalah dengan melibatkan narasi dalang yang diaktori oleh Budi Ros dan juga melalui media wayang yang dinamai Wayang Tavip – karena nama pencipta dan dalangnya adalah Tavip. Cara ini, memang terbukti mampu meringkas cerita, sekaligus merekatkan potongan-potongan kisah yang tercecer, ditambah memberi kesegaran di tengah-tengah kesesakan adegan-adegan yang monoton. Tapi entah mengapa, konsistensi ini tidak terjaga hingga ujung cerita. Tugas penceritaan yang semulanya diemban dalang, malah berpindah ke pemain-pemain lain, seakan tergesa-gesa dan kikuk menghadapi durasi. Ini terlihat jelas terutama di adegan-adegan akhir di mana sesekali Sie Jin Kwie atau pemain lain menjadi narator baru.
Keusangan paling jelas dari pementasan ini adalah sisi keaktorannya. Tidak ada greget yang cukup menonjol dari pemain-pemain yang ada. Namun pengecualian untuk Prijo S. Winardi dan Paulus Simangunsong yang berperan sebagai Lisibin dan Kaesobun, karena bermain baik. Terutama Prijo yang sangat kharismatik di atas panggung. Sedang yang lain, seperti menjadi karakter usang yang hanya berganti baju dan judul lakon. Tak pelak penonton yang setia mengamati pementasan Teater Koma beberapa tahun terakhir, akan mendapati karakter akting yang sudah-sudah dan tak berkembang. Lakon berubah, tapi cara ungkapnya sama.
Seperti beberapa produksi sebelumnya, Teater Koma dikenal ‘royal’ dalam mengolah sisi artistik panggung. Poin ini pun tetap hadir dalam pementasan Sie Jin Kwie. Mata penonton dimanjakan dengan visualisasi kehidupan Cina di zaman lampau. Dari tata panggung yang detil nan megah, properti yang esensial, hingga kostum dan tata rias. Terlihat ada usaha berbasis riset terhadap gaya Opera Cina yang dilakukan Rima Ananda dan Sena Sukarya, Penata Busana dan Penata Rias pementasan ini.
Sayang, usaha yang sama kurang digarap di sisi musik yang dikomandani Idrus Madani. Pendalaman akan musik tradisi Cina hanya menyentuh kulit-kulitnya saja, yang cukup diwakili oleh tangga nada pentatonik Cina (dalam teori musik barat: la-do-re-mi-sol) atau bunyi perkusi berbahan logam khas Opera Cina atau pola tabuhan beduk. Itu pun tidak membalur sepenuhnya karena sebagian besar musik lainnya ditampilkan secara biasa saja. Namun, Idrus sangat piawai dalam mengisi ilustrasi musik yang bukan lagu. Ia, dengan beragam senjatanya yang bersifat perkusif, mampu mengisi ruang yang meningkahi gerak lakon dari para pemain. Idrus pun peka untuk mengurangi porsinya atau menambal porsinya dengan sigap.
Teater Koma adalah teater penuh kejutan. Selain karena beberapa kali berurusan dengan pihak yang berwajib karena pementasannya yang kritis terhadap pemerintah, mereka juga dikenal dengan penonton yang loyal. Dan tiap tahun, daftar penggemarnya tampak bertambah. Tak terkecuali pementasan kali ini yang berhasil mengundang penonton-penonton baru dengan karakteristik yang berbeda dari yang sudah-sudah. Maka, dengan segala hormat dan tanpa mengurangi peran Teater Koma dalam memasyaratkan teater lebih luas, harus diakui, pementasan ini menjadi potret bagaimana lelahnya mengolah teater. Yakni sebuah jalan budaya yang berliku, tapi penuh kedalaman ketika berhasil sampai di ujung sana. (ROY THANIAGO)
Foto-foto oleh Arnette Harjanto
Dimuat di Majalah Gong
hmm…gw penasaran deh dengan Bengkel Teater, pernah ntn gak?
Waktu pementasan Sobrat, kyknya itu pementasan terakhir yang gw tahu. Tp sayang, waktu itu ga nonton. Jadi belum ntn deh. Hehe..
ingin menonton pertunjukan ini saat itu, tapi lagi di Aceh. Tulisan Roy yang cerdas ini, membuat keinginan itu terobati. salam
Terima kasih komentarnya, Bang Hendra.